Sunday, March 13, 2011

Cinta Kami untuk Anak-anak Istimewa

-- Nur Hidayati dan Yulia Sapthiani

ANAK-ANAK ini berkebutuhan khusus. Mereka memerlukan cara berbeda untuk belajar, bahkan untuk berkomunikasi. Mereka membutuhkan orangtua yang memahami, mencintai, dan tidak menyerah. Sebab, di balik segala masalah yang tampak, mereka adalah anak-anak yang istimewa. Ikhsan (20) hanya dapat ”berbicara” melalui SMS. Kepada ibunya, Dyah Puspita, ia mengirimkan SMS ini: ”Ikhsan love ibu”. Disambung SMS berikutnya: ”Love selamanya”. Ita—begitu sang ibu biasa dipanggil—tercekat membaca SMS-SMS ini.

Sebagai seorang psikolog, pengelola Sekolah Mandiga yang dikhususkan bagi anak autistik, dan terutama sebagai ibu dari anak autistik, Ita paham betul SMS itu gambaran perasaan terdalam. Sesuatu yang sangat sulit dan tidak lazim disampaikan seorang autistik. Jangankan menyampaikan, mengenali perasaan sendiri pun sesuatu yang sangat sulit bagi Ikhsan.

Sebelum Ikhsan bisa mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaannya, tak ringan perjuangan Ita untuk mendidik Ikhsan. Perjuangan yang disebut Dyah mesti dijalani dengan peluh, air mata, deraan emosi, sekaligus penuh rasa syukur.

Karakter dan kemampuan di antara sesama individu autistik beragam. Karena itu, psikolog dari Universitas Indonesia, Adriana Ginanjar, mengingatkan, setiap anak autistik membutuhkan penanganan individual untuk mengembangkan diri.

”Ada yang awalnya low functioning, tingkah lakunya belum tertata, melalui terapi bisa menjadi high functioning, lebih mampu mengurus dirinya sendiri,” ujar Adriana.

Meski berbeda karakter, terdapat tanda-tanda awal yang perlu diwaspadai orangtua untuk memastikan sejak dini apakah anaknya mengalami autisme atau permasalahan lain, seperti gangguan konsentrasi dan hiperaktif (attention deficit disorder/ADD dan attention deficit hyperactive disorder/ ADHD).

Secara umum, terdapat panduan tentang perkembangan anak yang mesti diperhatikan orangtua, misalnya pada umur berapa bayi mulai merangkak, berdiri, lalu berjalan. Di samping itu, perlu diperhatikan pula perkembangan kognisi yang ditandai dengan kemampuan anak berkata-kata, memahami bahasa, dan berempati.

Keterlambatan berbicara yang disertai kurang berkembangnya pemahaman merupakan gejala yang mesti diwaspadai orangtua. ”Yang bahaya kalau anak enggak berbicara, harus menunjuk untuk minta sesuatu, tetapi orangtua mengira anaknya ngerti. Apalagi kalau anak sangat cuek, enggak ada kontak mata,” ujar Adriana.

Bukan kebetulan Adriana mendalami autisme sebagai studi doktoralnya pada 2004-2007. Ia juga ibu dari seorang autistik, Azka (17). Pengalaman pula yang membuat Adriana menekankan pentingnya permasalahan anak dideteksi dan ditangani sedini mungkin.

”Aku baru bisa terima kenyataan bahwa dia autis itu umurnya empat tahun, sudah terlambat. Selain informasi saat itu belum sebanyak sekarang, juga karena memang saya sempat menyangkal itu,” ujarnya.

Kini, menurut Adriana, putra sulungnya itu tetap berada dalam kategori autistik low functioning. Ia masih kerap kesulitan berkomunikasi. Sebagai seorang ibu, harapan Adriana kepada putranya tak muluk-muluk.

”Aku ingin dia lebih bisa mengekspresikan diri, berkomunikasi. Aku berharap dia cukup happy dan bisa manage tingkah lakunya. Jadi, kalau nanti orangtuanya enggak ada dan adiknya enggak bisa ngurus dia, dia bisa diterima tinggal di semacam asrama gitu. Kalau tingkah lakunya buruk, kan bisa-bisa dia enggak diterima,” ujar Adriana.

Menjadi berbeda

Beragam masalah tak serupa dialami anak-anak yang dikategorikan berkebutuhan khusus. Sebagian di antaranya, seperti para siswa Sekolah Talenta, sekilas tampak tak bermasalah. Padahal, hampir semua siswa di sekolah khusus untuk anak berkesulitan belajar ini pernah ”gagal” di sekolah umum.

Berkesulitan belajar sama sekali tak berarti mereka punya problem kecerdasan, bahkan tak sedikit yang IQ-nya di atas rata-rata. Kebanyakan siswa di Talenta didiagnosis mengalami ADD dan ADHD.

Ketika belajar di sekolah umum, anak-anak ini menjadi ”berbeda” di antara teman sebaya mereka. Sungguh bukan hal yang mudah. Aninda (15) yang didiagnosis ADD, misalnya, selalu ditunggui ibunya, Irma, di sekolah. Meski begitu, ia tetap sering menanggung sikap kasar (bully) teman-temannya.

”Waktu sekolah di SD umum, setiap hari Aninda bilang, ’aku bodoh, Ma’. Itu karena teman-temannya di sana mengatai dia begitu,” ujar Irma menuturkan pengalaman putrinya.

Label abnormal, nakal, bahkan gila pernah pula dilekatkan kepada Amanda (15). ”Setiap hari saya ke sekolah menemani Amanda sambil membawa sekotak pensil. Waktu itu tiap hari dia akan mengambili pensil teman-temannya,” ujar Marlene tentang putrinya yang hanya mau belajar lewat nyanyian atau cerita. Akhirnya, Amanda pun dipindahkan dari sekolah itu.

Lain lagi cerita Vernell (13) yang didiagnosis ADHD. Dia tak punya persoalan dengan materi akademik dan lolos memuaskan pada ujian nasional. Namun, Vernell hanya sanggup bertahan dua pekan di SMP umum sebelum akhirnya pindah ke Talenta.

”Dulu setiap ke sekolah, bawaannya stres. Ada tekanan dari sekolah dan teman-temannya,” ujar Nina (42), sang ibu yang selalu menungguinya di sekolah.

Vernell berminat pada—dan karenanya sangat hafal—data sejarah, geografi, dan demografi Amerika Serikat. ”Kalau lagi marah, dia bilang mau pulang ke Amerika,” ujar Nina. Padahal, Vernell belum pernah ke sana.

Kini Amanda dan Vernell sama-sama bersekolah di Talenta meski berbeda kelas. Seperti wajarnya anak usia remaja, keduanya saling menunjukkan ketertarikan. Setiap tiba di sekolah, hal pertama yang dilakukan Amanda adalah mencari Vernell, begitu pun sebaliknya. Mereka hanya saling melihat, menyapa, baru kemudian menjalani pelajaran di kelas masing-masing dengan baik-baik saja.

Untuk memastikan anak berkebutuhan khusus memperoleh sekolah, terapi, dan penanganan tepat yang mereka butuhkan, orangtua kerap harus berjuang, bahkan hingga membangun sekolah dan komunitas. Namun, tak ada usaha berlandaskan cinta yang akan sia-sia.

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Maret 2011

No comments: