Thursday, March 24, 2011

Mempertahankan Pilkada Langsung

-- Hasyim Asy’ari

DRAF Rancangan Undang-Undang Pilkada mulai dibahas pemerintah bersama DPR. Salah satu perdebatan yang menonjol adalah pemilihan gubernur akan diubah: semula dipilih langsung lewat pemilu menjadi lewat DPRD provinsi. Bupati atau wali kota tetap dipilih langsung lewat pemilu.

Pertanyaannya, apakah pilkada akan dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung? Pilkada langsung di sini dimaksudkan bahwa pengisian jabatan kepala daerah dilakukan melalui suatu pemilihan umum (pemilu) atau dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Pilkada tidak langsung dimaknai bahwa kepala daerah dipilih tidak secara langsung oleh rakyat-pemilih, tetapi oleh DPRD, atau ditunjuk (diangkat) oleh pejabat di atasnya.

Pengalaman di Indonesia selama ini menunjukkan setidaknya terdapat empat model pengisian jabatan kepala daerah.

Pertama, kepala daerah dipilih secara tidak langsung lewat penunjukan/pengangkatan oleh pejabat di atasnya. Pengalaman ini terdapat pada daerah-daerah administratif, bukan daerah otonom. Wali kota di Jakarta menduduki jabatannya setelah diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta (UU No 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta).

Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat (Pasal 15 UU No 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini DPRD memilih beberapa calon kepala daerah. Selanjutnya calon diajukan ke pejabat pemerintah di atasnya untuk dipilih salah satunya sebagai kepala daerah (mendagri untuk bupati/wali kota, dan presiden untuk memilih gubernur).

Model ketiga, kepala daerah dipilih secara tak langsung (Pasal 34 UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini kepala daerah dipilih DPRD.

Keempat, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu (Pasal 24 Ayat (5) dan Pasal 56 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No 12/2008 tentang Perubahan UU No 32/2004). Pada model ini pasangan calon kepala daerah dan wakilnya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan, dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya pasangan calon yang memenuhi persyaratan ikut kompetisi melalui pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.

Berdasarkan beberapa model tersebut, pengisian kepala daerah ke depan sebaiknya tetap mempertahankan model keempat, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu. Pilihan model ini didasarkan argumentasi berikut.

Argumentasi konstitusional

Pertama, konstitusi Indonesia, UUD 1945, menentukan, bentuk negara yang dianut Indonesia adalah republik. Konsekuensi negara republik, kedaulatan di tangan rakyat. Implikasinya, pengisian jabatan politik-kenegaraan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu [Pasal 2 Ayat (1), Pasal 6A, Pasal 18 Ayat (3), Pasal 19 Ayat (1), Pasal 22C Ayat (1), Pasal 22E].

Kendati dalam Pasal 18 Ayat (4) ditentukan bahwa gubernur dan bupati/wali kota dipilih secara demokratis, kata ”demokratis” di sini harus dimaknai bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat-pemilih. Sekali lagi, ini konsekuensi bentuk negara republik, kedaulatan di tangan rakyat, rakyatlah yang berhak menentukan kepala daerahnya.

Kedua, konstitusi Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Salah satu ciri sistem pemerintahan presidensial adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat. Untuk menegaskan dan menjaga konsistensi sistem pemerintahan presidensial, pengisian jabatan kepala daerah seharusnya melalui pemilu secara langsung, bukan oleh DPRD.

Argumentasi politik

Pertama, pemilu untuk memilih kepala daerah secara langsung merupakan sarana membangun basis legitimasi oleh kepala daerah. Mengingat anggota DPRD dipilih secara langsung melalui pemilu, untuk mengimbangi basis legitimasi DPRD, sudah seharusnya basis legitimasi kepala daerah juga dibangun lewat pemilu.

Kedua, berjalannya pemerintahan daerah perlu stabilitas politik. Untuk itu, perlu keseimbangan kekuatan politik antara kepala daerah dan DPRD. Dalam hal kepala daerah dipilih oleh DPRD, konsekuensinya DPRD berwenang meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan kepala daerah sebelum habis masa jabatannya. Padahal, salah satu ciri pemerintahan presidensial adalah adanya masa jabatan tertentu (5 tahun) dan bila kepala daerah dipilih dan diberhentikan oleh DPRD, dikhawatirkan akan terjerumus pada ketidakstabilan politik dan mengarah kepada sistem parlementer.

Ketiga, jika gubernur dipilih oleh DPRD provinsi, selain akan potensial menimbulkan konflik—sebagaimana argumen kedua—juga akan menimbulkan problem basis legitimasi gubernur di hadapan bupati/wali kota jika bupati/wali kota dipilih secara langsung lewat pemilu. Dalam rangka menjalankan tugas mengoordinasi bupati/wali kota, gubernur harus memiliki legitimasi politik yang kuat.

Keempat, bila gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilu, dan tidak juga dipilih oleh DPRD, tetapi ditunjuk/diangkat presiden, terdapat problem konstitusional. Provinsi adalah daerah otonom, bukan daerah administratif. Daerah otonom memiliki wewenang mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam memilih kepala daerah, bukan ditunjuk/diangkat. Bila gubernur ditunjuk/diangkat, problem konstitusional harus diatasi terlebih dahulu, yaitu mengubah status provinsi bukan lagi sebagai daerah otonom.

Penataan lembaga politik

Berdasarkan argumentasi di atas, dalam rangka revisi UU Pilkada, diajukan tiga rekomendasi berikut. Pertama, pengisian jabatan kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) harus tetap dipertahankan dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu.

Kedua, diperlukan penataan pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu, yakni menata pemilu jadi dua jenis: pemilu nasional dan lokal. Pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden dilaksanakan pada waktu yang bersamaan. Ini dimaksudkan untuk memperkuat stabilitas politik, terutama relasi politik antara DPR dan presiden, karena bangunan koalisi politik akan dibangun sejak dini, bukan koalisi sesaat setelah pemilu legislatif.

Pada waktu berikutnya (2 atau 2,5 tahun) diselenggarakan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) sekaligus memilih gubernur dan bupati/wali kota. Pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu yang demikian ini, selain untuk membangun stabilitas politik dan meredam masyarakat agar tidak terfragmentasi, juga dalam rangka efisiensi biaya pemilu.

Ketiga, karena partai politik aktor utama dalam pengisian jabatan politik-kenegaraan, sudah saatnya partai politik didorong segera merevitalisasi diri dan mengoptimalkan perannya, terutama dalam pendidikan politik, perekrutan politik, dan artikulasi kepentingan politik rakyat.

Hasyim Asy’ari
, Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

Sumber: Kompas, Kamis, 24 Maret 2011

No comments: