Jakarta, Kompas - Kementerian Pendidikan Nasional siap membantu mengelola kekayaan budaya Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak sanggup. Negara wajib melindungi harta kekayaan budaya.
Sastrawan sekaligus Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Ajip Rosidi, menunjukkan ketikan naskah asli novel karya Iwan Simatupang berjudul "Kooong" yang menjadi salah satu koleksi PDS HB Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Selasa (22/3). Ribuan naskah sastra asli, baik ketikan atau tulisan tangan, dan surat korespondensi para sastrawan dari berbagai zaman masih tersimpan rapi di tempat ini. (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)
”Kami kasih kepercayaan kepada Pemprov DKI Jakarta karena secara fisik PDS HB Jassin di wilayah itu. Kalau tidak bisa, pasti kami urus,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Selasa (22/3).
Jika pengelolaan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin diserahkan kepada Kemdiknas, aset yang ada akan diambil pemerintah. Pengambilalihan kekayaan budaya seperti itu kini dilakukan terhadap PT Balai Pustaka.
Kemdiknas sedang mengkaji penyelamatan PT Balai Pustaka yang secara bisnis dinilai terus merugi. PT Balai Pustaka dijadikan badan layanan umum. Alasannya, PT Balai Pustaka memiliki nilai sejarah tinggi karena memublikasikan buku-buku sastra bersejarah.
Gerakan moral
Dari Jawa Timur, sastrawan Budi Darma menyerukan perlunya gerakan moral dan perhatian khusus untuk PDS HB Jassin. ”Perlu ada hati nurani Pemprov DKI untuk peduli dengan memberi dana perawatan dan pengembangan berkesinambungan,” katanya.
Pendapat serupa dikemukakan oleh sastrawan Lan Fang. Ia khawatir bila pengabaian yang terjadi, maka akan ditiru daerah lain. ”Kita akan menjadi bangsa yang kehilangan jati diri dan kehilangan rasa peradaban. Perlu ada aksi nyata di seluruh daerah,” katanya.
Pudentia MPSS, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia, menyebut, sangat ironis bila kelanjutan PDS HB Jassin—rujukan paling lengkap sastra Indonesia modern yang tercetak dan tertulis—itu, benar-benar terhenti.
Hal sama diungkapkan Melani Budianta, mantan Ketua Departemen Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. (LUK/ETA/LUK)
Sumber: Kompas, Rabu,23 Maret 2011
No comments:
Post a Comment