Judul: Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama
Penyusun: St. Sularto
Penerbit: Kompas
Cetakan: I, September 2011
Tebal: vii + 660 halaman
KESUKSESAN grup Kompas-Gramedia seperti sekarang lahir dari tangan dingin duet ini: P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Merekalah yang mendirikan Kompas dengan basis keimanan sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.
Peran Ojong lebih banyak di sektor usaha dan pengembangan perusahaan meskipun basis Ojong pun jurnalis yang andal. Terlebih Jakob yang memang berkonsentrasi penuh di ranah jurnalistik. Keduanya sepaham meskipun Jakob lebih luwes. Ini kentara saat Kompas termasuk koran yang diberedel pemerintah. Dan saat ada tawaran untuk terbit lagi dengan sejumlah noktah kesepakatan, lubuk hati Ojong tak sepakat. Namun, dengan beragam pertimbangan, termasuk dapur dari karyawan perusahaan yang mesti tetap mengepul, Kompas akhirnya "tunduk" dan terbit lagi. Sampai sekarang. Sampai menjadi raksasa media. Pun ke daerah-daerah dengan koran "murah" berbasis nama Tribun.
Usai Ojong mangkat pada Mei 1980, Jakob mengurus semuanya. Konsentrasinya kini tak cuma pada redaksi. Ia mesti pintar mengelola aset perusahaan dan mencari terobosan agar koran dan grup usahanya itu makin hari makin bagus performanya.
Sesuatu yang sangat menarik dari cara bertindak Jakob adalah mendasari kerjanya dengan basis keimanan. Ia percaya jika bekerja dengan iman yang baik, yang transendental, hasilnya juga bagus. Jakob, sebagaimana sudah dimulakan Ojong, sangat memanusiakan semua karyawannya. Jakob menjadi ayah sekaligus bos besar mereka dalam ranah korporasi.
Buat Jakob, sekolahnya di seminari ternyata menjadi basis terkuat dalam cara berpikir dan bertindaknya. Meskipun kemudian "menyimpang" dengan bekerja sebagai wartawan, Jakob tetap punya idealisme seorang seminari. Itu bahkan tecermin dalam sikap hidupnya dalam memimpin korporasi.
Titik balik itu barangkali terlihat saat Kompas diberedel dan ditawarkan untuk terbit lagi. Di halaman 31 buku yang disusun St. Sularto ini kita bisa menyimaknya.
"Malam itu, tanggal 20 Januari, Jakob segera menuju ke kantor, lokasi redaksi Kompas di Palmerah Selatan. Rumah tinggalnya di Pejompongan, hanya sekitar lima kilometer. Mobil Fiat warna cokelat susu itu dalam beberapa menit sudah menvapai halaman kantor. Jakob menyapa wartawan dan karyawan yang sedang tugas malam. Mereka tetap tekun bekerja walaupun sebagian tampak dengan tatapan kosong. Sebagian ada yang tertawa-tawa, menutupi kebingungan dan kecemasan dengan kebanggaan mengalami dan menyaksikan diri sebagai bagian dari korban pemberedelan penguasa atas media. .... Jakob mendekati mereka sambil merasakan beratnya rasa kehilangan pekerjaan. Swantoro—adik kelasnya di seminari, setahun bekerja bersama di Intisari sebelum akhirnya dia tarik ke Kompas tahun 1967—bertindak cepat. Swantoro meminta agar pekerjaan diteruskan...."
Buat Jakob, Ojong adalah guru sekaligus rekan kerja yang menyenangkan. Jakob tahu persis bagaimana keseriusan Ojong dalam menekuni bidang kewartawanan. Maka itu, tak heran, kalau Jakob—seperti testimoni banyak pihak—tetap sederhana. Kalaupun ada rasa bangga, itu menjadi kekuatan buat korporasi yang ia pimpin.
Tahun ini Jakob pas berusia 80 tahun. Usia yang matang. Ia lahir di Desa Jowahan, dekat Candi Borobudur, Jawa Tengah, 27 September 1931. Dan sampai sekarang masih berdiri sebagai "orang tua" untuk semua karyawannya di grup korporasinya yang besar itu.
Nunung Nurdiah, praktisi pendidikan, pembaca buku
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Januari 2012
No comments:
Post a Comment