Judul : Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa
Penulis : Claudine Salmon
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetak : Desember 2010
Tebal : 562 halaman
Lembaran-lembaran sejarah sastra di Indonesia ingin disingkapkan dengan sorotan kritis dan reflektif. Claudine Salmon mengantarkan pembaca pada petualangan teks sastra, pengenalan biografi-biografi kecil, dan pemahaman atas latar zaman saat proyek literasi disemaikan di Indonesia pada abad XIX dan XX. Ikhtiar menarasaikan jejak-jejak sejarah sastra awal memang bisa mengejutkan, menyulut curiga, dan melegakan kehausan historis para pembaca sastra. Penelusuran sastra dari kalangan Tionghoa-Peranakan ini seolah jagat misteri dalam produksi buku-buku sejarah sastra ala A. Teeuw, H.B. Jassin, Bakrie Siregar, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, dan Jakob Sumardjo.
Dua puluh esai dalam buku ini memunculkan pikat untuk pembayangan atas nasib sastra dari zaman ke zaman. Keberadaan surat kabar, industri buku, dan komunitas literasi memberi bukti tentang gairah sastra di Indonesia oleh kalangan pengarang dan pembaca Tionghoa-Peranakan. Mereka menjadi pemula dari agenda penerjemahan-penyaduran sastra dari China dan Barat. Penulisan sastra dalam bentuk syair, cerita bersambung, drama, dan novel juga dipelopori oleh mereka sebagai konsekuensi modernisasi di Hindia Belanda. Sastra menjadi bagian dari perubahan sosial-kultural-politik dan kalangan peranakan menjalankan peran strategis untuk mengobarkan gairah literasi di negeri terjajah.
Claudine Salmon mengajukan esai Awal Sastra Melayu-Tionghoa Dicerminkan oleh Sebuah Syair Iklan Tahun 1886. Informasi produksi dan perkembangan sastra terekam dalam iklan tapi masih diselimuti oleh misteri. Pelbagai novel di iklan dan pengarang belum bisa diketahui gamblang. Iklan ini memang membuat penasaran karena sejumlah informasi tentang minat sastra dan pergaulan masyarakat di Hindia Belanda dengan khasanah sastra dunia dan sastra China klasik. Iklan sastra menguak asal-mula kesusastraan Melayu-Tionghoa dalam bentuk cetakan, jumlah penerjemahan roman Tionghoa dalam bahasa Melayu, dan model-model pendahulu kesusastraan Indonesia modern.
Iklan itu ditulis oleh Ting Sam Sien di Semarang (1886) dalam bentuk syair Melayu. Ada 41 buku cerita ditawarkan dalam iklan dengan penjelasan dan perincian untuk kepentingan penjualan. Simaklah petikan iklan sastra ini: Banjak lah tabe hormat besrenta,/ Pada pembatja sekalian rata,/ Dari hal segala boekoe tjerita,/ Njang ada terdojoewal di toko kita// Di bawah ini saja menbrita,/ Pada sekalian pembatja kita,/ Dari hal segala boekoe teherita,/ Harganja djoega poen ada besrenta. Makna iklan ini adalah mengawali dari proses pengenalan roman dan penulisan sastra dalam unsur kelokalan. Kelahiran roman Sitti Nurbaya (1922) oleh Marah Rusli kemungkinan turut dipengaruhi oleh jejak-jejak awal dari produksi buku cerita di kalangan Tionghoa-Peranakan.
Claudine Salmon juga menengarai perkembangan penerbitan dalam bahasa Belanda dan Melayu-Tionghoa pada 1880-an merupakan momentum penting dalam sejarah kesusastraan Melayu di Jawa. Industri penerbitan adalah basis dalam pembentukan masyarakat literasi. Kondisi ini menjadi latar dari kelahiran novel Melayu-Tionghoa Thijt Liap Seng (Bintang Toedjoeh) oleh Lie Kim Hok. Novel ini diduga merupakan olahan-campuran dari dua novel Eropa: Klaasje Zevenster karangan J. van Lennep (1902-1868) dan Les Tribulations d’un Chinois en Chine karangan Jules Verne (1828-1905). Penerbitan novel Thijt Liap Seng (Bintang Toedjoeh) diduga menjadi pemula dari sastra Melayu-Tionghoa. Penemuan dan pengakuan ini memang jauh dari pengetahuan publik sastra karena data-data tentang novel dan pengarang masih susah dijelaskan.
Kerja penelitian Claudine Salmon dalam buku ini tampak mozaik ketimbang buku Sastra China Peranakan dalam Bahasa Melayu (1985). Esai-esai dalam Sastra Indonesia Awal kentara memberi multiperspektif untuk meletakkan dan memaknai sastra dalam pelbagai konteks. Penulisan sebuah novel, profil, dan aktivitas pengarang, industri percetakan, dan pers menjadi sumber-sumber informasi untuk pengayaan memahami sastra dan situasi zaman. Pembacaan dan penjelasan Claudine Salmon mirip pengumpulan serakan-serakan data untuk dinarasikan dengan naluri historis. Model ini mengesankan pembaca sanggup memasuki labirin sejarah sastra Indonesia awal dengan gairah dan khusyuk.
Uraian memikat tampil dalam esai Masyarakat Pribumi Indonesia di Mata Penulis Keturunan Tionghoa (1920-1941). Esai ini menandai ada limpahan pengetahuan melalui sastra untuk membaca dan mengenali konstruksi identitas, transformasi sosial-kutlural, dan narasi politis dalam pengisahan. Novel-novel produksi penulis keturunan Tionghoa sanggup merekam, mendefinisikan, dan menebar tendensi untuk memerkarakan kalangan pribumi. Aksara menjadi representasi dari lakon hidup pribumi. Kisah menjelma pengimajinasian hidup dan biografi kaum pribumi.
Sekian novel dengan kisah kaum pribumi, antara lain Oey Se (Thio Tjien Boen), Lo Fen Koei (Gouw Peng Liang), Pertjintahan dalam Halimoen (Numa), dan Djeritan di Ladang Soenji (Tan Sioe Tjhay). Gambaran tentang kehidupan kaum priyayi dan pembaratan di Jawa dikisahkan dalam Boeat Apa Ada Doenia (1929) karangan Njoo Cheong Seng. Model pendidikan ala Barat telah membuat kaum priyayi mengalami dilema secara kultural, sosial, ekonomi, dan politik. Pembaratan berlangsung dan mengalir dalam diri priyayi. Pemahaman atas nilai-nilai tradisional kejawaan bertarung dengan indoktrinasi nilai-nilai Barat melalui jalur pendidikan, pers, dan institusi politik. Contoh kecil ini memberi pengertian bahwa konsentrasi dan kerja riset Claudine Salmon kerap dihadapkan pada keringat tafsiran karena kelangkaan sumber data.
Buku ini pantas menjadi sandaran untuk kembali merenungi kronik sastra dan pemahaman publik terhadap kontribusi kaum Tionghoa-Peranakan dalam pertumbuhan sastra di Indonesia. Sejarah resmi sastra memang jarang memberi ruang untuk mereka. Pembahasan mendalam tentang signifikansi sastra dan geliat zaman melalui sastra produksi mereka juga jarang disuarakan. Claudine Salmon menyapa pembaca untuk melakukan petualangan kritis dalam membuka dan menulis lagi di lembaran-lembaran sejarah sastra.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Maret 2011
No comments:
Post a Comment