-- Nadia Raissofi H.
TELAH banyak ulasan tentang Supersemar. Bahkan yang menarik ketika Metro TV mengungkap kenyataan bahwa Supersemar, antara lain "bentuk kudeta" bergaya kultur Indonesia.
Lepas dari asumsi berbagai pihak, kamus kesejarahan di dalam Republik ini, tidak bisa terlepas dari raksonomi besar, betapa kekuasaan bisa beralih perlahan tapi pasti yang di mana, di satu pihak, kekuatan militer “bersamaan dengan” pembantaian terhadap common enemy, yakni PKI. Di pihak lain, dalam peta politik kepemimpinan, Soeharto and His Gang ketika itu jelas memanfaatkan student movement melalui isu Tritura.
Tokoh tokoh seperti Comas Batubara, Yosar Anwar, Fahmi Idris, Limbiang Koen, Herman Toleng dll. adalah kampiun pergerakan yang "disulap" oleh sejarah untuk memainkan peran bagi kemunculan Soeharto dkk. yang punya jargon mikul duwur mendem jero.
Apabila dipandang dari kultur gerakan mahasiswa dalam dimensi budaya politik Indonesia pada umumnya, momentum Supersemar adalah momentum masa akil balig kaum sekolahan, kemudian muncul masa pancaroba setelah sembilan tahun kemudian, yakni peristiwa Malari.
Proses politik mahasiswa pada Angkatan 66 yang acap disebut sixty days shoock the world (60 hari yang mengguncangkan dunia dari 11 Januari—11 Maret 1966) adalah masa di mana peran pergerakan akil balig yang tanpa sadar ditunggangi oleh militer.
Maka apabila kemudian dipertanyakan, apakah masa itu monumental bagi suatu pembentukan, atau katakanlah percontohan bagi pergerakan mahasiswa. Jawabnya bisa ya, bisa tidak. Ya, bila dikaitkan dengan huru-hara, dalam arti sebagaimana galibnya masa akil balig, gerakan 66, hanyalah gerakan yang “nyinyir” yang hanya menghasilkan komunitas kaum sekolahan berebut kekuasaan di kabinet.
Dalam konteks itulah, apabila kita berbicara tentang Supersemar dan gerakan mahasiswa, hampir tidak ada yang bisa dibanggakan karena gerakan mahasiswa waktu itu berjalan bersama militer, kelompok ormas dan partai yang sama-sama anti-PKI, yang pada gilirannya menguntungkan Soeharto and his gang. Maka, wajar, apabila buah dari pergerakan itu hanya menghasilkan diktator.
Lalu bagaimana kaitannya dengan gerakan ‘98. Gerakan ‘98, tanpa harus mengecilkan rasa hormat kita terhadap gerakan gerakan sebelumnya, terutama angkatan ‘77-‘78, jelas gerakan 1998 lebih terpola, dalam arti gerakan ‘98 lebih menghasilkan formula bagi pembentukan budaya politik Indonesia. Ini karena revolusi Mei ‘98 digerakkan oleh kaum intelektual yang dalam mekanisme kesejarahan Indonesia kaum intelektual selalu tampil tanpa pamrih. Kendati, sayangnya, karena tanpa pamrih itulah yang kemudian melahirkan kepemimpinan tanpa arah, yang pada gilirannya rakyat kembali memilih, bahkan memfavoritkan militer sebagai pemimpin.
Padahal, di mana pun di seantero dunia, kepemimpinan militer niscaya akan mendisiplinkan peta politik bangsa, hal mana pastilah memandulkan demokrasi, atau setidaknya memaksakan demokrasi yang tanpa bentuk. Kalau demikian halnya, gerakan mahasiswa atau model gerakan mahasiswa macam apa yang dapat menjadi pencerah bagi terbentuknya budaya politik dengan kepemimpinan yang lebih terencana. Penulis melihat, tiga hal penting yang patut dipertimbangkan. Pertama, kemurnian gerakan mahasiswa, di mana siapa yang merespons mereka. Kedua, peta perjuangan tidak hanya bersandar pada moral forces. Ketiga, legitimasi harus datang dari komunitas gerakan yang terpola dalam lingkup kemurnian makna perjuangan.
Nadia Raissofi H., Mahasiswa FH Unila dan aktivis HMI Komisariat Hukum Unila
Sumber: Lampung Post, Jumat, 11 Maret 2011
No comments:
Post a Comment