Monday, March 28, 2011

Gugurnya Jayajatra dan Burisrawa: Kresna Sosok Machiavellian?

KETIKA Resi Sapwani, ayah Jayajatra, protes kepada Sri Kresna, mengapa Jayajatra yang tak ada urusan dengan Kresna akhirnya mati dengan trik yang dimunculkan oleh Kresna, dengan tenang Raja Dwarawati ini mengatakan bahwa dirinya adalah botoh atau penasihat Pandawa sehingga bagi dia, Pandawa harus menang dengan cara apa pun. Kresna, khususnya dalam perang besar Baratayudha, bertindak tidak saja selaku penasihat, tetapi juga pengatur taktik dan strategi, bahkan memberikan bantuan walaupun caranya dilakukan tidak secara langsung.

Prabu Kresna (diperankan oleh Slameto) dengan senjata Cakra di punggung. (KOMPAS/NINOK LEKSONO)

Dua kisah dalam pewayangan tersebut memperlihatkan di satu sisi Kresna piawai dalam taktik dan strategi, tetapi di sisi lain juga dipertanyakan sisi etisnya, yaitu gugurnya Jayajatra dan Burisrawa. Jayajatra, raja muda Kerajaan Sindu yang berpihak kepada Kurawa dalam Baratayudha, memukul Abimanyu, anak Arjuna, dengan gadanya hingga Abimanyu—yang saat itu sudah terluka parah karena keroyokan Kurawa—tewas dengan kepala hancur. Arjuna pun bersumpah saat kremasi Abimanyu bahwa esok sebelum matahari tenggelam, ia harus membunuh Jayajatra. Kalau tidak, ia akan membakar diri mengikuti jejak putranya, Abimanyu.

Persoalan muncul karena tekad Arjuna itu telah tersebar hingga ke pihak Kurawa, yang lalu mengambil langkah pengamanan terhadap Jayajatra. Pembunuh Abimanyu ini pun kemudian dikurung. Lalu, dengan kesaktiannya, Resi Sapwani menciptakan kloning atau tiruan Jayajatra dalam jumlah banyak. Dalam Ensiklopedi Wayang Sena Wangi disebut kloning Jayajatra berjumlah 100. Namun, dalang lakon Gugurnya Jayajatra dan Burisrawa yang dipergelarkan oleh Wayang Orang Barata, Sabtu (12/3), tiruan kesatria Sindu ini mencapai ribuan. Maksudnya jelas, yaitu agar Arjuna salah bunuh.

Memahami kesulitan yang ada, Kresna pun turun tangan. Menjelang sore, ketika matahari telah bergeser di langit barat, dengan senjata Cakra yang amat sakti, Kresna menutupi matahari hingga langit pun gelap, seolah malam telah turun. Kurawa bersorak girang karena Arjuna akan membakar diri, dan oleh Kresna, pihak Pandawa telah diminta menyiapkan upacara kremasi.

Melihat hari telah malam, Jayajatra pun keluar dari persembunyiannya. Ia pergi ke medan laga untuk ikut menonton Arjuna membakar diri. Saat itulah Arjuna melepas panah sakti Pasopati yang langsung menebas leher Jayajatra. Kurawa memprotes Arjuna yang dinilai melanggar sumpahnya. Namun, Kresna lalu menarik kembali Cakra dan dunia kembali terang.

Memang nyata campur tangan Kresna dalam kematian Jayajatra ini. Namun, di pihak lain, di pihak Kurawa juga ada pengatur strategi, dalam hal ini Pandita Durna dan Patih Sengkuni yang lalu mengusulkan keterlibatan ayah Jayajatra untuk beraksi melindungi anaknya, termasuk saat menciptakan kloning Jayajatra.

Oleh karena itu pula, Kresna tidak ragu mengatakan kepada Begawan Sapwani, yang ingin menuntut balas atas kematian anaknya, bahwa ia adalah ”botoh” atau penasihat pendukung Pandawa yang harus memastikan kemenangannya dengan cara apa pun.

Terhadap Burisrawa

Menutup matahari untuk keselamatan Arjuna telah dilakukan Kresna. Hal sama dilakukan ketika Pandawa harus menghadapi Burisrawa, anak Prabu Salya, sebagai senapati (panglima perang).

Setyaki, adik ipar Kresna, yang diangkat sebagai tandingan Burisrawa, ternyata keok dari lawannya. Ia jadi bulan-bulanan Burisrawa dan akhirnya bisa diringkus hingga tak berkutik lagi. Melihat kenyataan sulit ini, Kresna ingin menolong adik iparnya itu, tetapi dengan bantuan Arjuna. Kepada Arjuna, Kresna menyatakan, apakah dalam kondisi sedih—baru kehilangan anaknya (Abimanyu)— Arjuna masih bisa memanah dengan jitu.

Setelah Arjuna menjawab ”ya”, Kresna masih menuntut bukti, yaitu dengan memanah sehelai rambut yang ia bentangkan di antara kedua tangannya. Panah Arjuna pun lalu melesat membelah rambut itu dan terus melanjutkan sambarannya ke sasaran lain yang telah dipilihkan arahnya oleh Kresna, yang tidak lain adalah Burisrawa. Kesatria sakti berbadan raksasa ini pun roboh.

Peranan Kresna dalam pemenangan Pandawa masih bisa diperpanjang, termasuk dalam mengalahkan Pandita Durna.

Machiavellian

Ketika tujuan menghalalkan cara dipraktikkan, nurani pun terusik. Arjuna pun terusik ketika Kresna bermaksud menolong Setyaki. Namun, sekali lagi ditegaskan bahwa dalam perang yang harus digunakan tidak hanya otot, tetapi juga otak. Namun, dengan penegasan itu pun, tetap muncul kesan bahwa kemenangan—atau kekuasaan— adalah segala-galanya bagi Kresna. Ini tentu mudah mengingatkan orang pada pemikir politik Italia, Niccolo Machiavelli (1469-1527).

Dalam tulisan politiknya yang sangat terkenal, yakni Il Principe (Sang Pangeran, 1513), dan Discorsi (Wacana, 1531), ia mendiskusikan cara-cara bagaimana penguasa bisa memajukan kepentingan negara dan diri para penguasa tersebut melalui cara yang tidak terpuji. Dari situ pula lahir istilah ”tujuan menghalalkan segala cara” atau ”end justifies means”.

Tentu masih bisa dikaji lebih jauh, apakah yang dilakukan Kresna untuk memenangkan Pandawa sudah masuk ke pengertian ”tujuan menghalalkan segala cara”, tetapi—di era yang simpang siur penuh persaingan sekarang ini—banyak pula dinasihatkan agar kita fokus pada tujuan.

Dekat dengan hal ini, dalam diskusi yang diselenggarakan harian Kompas tentang korupsi dan kemiskinan, Februari lalu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan perbedaan antara sikap pemerintah dan pengusaha. Bahwa pemerintah mengedepankan proses sehingga tujuan sering terkorbankan (lebih-lebih di era KPK), sementara bagi pengusaha, tujuan yang lebih dipentingkan. Kalau untuk mencapai satu tujuan keuntungan ada proses yang menghalangi, proses yang menghambat tadi coba ditanggulangi—kalau perlu dengan cara apa pun, yang penting tujuan tercapai.

Kresna adalah titisan Dewa Wisnu jadi pasti tidak ada pertimbangan lain selain pemeliharaan ketertiban dunia. Sebelum Baratayudha ia sudah ke kayangan untuk mendapatkan informasi dari penguasa tertinggi di sana sehingga ia tahu siapa yang akan kalah dan siapa yang akan menang, siapa yang akan mati oleh siapa. Jadi, sebenarnya yang kemudian ia praktikkan di dalam Baratayudha hanyalah mengeksekusi apa yang sudah digariskan dalam takdir dewata.

Bahwa cara yang ditempuh bisa menimbulkan kesan tidak etis secara kesatria, atau bahkan bernuansa machiavellian, boleh jadi hanya kesan. Satu hal yang jelas adalah apa yang ia lakukan diyakini Pandawa sebagai arahan atau nasihat dari sosok yang selain sakti juga mampu melihat jauh ke depan.

(Ninok Leksono)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Maret 2011

1 comment:

Suyatna S.P,SE said...

Karena Kresna punya senjata yang tidak ada tandingan setelah sisipula,apalagi Sangkuni membuat aturan Kresna tidak boleh pakai senjatanya dalam berperang membantu Pandawa.