OLEH karena mahalnya, sebagian kalangan menganggap dewasa ini perang konvensional yang melibatkan tentara dan persenjataan mahal telah kehilangan pamornya sebagai solusi pertikaian politik. Selain mahal, perang–seperti diperlihatkan oleh AS di Irak dan Afganistan—juga sulit diakhiri.
Satu lakon Baratayudha yang menampilkan akhir tragis anak Arjuna di medan laga Kurusetra, di mana Abimanyu dihujani panah dan tombak oleh Kurawa. Foto diambil dari pergelaran Wayang Orang Barata tanggal 26 Februari 2011. (KOMPAS/NINOK LEKSONO)
Tentang mahalnya, kita masih ingat buku Joseph E Stiglitz (dan Linda Bilmes) yang dikutip di awal tulisan ini, yakni The Three Trillion Dollar War. Invasi Irak yang dilancarkan oleh mantan Presiden George W Bush Maret 2003 menelan biaya sekitar Rp 27.000 triliun.
Meski AS sudah mencurahkan ongkos semahal itu, hingga AS mundur dari Irak, kondisi negara yang pernah diperintah oleh mendiang Saddam Hussein ini juga belum bisa dikatakan stabil. Hal sama bisa dikatakan untuk Afganistan. Ibaratnya, meski aneka persenjataan canggih dan batalyon elite telah dikerahkan di Afganistan, Taliban belum bisa dikalahkan dan konflik belum bisa diakhiri.
Dalam perspektif itu pula, AS dan kekuatan Barat lain kini memandang perang saudara di Libya dengan gamang. Di satu sisi, secara politik, baik Presiden AS Barack Obama maupun PM Inggris David Cameron telah sepakat bahwa pemimpin Libya Moammar Khadafy harus turun secepatnya, tetapi keduanya punya kendala untuk mencapai tujuan itu.
Sebelum ini, pekan silam, sudah dikabarkan bahwa sejumlah kapal perang AS telah mendekati perairan Laut Tengah di utara Libya. Muncul pula wacana untuk menerapkan zona larangan terbang seperti dulu pernah diterapkan di Irak. Namun, selain masih mencari dasar hukum untuk intervensi semacam itu, kedua kuasa besar dunia ini juga masih trauma dengan pengalaman terperangkap lumpur Irak yang amat berdarah dan berkepanjangan, sehingga tampak ada kebimbangan untuk menempuh kebijakan yang berpotensi menarik mereka ke lumpur baru.
Dari sinilah kita melihat, betapa negara dengan kekuatan persenjataan militer modern dan sangat perkasa pun berpikir berkali-kali untuk terjun dalam peperangan, seperti yang dilukiskan oleh Stiglitz, demikian mahal.
Ajaran Clausewitz
Selain semakin mahal, dari pemikir perang masa lalu kita juga diingatkan akan betapa kejam dan kerasnya perang. Tak kurang Carl von Clausewitz melalui karyanya yang masyhur Vom Krieg (Tentang Perang) menyebutkan, selain merupakan kelanjutan politik dengan cara lain, perang juga merupakan wujud ”kekerasan paling puncak”.
Pengkritik seperti Michael Doyle, yang menulis buku Ways of War and Peace, menyebutkan, alih-alih mengupas bagaimana menghindari perang, Clausewitz justru banyak memberi petuah agar sukses dalam berperang.
Meski gagasannya tentang perang absolut hanya berlaku pada tataran ideal, banyak pemikiran Clausewitz yang dinilai tetap relevan bahkan di abad ke-21 ini.
Artikel ini kembali menyebut Clausewitz sebagai bagian dari refleksi atas Perang Irak yang dimulai oleh mantan Presiden George W Bush dan masih terus berlangsungnya perang di Afganistan. Hal itu menunjukkan bahwa pertikaian politik juga, seperti yang kini tengah berkecamuk di Libya, masih sering diselesaikan melalui jalan kekerasan alias perang.
Dalam hal perang, baik yang terjadi di masa lalu maupun tengah berkecamuk dewasa ini, kita melihat banyak tragedi, tetapi sekaligus juga pelajaran. Cerita-cerita dari seni tradisi seperti pewayangan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, betapa pun sekarang banyak terkikis oleh budaya modern, memberi pula tambahan pemahaman tentang bagaimana kerasnya perang.
Riwayat Abimanyu
Abimanyu, anak satria penengah Pandawa, Arjuna, adalah satria yang harus mengalami sendiri ”kekerasan pada puncaknya” (violence to the utmost) yang diperlihatkan oleh perang.
Dikisahkan, ketika para Kurawa mengangkat Pandita Dorna menjadi Senapati atau Panglima Perang, Pandawa yang pernah menjadi murid-muridnya enggan untuk menghadapinya. Bima menolak, demikian pula Arjuna.
Persoalan muncul, karena Dorna menggelar strategi yang dinamai Cakrabhuya atau ”Roda Berputar” untuk menjebak Abimanyu. Abimanyu sendiri sebetulnya belum dijadwalkan turun berperang. Tetapi, setelah ayahnya enggan terjun berperang, sementara hanya Arjuna yang dinilai tahu cara mematahkan strategi Cakrabhuya, Abimanyu tak punya pilihan lain.
Di sini rupanya ”jam terbang” Dorna yang lebih tinggi bisa menaklukkan Abimanyu. Putra Arjuna dengan Dewi Sembadra, terisap oleh Roda yang Berputar tadi—yang kemudian, menurut Ensiklopedi Wayang Indonesia (Sena Wangi, 1999)—dituntaskan dengan strategi Supit Urang (Capit Udang), hingga ia tak bisa lepas lagi.
Abimanyu pun lalu menjadi sasaran empuk senjata Kurawa. Panah dan tombak, dalam jumlah ribuan, menghunjam ke tubuhnya. Dalam metafora Jawa, dalang sering melukiskan luka Abimanyu sebagai ”tatu arang kranjang”. Selain oleh panah dan tombak, tubuh Abimanyu juga hancur oleh injakan gajah.
”Kekerasan pada puncaknya” ini pun belum cukup bagi Abimanyu. Setelah dalam keadaan luka parah ia masih bisa membunuh sejumlah Kurawa, termasuk putra mahkota Kerajaan Hastina, Lesmana Mandrakumara. Abimanyu harus mengakhiri hidup dengan kepala pecah dihantam gada Jayadrata.
Abimanyu gugur sebagai pahlawan Pandawa, sekalipun dengan cara yang amat menyedihkan. Tetapi itulah, dalam perang tidak ada yang mudah. Yang ada adalah kekerasan, hingga yang paling ekstrem sekalipun. Di Ensiklopedi Sena Wangi disebut bahwa saat dikepung oleh Kurawa, Abimanyu yang sendirian harus menghadapi tujuh tokoh Hastina, mulai dari Resi Dorna, Patih Sengkuni, Aswatama, Adipati Karna, Dursasana, Prabu Salya, hingga Prabu Duryudana.
Putra Penengah Pandawa ini juga sempat bertanya, mengapa tokoh-tokoh yang ia hormati itu sampai hati melanggar hukum perang dengan mengeroyok dirinya? Hal ini pun melukiskan, perang memang ada hukumnya, tetapi dalam keadaan kemelut dan hawa amarah tak terkendali, siapa yang bisa menjamin penegakannya?
Sumber renungan
Lakon Abimanyu Gugur dipentaskan oleh Wayang Orang Barata Sabtu 26 Februari 2011, sebagai rangkaian dari Serial Baratayudha, yang sebelumnya juga telah mementaskan lakon Bhisma Gugur.
Dari Baratayudha kita juga akan melihat bagaimana tokoh-tokoh kedua pihak gugur satu demi satu, sebagian juga dengan kekerasan ekstrem, seperti halnya Patih Sengkuni atau Dursasana. Tetapi, menyaksikan Abimanyu, yang kadang bahkan diperankan oleh pemain perempuan karena saking halusnya pembawaan satria ini, gugurnya Abimanyu secara mengenaskan di Palagan Kurusetra amat menyedot perasaan.
Bagi satria sejati, gugur di medan perang—bagaimanapun caranya, seekstrem apa pun kejamnya—akan diterima sebagai risiko kedudukannya. Bagi yang percaya dengan takdir kausalitas, nasib Abimanyu tak dapat dipisahkan dari apa yang pernah ia ucapkan sendiri. Dikisahkan, ketika akan menikah dengan Utari, putri bungsu Prabu Matswapati, sang putri menanyakan, apakah Abimanyu masih perjaka. Abimanyu mengaku demikian, padahal ia telah menikah dengan Siti Sundari, putri Prabu Kresna. Saat itu, untuk meyakinkan Utari, Abimanyu mengatakan, ”Aku masih perjaka. Sumpah! Kalau aku bohong kepada Dinda, kelak di Baratayudha aku akan gugur secara aniaya dengan tubuh penuh luka.”
Namun, di balik semua duka yang amat dalam, kehidupan menawarkan harapan. Karena tekun bertapa, Abimanyu meraih Wahyu Cakraningrat. Selain besar artinya bagi kemenangan Pandawa dalam Baratayudha, Wahyu ini menjanjikan bahwa keturunan penerimanya akan menurunkan raja-raja di kemudian hari. Hal itu terbukti, karena seusai Baratayudha, anak Abimanyu-lah, Parikesit, yang lalu menjadi raja Hastinapura.
Dari Abimanyu memang ada dua kisah yang sering juga mewarnai kehidupan. Di satu sisi ada penderitaan ekstraberat, namun di sisi lain juga ada anugerah yang besar. Satu sisinya, yakni tentang ekstremnya kekerasan perang, seyogianya terus menginspirasi kita, khususnya saat harus menghadapi kemungkinan perang.
(Ninok Leksono)
Sumber: Kompas, Jumat, 11 Maret 2011
No comments:
Post a Comment