-- Djadjat Sudradjat
KITA khalifah yang pantang menyerah. Bangsa ini meyakini masa depan punya postulatnya sendiri untuk merajut kebajikan. Meskipun terjerembab berkali-kali pada lubang yang sama, tak mau disebut keledai. Ini justru karena meyakini keberhasilan bukan karena tidak pernah gagal, melainkan karena mampu bangkit setiap kali jatuh. (Ah, tapi kalau terlalu banyak jatuh, apa energi kita tidak habis untuk bangkit?)
Kita juga tak mau nasib diserupakan Oedipus, tokoh mitologi Yunani yang dirundung malang tak henti karena kutukan para dewa. Oedipus yang membunuh ayah dan mengawini ibunya karena sama sekali tak tahu. Ia menjadi raja, tapi nasibnya terlunta.
Sementara kita tak dikutuk dewata. Nasibnya bergantung kita sendiri, mau mengubahnya atau tidak, seperti dalam firman Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Kita harus melawan olok-olok, "Bangsa Indonesia terkena kutukan kekayaan alam." Ini sebenarnya ironi yang disematkan kepada kita karena jengkelnya melihat bangsa dengan kekayaan melimpah, tetapi rakyatnya terus berkubang dalam lumpur kemiskinan. Bandingkan dengan Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Negara miskin sumber alam, tetapi rakyatnya makmur.
Karena itu, bangsa ini harus terus diingatkan agar tak pernah putus harapan, sebab harapan itulah sandaran utama kita. Doa adalah manifestasi dari kekuatan harapan yang tak pernah putus itu, tak pernah berhenti! Tanpa harapan ruang jadi gelap, elan kita jadi lindap. Tapi kekutan harapan (rakyat) sering dijadikan tempat sembunyi para pemimpin yang mengumbar angkara.
Dari fakta-fakta empirik, kita bangsa yang beruntung. Karena “berkat rahmat Allah” diberi kemerdekaan dan bisa lepas dari aneka persoalan yang menghimpit. Padahal, dari banyak kalkulasi kita dinujum “tenggelam” sejak lama.
Kita masyarakat yang amat plural, bermental feodal, lama terpilin kebodohan, tak rasional, dan tak terbiasa transparan dalam mengurus fulus. Belakangan mudah marah, tapi memilih demokrasi dan otonomi daerah sebagai jalan mengelola negara.
Kita memang masih berdebar dengan pilihan demokrasi. Apakah posisi negara-bangsa ini akan mengikuti gerak sentrifugal (memudar) atau sentripetal (menyatu dan menguat)? Ada banyak kalkulasi dan nubuat otonomi dan demokrasi kita akan terancam. Tapi, jika hukum kian diteguhkan dan rekrutmen kepemimpinan dilakukan dengan benar (kian banyak pemimpin serupa Rustriningsih ketika menjabat bupati Kebumen dan Joko Widodo di Solo), Indonesia akan berjaya.
Hari ini kita memang masih dihadapkan realita banyaknya calon kepala daerah yang mencari pemodal setiap menjelang pilkada. Sebab politik telah diterjemahkan transasksi uang tunai. Maka tak heran jika ada calon kepala daerah yang ”mengijonkan” proyek-proyek APBD kepada para pemodal. Wajar jika selama menjabat, mereka sibuk mengembalikan modal, bukan sibuk mengurus rakyat.
Sebab itu, kini alih-alih demokrasi bermakna sejahtera, ia gaduh belaka. Sebab, politik telah dirampok kaum demagog dan pencari kerja, sedangkan pengelola negara kian minus deposito kepublikan. Urusan publik dipinggirkan, urusan privat (para pejabat publik) justru diteguhkan. Ini jelas pengkhianatan! Lihat saja sesaat pemimpin publik dilantik, ia terlebih dahulu akan menagih seluruh haknya, bukan berkomitmen akan kewajiban-kewajibannya.
Inilah akibat dari rekrutmen kepemimpinan partai politik dan birokrasi serta aparat negara yang kian tak berbasis pada kecakapan, tetapi pada kekuatan uang. Korupsi dan oligarki kekuasaan serupa epidemi. Birokrasi jadi lapuk karena rupa-rupa jabatan punya nominalnya sendiri-sendiri.
Dirampok Demagog
Rocky Gerung mencatat kini demokrasi hanya membengkak, tapi tidak bertumbuh. Sebab, kaum demagog memang tak membangun keadilan dan kesetaraan bersuara. Ia memonopoli dan bahkan merampok suara. Demokrasi, kata pengajar filsafat UI itu, masih terpesona pada sensasi mereka yang nyaring berkata-kata, tapi tidak pada substansi dan orang yang tekun bekerja. Politik, dengan parlemen yang surplus kekuasaan, tapi kurang memahami “kurikulum kepublikan”, kini bengubah menjadi jenggo. Politik berputar pada penggalangan massa, heboh pencitraan, transaksi, dan tukar tambah kekuasaan.
Tragedi di Mesuji (baik di Lampung maupun Sumatera Selatan) akibat sengketa lahan, juga kebrutalan polisi di Pelabuhan Sape, Bima, dan seluruh kekerasan polisi sepanjang 2011 yang melukai dan menewaskan banyak nyawa, membuat demokrasi kian terluka. Di era sipil seperti ini laku polisi justru amat militeristik! Apa pun alasannya, dalam tragedi Mesuji dan Bima, menunjukkan adab aparat kelewat arogan, brutal, dan bengis. Memang ada kecenderungan tensi dan amarah rakyat di negeri ini meningkat, memang menjengkelkan, tapi justru tantangan bagi polisi-sipil dan para pemimpin daerah mengedepankan sofistikasi komunikasi. Bukan libido membunuh!
Sementara infrastruktur yang buruk, korupsi yang jadi epidemi, pelayanan publik yang mengecewakan, transaksi dagang dalam rekrutmen calon pegawai negeri, petani yang kerap kesulitan pupuk ketika musim tanam, hukum yang kerap menindas pada orang-orang kecil, adalah bukti betapa tak cakapnya para pejabat publik melayani rakyat. Di era “demokrasi seolah-olah”, ini betapa kian nyata urusan publik makin terpinggirkan, sedangkan urusan privat (penguasa) justru makin dikuatkan.
Tetapi, betapapun para elite serupa "Malin Kundang"—mengkhianati rakyat sebagai "ibu yang melahirkannya", tapi kita jangan mengutuknya sebagai batu. Selain zaman kutukan telah berlalu, kita tak ingin terlalu banyak batu abadi "Si Malin" yang bertebaran di seantero negeri sebagai tanda pengingkaran para pemimpin kita. Karena hukum juga belum tegak, kita berharap tahun baru 2012 menjadi momentum pertobatan massal bagi para pemimpin yang selama ini ingkar pada rakyat. Sebuah laku moral yang mendasarkan pada kekuatan personal.
Kita telah menjadikan tahun baru sebagai momen penting perubahan—meskipun peruabahan mestinya dilakukan setiap saat. Mungkin, di waktu transisi tahun, ada banyak yang mendatangi para penujum untuk menubuat jodoh, kemesraan rumah tangga, kekayaan, karier, dan aneka urusan privat. Tapi juga, ada banyak doa, baik sendiri maupun bersama, dihelat. Ada banyak diskusi soal prediksi dan outlook ekonomi, politik, tamadun (kebudayaan), dan sosial, digelar.
Akan seperti apakah semua itu pada 2012? Orakel yang baik penting agar kita tahu bagaimana mencapainya, sedangkan yang buruk juga penting agar kita tahu cara menghindar. Prinsipnya, if there is a will, there is a way. Pesta kembang api, letusan mercon, dan hiburan rakyat hingga memacetkan jalan-jalan, semoga karena berharap ada berkah baru di tahun baru. Mereka tengah menasfir apa yang disebut "jalan" setiap ada "kemauan".
Tetapi, merefleksi tahun yang kita lewati, 2011, sungguh kita mesti menundukkan kepala dalam-dalam. Kita mesti berkaca pada cermin besar dan melihat dengan saksama wajah kita yang bopeng atas ketidakberdayaannya merawat diri sendiri. Dari cermin itu kita melihat diri kita yang penuh angkara, mudah mengumbar amarah, kriminal, hipokrit, korup, intoleran, dan ingkar pada hukum.
Menegakkan Konstitusi
Tahun 2011 sungguh telah sampai pada aras titik nadir dalam perkara kebersamaan kita. Para elite dan pengelola negara begitu fasih bicara urusan personal, tapi gagap dalam urusan publik. Karena itu, pada tahun 2012 penting ada pertobatan massal bagi bangsa ini, khususnya para pemimpin. Pertobatan seperti ini tidak menimbulkan kehebohan. Ia murah ongkosnya. Tidak menghabiskan energi dan anggaran. Ini transformasi moral penuh adab. Sebab, bukti penyimpangannya jelas. Tak usah jauh-jauh, teliti Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Di situ ada pelanggaran konstitusi yang terang benderang, yang menyebabkan rakyat sengsara.
Mari kita baca lagi dengan saksama dua Pasal 33 dari Ayat (1) hingga Ayat (4): "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekuargaan" (Ayat 1); "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." (Ayat 3); "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional." (Ayat 4).
Mari kita lanjutkan ke Pasal 34. "Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara." (Ayat 1); "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan" (Ayat 2); "Negara bertanggung jawab atas penyedian fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak." (Ayat 3).
Jika kita bedah satu persatu ayat-ayat itu, kita cocokkan dengan kenyataan hari ini, layaklah para pengelola negara bertobat karena pelanggaran serius itu. Apa yang diamanatkan konstitusi itu, hanya ada dalam teks pidato, tapi minus dalam realitas. Ekonomi kita sangat liberal, dan rakyat selalu terpinggirkan jika mengkritisi para pemilik modal. Alam kita kaya, tetapi menurut PBB, separuh rakyat kita miskin. Pembangunan ini hanya memperkaya segelintir orang, lima persen, tapi menguasai 95% kekayaan nasional. Jurang kaya-miskin makin menganga. Ini bom waktu yang setiap saat bisa meledak.
Kita tak usah malu belajar dari para negara-negara yang telah mampu memakmurkan rakyatnya. Para pemimpin silakan bilang, "Saya punya gaya sendiri dalam memimpin. Saya tidak mau disamakan dengan yang lain." Silakan, sejauh seluruh energi dan bakat kepemimpinannya diabdikan untuk mensejahterakan rakyat Bukan memakmurkan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya.
Tahun baru 2012, para elite harus berjanji pada diri sendiri dan rakyat yang memilihnya, untuk berubah. Pertobatan adalah salah satu kebajikan untuk memecah kebuntuan bagaimana mengatasi urusan kepublikan yang kian karut-marut. Sebab, hukum tak akan menjangkau kesalahan besar itu.
Rakyat memang juga harus berubah, jangan mudah terprovokasi untuk melakukan destruksi. Tapi, para pemimpin juga mesti paham apa pun yang bernama aksi massa, ia bukan sesuatu yang tanpa alasan. Kesulitan hidup, ketidakadilan, korupsi yang merajalela, jurang kaya-miskin yang kian menganga, pasti punya andil yang besar. Meski provokator harus ditindak, tapi sungguh menyakitkan ketika ada kekerasan terhadap rakyat, para pemimpin pertama-tama justru menuding provokator. Bukan mengevaluasi diri kenapa itu semua terjadi, dan cepat mencari solusi.
Doa, nubuat, prediksi, dan outlook tahun 2012, dengan cara masing-masing, ini tanda rakyat tetap semangat dan tak putus asa menghadapi kondisi yang menyesakkan dada itu. Justru kini tinggal niat para pemimpin, bisa atau tidak menjadi lokomotif perubahan. Selamat Tahun Baru! n
Sumber: Lampung Post, Senin, 02 January 2012
No comments:
Post a Comment