-- Asvi Warman Adam
PEMBICARAAN tentang Surat Perintah 11 Maret 1966 umumnya menyangkut naskah asli dokumen tersebut atau tentang cara pemerolehannya yang tak biasa. Arsip Supersemar yang otentik belum ditemukan sampai sekarang dan dipercayai bahwa perintah itu diberikan bukanlah atas prakarsa Presiden Soekarno (Bung Karno), melainkan atas tekanan terhadap Bung Karno.
Jarang disinggung aspek internasional surat itu. Padahal, itu berkaitan dengan perubahan sejarah yang sangat besar terhadap negara dan bangsa Indonesia setelah 1965. Begitu diterima, Supersemar digunakan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia sejak 12 Maret 1966.
Memang ini merupakan tuntutan dari berbagai gerakan kesatuan aksi di Tanah Air. Namun, tidak kalah pentingnya tindakan itu prasyarat masuknya modal asing Barat ke Indonesia. Beberapa hari setelah Supersemar dikeluarkan, teknisi Freeport sudah mendaki gunung di Papua. Karena belum ada aturannya, Amerika Serikat mengirim konsultan untuk membantu membuatkan undang-undang penanaman modal asing.
Dua negara
AS dan Inggris adalah dua negara yang sangat berkepentingan dengan perkembangan politik di Indonesia tahun 1965 dan sebelumnya. AS yang sedang berperang di Vietnam tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Inggris juga menginginkan hal serupa karena sedang membantu Malaysia menghadapi konfrontasi dengan Indonesia.
AS menyerahkan daftar nama pengurus PKI dan bantuan uang Rp 50 juta untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu. Inggris mengirim agennya, Norman Reddway, untuk membentuk sebuah lembaga di Singapura dan dari sana melancarkan kampanye antikomunis.
Seminar internasional ”Indonesia and the World in 1965” yang diadakan di Jakarta, Januari 2011, mengungkapkan banyak hal tentang keterlibatan berbagai negara besar di seputar keluarnya Supersemar. Sayangnya, belum ada sejarawan yang menggunakan arsip China tentang peristiwa tersebut.
Ragna Boden yang meneliti arsip Uni Soviet menyimpulkan bahwa Moskwa tidak terlibat dalam kudeta. Negara ini cenderung bersikap oportunistis. Mereka tidak berani, misalnya, menampung tokoh PKI yang diburu aparat keamanan di kedutaan besar mereka.
Pada sebuah kesempatan di Tokyo, Aiko Kurosawa mengatakan kepada saya bahwa saat terjadi G30S 1965, duta besar Jepang di Jakarta sedang berada di Jawa Timur. ”Ini membuktikan bahwa sang diplomat tidak tahu apa-apa tentang kudeta tersebut,” kata guru besar Universitas Keio itu. Namun, pertanyaannya dapat dibalik: kenapa sang dubes berkunjung ke Jawa Timur pada saat genting?
Dubes Perancis di Jakarta tahun 1965 adalah Claude Cheysson, seorang sosialis yang dekat dengan Presiden Francois Mitterand. Bahkan, kemudian ia diangkat menjadi menteri luar negeri Perancis. Perlu pelacakan arsip di Paris tentang apa yang dilakukan dan dilaporkan sang dubes dari Jakarta tahun 1965 karena, menurut Dubes AS Marshal Green, para diplomat Barat itu sering saling kontak.
Sementara itu, reportase dan analisis pers Perancis tentang Indonesia tahun 1965/1966 tidaklah mendalam, seperti diakui pakar Perancis Francois Raillon. Tanggal 22 Maret 1966 koran Le Monde menurunkan artikel panjang berisi puji-pujian tentang Soeharto yang dianggap tokoh alternatif bagi Indonesia.
Tahun 1965 terdapat dua Jerman di Jakarta: Jerman Barat yang telah membuka kedutaan besar sejak 1952 dan Jerman Timur yang berstatus konsulat. Keduanya bersaing dan pihak Jerman Barat merintangi pengakuan negara asing terhadap Jerman Timur (waktu itu baru oleh belasan negara).
Kedutaan Besar Jerman Timur baru dibuka pada era Orde Baru. Namun, kedua Jerman itu bersikap skeptis terhadap politik luar negeri Indonesia dan perkembangan PKI. Dalam ulang tahun PKI (Mei 1965) negara komunis Jerman Timur tidak diundang. Setelah meletus G30S, Jerman Barat melihat peluang ekonomi di Indonesia. Duta Besar Kurt Luedde-Neurath mengatakan ”kesempatan itu harus diambil, jangan dilepaskan.”
Sedikit pengetahuan
Richard Tanter mengungkapkan betapa sedikit pengetahuan masyarakat Australia tentang pembantaian massal tahun 1965 di Indonesia ketimbang pembantaian oleh Nazi Jerman, rezim Stalin Rusia, atau Khmer Merah Kamboja. Suatu masa pernah citra Indonesia buruk di mata sejumlah orang Australia justru karena peristiwa Timor Timur, bukan karena kasus 1965. Tanter mencoba memperlihatkan bahwa pers, akademisi, dan politisi Australia tahu pembantaian tahun 1965. Namun, mereka bungkam dan tidak berbuat apa-apa.
Yang disampaikan Paul Keating tahun 2008 mungkin bisa menjawab sikap politisi Australia yang mendua itu: ”Andai kata Orde Baru tidak menyingkirkan Soekarno dan PKI, akan terjadi destabilisasi di Australia dan seluruh Asia Tenggara.”
Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI
Sumber: Kompas, Jumat, 11 Maret 2011
No comments:
Post a Comment