Penulis: Doddy Wisnu Pribadi | Editor: Erlangga Djumena
MALANG, KOMPAS.com — Novelis Ratna Indraswari Ibrahim tutup usia pada umur 62 tahun di tengah perawatan serangan stroke yang kesekian kalinya di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar (RSSA), Malang. Serangan stroke ditambah komplikasi penyakit jantung dan paru-paru menjadikan novelis, cerpenis, dan budayawan Malang ini akhirnya dipanggil ke hadriat Illahi pada pukul 09.55, Senin (28/3/2011).
Kabar meninggalnya Ratna Indraswari Ibrahim di RSSA Malang dipastikan oleh asisten dan keluarganya, Ruhadi Rarundra. ”Mbak Ratna, meninggal dengan tenang dikelilingi kami dan sanak keluarga,” katanya menahan haru melalui telepon seluler pada Kompas.
”Sebelum ini, selama tiga minggu terakhir, sudah tiga kali Mbak Ratna diopname di RSSA,” kata Ruhadi yang akrab dipanggil Siro.
Jarak rumahnya di Jalan Diponegoro, Malang, hanya sekitar 100 meter dari gerbang perawatan dan tempat parkir RSSA. Karena itu, setiap kali hendak dibawa ke RSSA, keluarganya hanya tinggal mendorong kursi roda yang seratus persen melekat dalam hidup cerpenis yang produktif di era 1980- 1990-an, serta masih mengerjakan novel dan cerpen hingga saat ini.
”Sebelum ini ia dirawat di RSSA pada Januari 2010, juga dengan proses berulang kali datang, kemudian sudah agak sehat, lalu tiba-tiba kesehatannya tampak drop, kehilangan kesadaran, lalu dibawa lagi. Gejala utama yang dihadapi Ratna adalah stroke,” kata Ruhadi yang juga pegiat dan koordinator komunitas Jalan Diponegoro yang dikenal sebagai oasis budaya dan sastra di Malang.
Hari Minggu kondisi Ratna yang dirawat di ruang Bougenville, dikabarkan stabil. Ia ditunggui oleh para asisten serta komunitas budayawan yang setia mendampinginya hingga Ratna mengembuskan napas terakhir, Senin. Selama ini Ratna melajang hingga akhir hayat dan hidup sepenuhnya di tengah-tengah komunitasnya.
Di rumahnya berdiri toko buku Tobuki yang bekerja sama dengan jaringan toko buku Toga Mas. Toko buku ini senantiasa ramai oleh kunjungan tamu dari berbagai kalangan.
Kunjungan tamu-tamunya inilah yang setiap kali menjadi sumber inspirasi untuk cerpen dan novel Ratna selama ini. Biasanya setiap sore ia duduk di atas kursi rodanya sambil membaca koran hari itu di teras depan toko buku. Saat itulah ia menerima kunjungan tamu. Meski sedang beristirahat di kamarnya yang berada di belakang toko buku, ia masih menerima tamu seraya berbaring.
Ratna dikenal sebagai pribadi yang tegas, sama sekali bertolak belakang dengan kondisi difabel seluruh anggota badannya, tangan dan kaki. Ia justru sering memarahi para tamu dan asistennya jika sebuah proyek kebudayaan tak berjalan semestinya. Dibalik kursi rodanya, Ratna secara faktual bertindak sebagai pemimpin dan benar-benar disegani. Seperti karakter dalam cerpen dan novelnya, yang umumnya mengisahkan perempuan yang sedang berjuang menghadapi proses subordinasi yang sedang dihadapi karakternya.
Akhir 2010 lalu, Ratna dikunjungi sejarawan asal Belanda, Dr Harry Poeze, periset empat dekade sejarah Tan Malaka, tokoh perintis kemerdekaan. Selain mengunjungi Ratna, Harry juga menggelar diskusi tentang kisah hidup Tan Malaka yang ternyata pernah berada di Malang, di ruang tamu rumah Ratna .
Sumber: Oase Kompas, Senin, 28 Maret 2011 | 11:47 WIB
No comments:
Post a Comment