Thursday, January 05, 2012

Empat tahun Indonesia "Berlindung" di Yogyakarta

-- Masduki Attamami

SELAMA hampir empat tahun Pemerintah Indonesia pernah "berlindung" di Yogyakarta. Dimulai pada 4 Januari 1946 ketika Presiden Soekarno memboyong pemerintahannya ke Yogyakarta karena situasi keamanan ibu kota Jakarta makin memburuk dengan kedatangan tentara sekutu yang diboncengi NICA.

Kedatangan NICA yang membonceng tentara sekutu menyebabkan para petinggi Pemerintah Republik Indonesia waktu itu terancam nyawanya. Perdana Menteri Sutan Sjahrir sendiri pernah merasakan mobilnya diberondong peluru. Bahkan hampir setiap malam Soekarno berpindah-pindah tempat karena diburu pasukan intel Belanda.Kondisi tersebut menyebabkan pemerintahan yang masih seumur jagung tidak berjalan efektif.

Tan Malaka, aktivis pejuang kemerdekaan Indonesia memberi saran kepada pemerintah agar Jakarta segera dikosongkan dari pemerintahan Republik dan pemerintah menyingkir ke daerah lain. Wakil Presiden Mohamad Hatta mengusulkan Yogyakarta untuk tempat "berlindung" Pemerintah Indonesia sambil mengefektifkan pemerintahan. Hatta menyebut Yogyakarta adalah tempat yang tepat, karena semua rakyatnya dikendalikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soekarno setuju, dan kemudian memerintahkan stafnya menghubungi Sri Sultan.

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu kemudian menyatakan dirinya menjamin Pemerintahan Republik Indonesia aman di Yogyakarta. Jaminan dari Sri Sultan itulah yang dijadikan momentum paling penting bagi keberadaan Republik Indonesia di tengah ancaman serbuan pasukan Belanda.

Pada 4 Januari 1946 Soekarno dan Hatta memindahkan pusat pemerintahan sekaligus Ibu Kota Negara Republik Indonesia ke Yogyakarta. Presiden dan Wakil Presiden sebagai lambang kekuasaan negara pindah ke Yogyakarta dengan kereta api luar biasa (KLB), sekaligus memboyong keluarga mereka.

Petinggi negara yang tidak ikut diboyong ke Yogyakarta hanya Sutan Sjahrir. Ia tetap berada di Jakarta bersama kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda. Menurut sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Suhartono, fakta sejarah itu jangan sampai dilupakan, apalagi diabaikan.

"Pemerintah pusat diharapkan tidak mengabaikan fakta sejarah bahwa Yogyakarta waktu itu pernah menjadi ibu kota negara, dan Yogyakartamemberikan andil terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini.

Ia menyebutkan selama hampir empat tahun, 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, Ibu Kota Negara Republik Indonesia berada di Yogyakarta. Menurut dia, pada saat itu Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan secara politis, dan memiliki posisi strategis dalam perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

"Posisi Yogyakarta dengan keistimewaannya jika berlatar belakang sejarah, seharusnya tidak bisa dipisahkan dan dihilangkan. Keistimewaan itu di antaranya posisi Sultan sebagai Raja Keraton, dan Paku Alam sebagai Adipati Pakualaman," katanya.

Bertanggung jawab penuh
Sri Sultan Hamengku Buwono IX bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan seluruh petinggi pemerintah Republik Indonesia selama mereka "berlindung" di Yogyakarta.

Waktu itu seluruh petinggi pemerintah Indonesia ditempatkan di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sedangkan Presiden Soekarno bertempat tinggal di Gedung Agung (Gedung Negara atau Istana Presiden), yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari keraton.

Sumber sejarah menyebutkan meskipun Belanda tahu Yogyakarta menjadi pusat kendali Pemerintah Republik Indonesia saat itu, namun tentara Belanda tidak berani langsung menyerbu Yogyakarta.

Sebab, Ratu Juliana dulu adalah teman sekolah Sri Sultan di Belanda. Mereka berdua sejak di sekolah dasar hingga perguruan tinggi di Belanda berada dalam lingkungan yang sama.

Pesan dari Kerajaan Belanda waktu itu, keselamatan Sri Sultan tidak boleh diganggu. Karena sikap keras Ratu Juliana yang tidak memperbolehkan kekuatan militernya menyenggol Sri Sultan, maka staf militer di Belanda menempuh kebijakan untuk mempengaruhi Sri Sultan agar berpihak kepada Belanda. Sri Sultan kemudian ditawari menjadi pemimpin pemerintahan bersama Indonesia-Belanda, namun tawaran itu ditolak oleh Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Belanda tampaknya tidak sabar atas sikap keras Sultan yang berdiri di belakang pemerintahan Republik Indonesia, dan Belanda tak punya pilihan lain, sehingga bagaimana pun juga harus menguasai Yogyakarta. Pada 1948 setelah terjadi peristiwa Madiun, Belanda punya taktik yang licik menikam pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta.

Belanda awalnya mengadakan perjanjian kerja sama latihan militer dengan TNI sebagai wujud gencatan senjata, tetapi kemudian dari Semarang pasukan Van Langen menerobos masuk Yogyakarta melalui Operasi Kraai.

Sekitar 10.000 penerjun payung tentara Belanda "menghujani" kawasan Maguwo, Yogyakarta. Saat itu Yogyakarta diserbu tanpa persiapan.

Dikisahkan, waktu itu yang menjabat komandan keamanan Kota Yogyakarta adalah Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden RI kedua). Namun, tidak diketahui pasukan Soeharto saat itu ada di mana. Letkol Latif Hendraningrat langsung mencari Soeharto, tetapi tidak ketemu. Sedangkan Sudirman (yang kemudian menjadi Panglima Besar) masih terbaring sakit karena penyakit paru-parunya semakin parah. Bahkan paru-parunya sampai menghitam. Bung Karno bersama para petinggi pemerintah Republik Indonesia waktu itu sedang rapat di Gedung Agung.

Pasukan Van Langen secara cepat masuk ke Gedung Agung. Sebelumnya, terjadi perdebatan keras. Soekarno diminta memilih menyerah atau melawan Sekutu. Soekarno berpendapat bahwa dengan dirinya menyerah, maka dunia internasional akan meributkan agresi militer Belanda itu dan memberikan dukungan terhadap Indonesia.

Namun, Sudirman menghendaki dilakukan perlawanan total. Soekarno dan Hatta harus ikut berperang. Soekarno akhirnya memilih tidak ikut cara yang ditempuh Sudirman, yaitu perang secara bergerilya.

Sebelum ditangkap oleh pasukan Van Langen, Soekarno berpesan kepada Sri Sultan agar keutuhan Republik Indonesia dijaga. Sultan hanya mengangguk. Sri Sultan tidak hanya memenuhi janji menjaga keutuhan Republik Indonesia, tetapi juga berpikir keras bagaimana cara agar Yogyakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia mendapatkan kemenangan politik di dunia Internasional.

Suatu sore, Sultan mendengar semacam dialog atau perdebatan melalui Radio BBC bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Delegasi Belanda di Perserikatan Bangsa Bangsa menyatakan pemerintahan ilegal Republik Indonesia sudah hilang secara "de facto", dan yang berkuasa adalah Belanda. Kota Yogyakarta sepenuhnya dibawah kendali Pemerintahan Belanda.

Mendengar hal itu, Sultan mendapatkan gagasan untuk mengejutkan dunia Internasional. Dipanggilnya Soeharto sebagai Komandan Wehrkreise X untuk membangun serangan kejutan. Maka terjadilah Serangan Umum 1 Maret 1949, yang kemudian mengubah jalannya sejarah Bangsa dan Negara Indonesia.

Setelah terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, Pemerintahan Belanda di PBB kalah suara, dan dunia Internasional mendukung Pemerintah Republik Indonesia, sehingga pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan RI.

Yogyakarta Kota Republik
Terkait dengan sejarah tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada 4 Januari 2011 mengukuhkan Yogyakarta sebagai Kota Republik, bertepatan dengan tanggal kepindahan Ibu Kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.

Saat melakukan pengukuhan itu, Sri Sultan HB X didampingi Wakil Gubernur DIY Sri Paku Alam IX, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati Sleman Sri Purnomo, dan Wakil Bupati Gunung Kidul Badingah.

"Saya selaku Gubernur DIY akan mengeluarkan surat keputusan, yaitu setiap 4 Januari diperingati sebagai Yogyakarta Kota Republik, dan wajib bagi masyarakat memperingatinya," kata Sultan HB X saat mengukuhkan Yogyakarta Kota Republik di Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 4 Januari 2011.

Ia mengajak seluruh warga masyarakat bersama-sama mendukung hal tersebut sebagai kekuatan untuk terus membangun kebersamaan dan memberikan kontribusi terhadap masa depan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pidato singkat Sultan HB X di hadapan ribuan warga Yogyakarta yang baru saja melakukan "long march" kirab budaya sebagai prosesi awal sebelum pengukuhan itu, langsung disambut tepuk tangan meriah.

Koordinator panitia bersama kirab budaya Widihasto mengatakan pengukuhan Yogyakarta Kota Republik memiliki sejumlah makna, di antaranya menjaga nilai-nilai patriotisme bangsa, peneguhan sikap politik masyarakat Yogyakarta berdasarkan Amanat 5 September 1949.

Selain itu, ia berharap melalui pengukuhan tersebut, Yogyakarta tetap menjadi kota yang terbuka untuk seluruh budaya nusantara, dimana modernisasi dapat bersanding secara harmonis dengan tradisi. "Semoga semangat pengukuhan Yogyakarta Kota Republik ini meresap ke seluruh masyarakat Yogyakarta," katanya.

Dalam acara pengukuhan tersebut juga ditampilkan pertunjukan wayang revolusi yang menceritakan sejarah perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Hip hop keistimewaan Yogyakarta, kemudian menutup seluruh rangkaian acara pengukuhan tersebut.

Sekretariat Bersama (Sekber) Keistimewaan, organisasi yang memperjuangkan penetapan gubernur dan wakil gubernur DIY, akan menggelar peringatan 66 tahun sejarah perpindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta 4 Januari 1946.

Peringatan itu dijadwalkan berlangsung di depan Gedung Agung, Jalan Ahmad Yani, Kota Yogyakarta, pada Rabu 4 Januari 2012. "Puncak peringatan akan kami lakukan di depan Gedung Agung Yogyakarta pada Rabu sekitar pukul 15.30 WIB," kata Koordinator Sekber Keistimewaan Widihasto Wasana Putra di Yogyakarta, belum lama ini.

Pada peringatan tersebut akan dibentangkan bendera Merah Putih sepanjang 66 meter sebagai simbol peringatan sejarah, dan digelar drama yang menceritakan sejarah perpindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta 4 Januari 1946. (ANT)

Sumber: Oase Kompas.com, Kamis, 5 Januari 2012

No comments: