-- Radhar Panca Dahana
MELETUSNYA ”revolusi” dengan satu tujuan—pergantian kekuasaan—di seantero Timur Tengah belakangan ini jadi pertanda akan tercapainya final dari sebuah proyek bernama globalisasi. Tentu saja bersama anak-anak kebudayaan dan sistem-sistem kemasyarakatan yang mengikutinya.
Kita mengerti kondisi final apa saja yang hendak dicapai oleh globalisasi. Sekurangnya sebuah pemerataan, dalam kata lain standardisasi, ukuran-ukuran hidup yang pragmatis dan kebudayaan populer. Ini dicapai melalui, antara lain, penggunaan cara berpikir yang sama: rasional, dalam arti empirik, materialistik, dan positivistik. Sebuah cara yang punya banyak friksi, bahkan kontradiksi, dengan beberapa pemikiran dari peradaban berbeda, di Asia dan Afrika, misalnya.
Cara berpikir dengan landasan yang sama itu berimplikasi pada penerimaan hasil terapannya, seperti teknologi atau sistem-sistem yang mengungkung kita dengan berbagai prinsip, norma, dan etika baru, misalnya dalam penyelenggaraan politik, ekonomi, kekerabatan, komunikasi sosial, sikap keberagamaan, hubungan etnik, hak asasi manusia, dan sains modern.
Sebagian besar dari kita memahami hal tersebut dengan menerima begitu saja beberapa gugusan gagasan dan praktik kemasyarakatan, seperti demokrasi, kapitalisme (pasar bebas), sistem hukum kontinental, dan sistem pendidikan yang mengacu pada artes liberales Eropa abad pertengahan. Yang paling utama dari itu semua adalah cara atau modus kita—sebagaimana manusia—bereksistensi, meneguhkan diri dan kemanusiaan kita.
Tentu saja modus itu memiliki akar yang sama dengan landasan itu, di mana akal ditetapkan sebagai prosedur fundamental dalam peneguhan diri tersebut. Sebuah mantra yang dibunyikan cendekiawan segala bidang, René Descartes, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Betapapun sudah banyak yang mencoba mengoreksi mantra klasik ini, hingga saat ini dunia pemikiran belum berhasil memunculkan mantra baru yang lebih ampuh.
Hidup yang tak stabil
Sebenarnya, jika dicermati dengan jujur, kita akan mendapatkan bagaimana negeri-negeri yang jadi ladang praktik dari demokrasi itu sendiri ternyata mengalami kondisi yang tak stabil secara politik dan sosial. Tidak ada negeri demokratis mana pun, kecuali mungkin di beberapa negara Eropa (dan koloninya), dari mana sistem itu berasal, yang secara politik pemerintahan atau kekuasaannya tidak terganggu secara permanen oleh masalah perebutan kekuasaan, dengan berbagai alasan dan dalam gaya atau bentuknya masing-masing.
Bila sebuah negeri tetap dapat melangsungkan pemerintahannya dengan baik, walau kekuasaannya terus diguncang dan berganti tiada henti, tentu hal itu disebabkan tingkat kesejahteraannya yang cukup tinggi. Di negeri itu kekuasaan hanya menjadi ”permainan” kaum elite, sementara publik luas tetap menyelenggarakan kewajiban-kewajiban kenegaraannya seperti biasa karena kekuasaan tidaklah lebih vital ketimbang kesejahteraan.
Di negeri dengan kesejahteraan rendah, kekuasaan penting karena ia jadi sarana utama dalam merebut sumber-sumber kesejahteraan. Inilah yang terjadi pada bangsa-bangsa yang lebih belakangan menerima demokrasi ketimbang, misalnya, negeri-negeri di Eropa dan koloninya, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Instabilitas politik dan sosial inilah yang kerap memicu persoalan multidimensional, yang kemudian menjadi akut, karena sistem berpikir tersebut pada saat bersamaan berhasil menyingkirkan banyak kearifan dari tradisi lokal.
Apa yang terjadi di Jepang, Thailand, India, Malaysia, Pakistan, Irak, dan negara-negara Afrika juga tentu yang kita alami saat ini. Friksi hingga konflik yang keras secara fisik di semua level dan sektor horizontal seakan menjadi fitrah yang harus kita dapatkan tanpa kita ketahui kapan ia dapat diselesaikan.
Semua ditandai dengan penggunaan ukuran yang lebih didominasi pertimbangan atau kepentingan partisan secara politik dan ekonomis. Beberapa pertimbangan hukum dan akademik/keilmuan mungkin dapat disertakan, tetapi kenyataannya semua akhirnya tunduk pada dua kepentingan terdahulu. Kita pun seperti terjebak dalam pusaran yang menyeret kita tiada henti, dengan kekuatan begitu hebat, ke pusat-pusat logika (kepentingan) ekonomi dan politik itu.
Di sini muncul pertanyaan, ketika sistem politik dan ekonomi hanya memproduksi gejolak, ketika berbagai terobosan teoretis serta praktik ekonomi dan politik ternyata selalu kembali pada pusaran yang sama, apakah tidak ada cara lain yang dapat jadi penengah atau solusi alternatif?
Adikuasa kebudayaan
Pada saat saya menggagas dan menyelenggarakan debat calon presiden dan calon wakil presiden dengan para budayawan dalam masa kampanye tiga tahun lalu, saya melontarkan gagasan ini kepada salah satu pasangan capres dan cawapres, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono, yaitu menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kebudayaan Dunia!
Saya kira SBY pada saat itu memperlihatkan ketertarikannya lewat senyum dan pandangan mata selidiknya. Alasannya sederhana dalam beberapa poin. Pertama, kebudayaan adalah wilayah yang relatif netral dan independen untuk menjadi penengah atau solusi alternatif bagi situasi kisruh permanen dalam kehidupan sosio-politik.
Kedua, kebudayaan dengan segala potensi dan kekayaan cara pandang di dalamnya sebenarnya merupakan lumbung solusi dari persoalan kekinian yang belum digali atau dieksplorasi secara optimal, justru dalam banyak kasus ia dinafikan. Di luar pertimbangan-pertimbangan populer (politik, ekonomi, hukum, atau akademik), kebudayaan—yang bersumber pada realitas historis bangsa ini sendiri—dapat dipromosikan sebagai agenda nasional, bahkan internasional.
Ketiga, kebudayaan jadi daya tarik atau isu yang cukup seksi untuk ditawarkan pada dunia sebagai salah satu usaha alternatif kita memperbaiki kekurangan-kekurangan peradaban mutakhir, modus kita berkomunikasi dan bereksistensi. Tentu saja isu itu juga akan menjadi daya tarik semua pemimpin jika mereka tidak mau disebut sebagai pemimpin yang tak ”berbudaya”. Bayangkan bila diplomasi dan argumentasi yang cerdik bisa dilakukan, tidak ada alasan, katakanlah, bagi Obama untuk menolak duduk berdampingan dengan Ahmadinejad.
Alasan keempat, tentu saja Indonesia perlu menegakkan posisinya sebagai sebuah bangsa dengan kekayaan kultural yang sejak berabad, bahkan bermilenium, menimbulkan respek dari bangsa-bangsa seluruh dunia. Sesungguhnya kita dapat mengaku—secara politis—sebagai adikuasa kebudayaan, lebih dulu dari India yang ternyata secara cerdik sudah mendahului klaim itu.
Kenyataan itu bukan hanya karena kita memiliki 17.000 pulau dengan separasi etnik hingga 600-an variasi bahasa yang diakui dunia, multikulturalisme sebagai keniscayaan purba, atau pecahan identitas ”rasial” (secara biologis) yang cukup lengkap. Juga kenyataan historis yang dibuktikan dengan penemuan-penemuan mutakhir bahwa dari wilayah inilah bermula globalisasi pada tingkat penduduk ataupun bahasa hingga mencakup lebih dari setengah dunia pada kurun 1.000-500 SM.
Kenyataan historis itu juga yang mengabarkan bagaimana sebuah peradaban, yang lebih genuine, pernah ada dan berkembang di negeri ini sebelum bangsa-bangsa asing dari daratan Asia dan Eropa tiba dan mencangkokkan kebudayaan mereka di sini. Peradaban yang selaras dengan kondisi geografisnya, maritim atau kepulauan, itu sebenarnya adalah harta karun yang kita miliki dan belum tergali.
Bila SBY kemudian menyodorkan gagasan tentang sebuah forum kebudayaan kepada para pemimpin dunia yang hadir di Davos, Swiss, tentu kita berharap hal itu dapat menjadi titik pacu bagi usaha menggali harta karun yang akan mampu mendorong kita berdaulat atas diri kita sendiri. Mungkin inilah momen kita membuat perubahan yang sebenarnya: kebudayaan, paling tidak dalam mental dan pemikiran kita. Tentu saja sebelum penguasa modal global lebih dulu menggali dan mengeksploitasinya.
Radhar Panca Dahana, Budayawan
Sumber: Kompas, Jumat, 11 Maret 2011
No comments:
Post a Comment