-- Agnes Hening Ratri
SIANG belum genap di Madura, ketika kasus kekerasan kembali mengoyak bumi. Kelompok anti toleransi telah membakar sejumlah pesantren dan tempat ibadah milik jemaah Syiah. Mungkin kita masih berharap ada setitik cahaya untuk menerangi mereka yang membawa api dan pedang? Hanya setitik agar mereka melihat bahwa yang dianiaya, dibantai dan dirusak adalah sesama warga Negara. Mereka juga pernah bersama-sama membangun Madura hingga saat ini.
KOMPAS/DIDIE SW
Desember belum usai ketika aroma kekerasan kembali menyeruak dari dinding-dinding sekam rumah ibadah. Pada 23 Desember sore, sebelum senja usai pesan singkat dari Pendeta Bedalihulu mampir di ponsel. “Gereja kami di segel jam lima sore tadi, tolong kami”. Menjelang Natal, kembali jemaat sebuah gereja di Tangerang harus menahan amarah dan benci karena rumah ibadah mereka direbut oleh satpol PP dengan alasan warga tidak setuju ada rumah ibadah disana. Alasan yang sangat klise dan sepertinya tidak ada alasan lain.
Nyeri menusuk jantung ketika sesame anak bangsa merasa lebih berhak tinggal di bumi periti ini. Merasa jauh lebih memiliki warisan untuk mendirikan rumah ibadah dan merasa sebagai pemilik satu-satunya kebenaran di muka bumi ini. Wajah garang berselimut murka kembali terbayang. Betapa ngerinya berada dalam situasi yang tidak menguntungkan, dengan sedikit pengikut dan sedikit nyali.
Bahkan tawa riang anak-anak GKI Yasmin harus ditelan riak demonstran anti keberagaman. Perayaan Natal yang ditunggu-tunggu tak juga bisa mereka nikmati. Jangankan berbagi kado, untuk berdoa saja mereka tidak mendapat tempat di negeri ini. Masih terbayang wajah-wajah lucu nan riang yang sering bertanya “Mengapa kami tidak boleh berdoa di gereja?”
Penyegelan, penutupan, perusakan masih menjadi bara yang meranggas di Indonesia. Atas nama keinginan kelompok yang bersuara keras (anti toleransi) Negara ini menjadi lembek, lemah dan tunduk. Kita sudah letih bertanya kemana perangkat hukum beraksi ketika kasus seperti ini terjadi? Apakah mereka bersembunyi di warung-warung sambil minum teh, atau mereka menyimpan senjata laras panjang untuk “dihadiahkan” pada para demonstran atau petani?.
Mungkin saja, bagaimana tidak mereka begitu garang melayangkan tendangan dan peluru ketika aksi masyarakat dan mahasiswa bergema. Bahkan atas nama aparat mereka pun menjadi begitu arogan di halaman Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta beberapa waktu lalu.
Indonesiaku dalam rengkuh Pancasila yang kian lesu, menunduk dalam garis batas khatulistiwa yang kian panas. Sepanas desing peluru yang mencabut nyawa di Bima, Mesuji dan Papua. Rakyat yang membayar aparat, namun rakyat juga yang menerima timah panas. Merasakan mesiu masuk menerobos jantung dan bersarang dalam dinding-dinding kematian.
Keterangsingan kemudian menjadi kawan dalam merengkuh luka dan air mata. Karena berkata-kata telah menghabiskan energi dan menguras seluruh keberanian untuk melawan. Negeri ini telah kembali menjadi gagu, wagu dalam bersikap dan bahkan seringkali lebih memilih diam menjadi penonton atas pesta darah yang tertumpah.
Negeriku dalam cengkeraman maut, tiap saat membutuhkan tumbal. Tumbal dari mereka yang berani bersikap untuk menjadi santapan pemimpin abal-abal yang bersekutu dengan kaum bar-bar. Betapa kita sangat menyayangkan situasi ini. Bukankah hal ini kemudian meremehkan perjuangan Ignatius Slamet Rijadi, NI Mas Agustinus Adisutjipto (diabadikan menjadi nama bandara di jogja), Marta Christina Tijahahu, Latuharhary, Maria Walanda Maramis, MGR A.Sugiopranoto, S.J dan lain sebagainya. Dulu mereka tidak pernah bertanya agamamu apa dan berjuang untuk kelompok agama mana. Namun saat ini kita bisa melihat betapa angkuhnya anak-anak bangsa yang mewarisi kemerdekaan.
Kelewang dan pedang sekelebat melayang di atas langit Madura dan Cikesik tahun ini. Meminta darah dan nyawa bagi mereka yang setia pada keyakinan. Batu dan kayu bersahabat dengan suara doa-doa jemaat GKI Yasmin, gereja Rancaengkek, dan Sepatan.
Sementara mesiu dan senjata laras panjang masih mengintip di bumi Cendrawasih, menyelinap diantara perkebunan sawit Mesuji serta berbaur dengan aroma pantai di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Sampai kapan irama kekerasan ini akan berhenti? Kemudian saling berdekapan dalam satu rumah yang nyaman bernama Indoensia? Kapan suara azan berpadu dengan kidung malam kudus? Meramu kalimat memuji Tuhan dalam kesantunan dan kemuliayaan.
Merindukan Indonesia tanpa kelewang, tanap pedang, tanpa batu, mesiu dan senjata laras panjang. Seperti bermimpi tentang kejayaan masa lalu, dimana sumberdaya melimpah, rempah-rempah menjadi kekayaan nusantara, dimana laut menjadi kawan baik bagi nelayan. Berharap tentang perubahan Indoensia, seperti menyusun parcel yang telah tercecer di berbagai tempat. Tidaklah mudah mengembalikan senyum anak-anak negeri ini yang telah lama menyimpan nya dalam bilik-bilik suram wajah mereka.
Mengeja kembali Indonesia dalam ruang bersama bernama Pancasila, di mana perbedaan menjadi kekayaan, di mana keanekaragaman menjadi begitu berwarna. Tidak senada, tidak seirama dalam melantunkan zikir dan pujian atas nama Tuhan, karena sejatinya Ia pun mengetahui semua bahasa. Bukan penyeragaman…..
Jogjakarta, 30 Desember 2011
Agnes Hening Ratri
• Penulis Freelance tulisannya dimuat di media online dan cetak, Penulis Oase Kompas.com “Sondang, Sang Revolusioner Telah Pergi”
• Jurnalis media cetak terbaik untuk kategori liputan konflik agama (PPMN 2011)
• Penulis buku “Kekerasan dan Rapuhnya Politik Multikultural Negara 2010”
• Penulis antologi puisi, “Membaca Jogja 2011”
• Penulis Buku” Monitoring Kebebasan Beragama 2011”
• Saat ini sedang menempuh studi Program Pasca Sarjana di STISIP Widuri Jakarta
Sumber: Oase Kompas.com, Rabu, 4 Januari 2012
No comments:
Post a Comment