Sunday, January 15, 2012

Meracik Buku dari Pengasingan

-- Riza Multazam Luthfy

BERDASARKAN catatan muridnya (Abdullah Ahmad An-Naim), sekitar tahun 1948-1951, Taha pernah menulis dalam catatan hariannya—saat diasingkan: Jika saya harus mati, saya harus dikuburkan dengan pakaian yang melekat di tubuh saya saat itu, tanpa upacara penguburan, dan tanpa nisan.

Media Penggayuh Tujuan

Pengasingan; sebiji hukuman yang kerap dipersembahkan kepada penentang hegemoni penguasa. Hukuman yang bertujuan melahirkan efek jera ini menjelma pilihan alternatif sekaligus solutif bagi si lalim untuk membungkam beragam aksi yang mengancam kemapanan. Dengan cara diasingkan, tentu si terhukum akan merasakan tekanan mental luar biasa. Betapa hatinya akan tersayat sebab jauh dari teman dan keluarga. Betapa ia bakal meronta-renta karena dihindarkan dari kebebasan—sesuatu yang diidam-idamkan dalam kehidupan.

Meski dibenci sebab membawa malapetaka, namun, bagi sebagian orang, nyatanya pengasingan didaulat selaku sarana terbaik dalam upaya menggali nilai-nilai kehidupan. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, yang rajin memperoleh ilham justru saat berada dalam pengasingan. Dengan dijauhkannya dari realitas, hal tersebut tidak lantas membuatnya tertekan dan patah arang. Malah, ia sanggup merubah orientasi pengasingan sebagai hukuman menjadi media mematangkan konsep dan tujuan. Inspirasi dalam karya-karyanya ditemukan kala ia harus mengunyah kesunyian.

Itu pula yang dialami oleh Dante Alighieri, Abdul Muis, Hatta, dan Mahmoud Mohamed Taha.

Dante Alighieri (1265-1321) pernah mengirim surat kepada para Kardinal yang tengah meggelar Conclave (sidang para Kardinal untuk memilih Paus baru) setelah Paus Clemens V wafat tahun 1314. Dalam surat itu, Dante mengusulkan kepada para Kardinal agar Paus baru dipilih di antara calon dari Italia. Tindakan ini sungguh berani dan dinilai amat tidak sopan oleh Gereja, mengingat seorang “awam” ikut campur dalam pemilihan Paus yang menjadi hak prerogratif para Kardinal (sekelompok kecil pimpinan gereja Katolik, yang punya hak dicalonkan dan mencalonkan Paus baru). Gereja mengambil tindakan keras dengan menangkap dan mengasingkan Dante ke Ravenna. Pengasingan ini ternyata mengalirkan berkah bagi Dante, sebab ia mengantongi banyak waktu untuk mencurahkan perhatiannya pada bidang tulis-menulis. Hasilnya adalah buku yang diberi judul Comedia (oleh penerbit pada tahun 1555, ditambah namanya menjadi Divina Comedia), yang dianggap sebagai karya terbesarnya.

Pada tahun 1926, pemerintah Hindia Belanda melarang Abdul Muis tinggal di daerah kelahirannya di Sumatera Barat, disusul dengan larangan keluar pulau Jawa. Ia juga dilarang mengadakan kegiatan politik. Tetapi, ia diperbolehkan memilih daerah yang disukainya sebagai tempat pengasingan. Akhirnya, ia menetapkan Garut, Jawa Barat, sebagai loka tinggalnya. Masa pengasingan di Garut rupanya menjadi blessing in disguise baginya. Ia menganggit buku yang kemudian hari menjadi sangat mashur dengan judul Salah Asuhan. Novel pertama Abdul Muis yang tidak memasalahkan adat kolot yang acap kali sudah tidak sejalan lagi dengan kemajuan zaman serta hendak mempertanyakan kawin campur antarbangsa. (J.B. Sudarmanto: 3).

Usai menadah gelar sarjana, Hatta makin larut dalam kegiatan politik dan aktif menyumbangkan pemikiran dalam majalah yang diterbitkan partainya (Pendidikan Nasional Indonesia); Daulat Ra’jat. Akibat tulisan-tulisannya ia dibuang ke Boven Digul, Irian, sebuah wilayah pembuangan yang sering disebut Siberianya Hindia Belanda. Dalam pengasingan tersebut, Hatta membagul 16 peti buku. Buku-buku itu mengantarnya memiliki amunisi cukup untuk meluncurkan tulisan ke koran-koran di Batavia maupun Den Haag.

Mahmoud Mohamed Taha—nasionalis sejati kelahiran Sudan—dituduh terlibat dalam penolakan Partai Republik atas praktik penerapan undang-undang baru kolonial yang antipenyunatan pada perempuan (insiden Rufaah). Ia dijatuhi dua tahun penjara kemudian diasingkan di Rufaah. Walakin, ia justru memanfaatkan waktunya guna memperdalam agama dan ber-khalwat. Di masa pengasingan inilah ia merampungkan tesisnya tentang pesan kedua Islam dalam buku The Second Message of Islam (Aulia A. Muhammad: 130), yang dipelajari dan ditelaah sampai kini.

Berbeda dari tokoh-tokoh di atas, Ibnu Khaldun tidak menjalani hukuman pengasingan. Namun, sesuai kronik Hakimul Ikhwan (2004), ia sendiri yang mengambil keputusan untuk hidup dalam keterasingan. Hal itu dilakukan setelah mengabdi kepada beberapa pemerintahan. Betapa Ibnu Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Sehingga, ketika Abu Hamu memintanya untuk memburu dukungan politik dari para suku lebih besar, ia memanfaatkan kesempatan ini guna meninggalkan politik dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota Tunisia. Di sinilah, selama empat tahun ia mencurahkan pikiran dalam meneliti sejarah dan menyusun masterpiece-nya yang bertitel Muqaddimah.


Riza Multazam Luthfy, Lahir di Bojonegoro 9-11-1986. Karyanya bertebaran di beberapa media, seperti Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post, Sriwijaya Post, Surabaya Post, Malang Post, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, Kompas.Com, dan Annida. Ia adalah ahlul ma’had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program magister hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 15 Januari 2012

No comments: