Sunday, March 13, 2011

Pentas: Kelebat Van Oranje di Kelir Wayang

-- Aryo Wisanggeni G

APA jadinya jika Museum Nusantara di Kota Delft, Belanda, menghadapi ”gugatan” soal manfaat koleksi pernak-pernik budaya dan sejarah Indonesia bagi publik di Belanda? ”Gugatan” itu menelurkan gagasan penciptaan wayang Oranje, babad wayang kulit Jawa yang mengisahkan sejarah Pangeran Willem van Oranje melawan penjajahan Spanyol. Dan empu wayang asal Yogyakarta, Ki Ledjar Soebroto, mengangkatnya ke atas kelir.

Dalang muda Nanang Ananto Wicaksono mementaskan wayang Willem van Oranje di gedung pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis Jakarta, Senin (7/3). Wayang Willem van Oranje merupakan maha karya Ki Ledjar Soebroto yang secara khusus dipesan oleh Museum Nusantara. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Tidak seperti pementasan wayang kulit umumnya, kelir putih di Erasmus Huis pada Senin (7/3) petang itu masih kosong. Belum ada jejer, atau deretan karakter wayang baik dan jahat di kanan-kiri gunungan yang tertancap di tengah kelir.

Selain itu, tidak ada nayogo, atau penabuh gamelan. Di depan kelir, sang dalang yang juga cucu Ki Ledjar Soebroto, Ananto Wicaksono, mengutak-atik dua laptop di kanan-kirinya, memainkan musik pengiring babad wayang Oranje yang untuk pertama kalinya dilakonkan di hadapan khalayak ramai. Ketika dentuman musik yang menyerupai film laga Hollywood membahana diselingi dentingan gamelan, penonton semakin melongokkan wajah, ingin tahu wujud wayang Oranje.

Dua gunungan bergambar gereja dan gambar singa model lukisan tameng Eropa di tangan Ananto bergetar oleh cahaya lampu sorot di depan kelir. Adegan itu mengawali pertunjukan yang berdurasi sekitar 50 menit. Karakter sang Pangeran Willem van Oranje muncul dengan busana Eropa abad ke-16, lengkap dengan sepatu, jas, dan penutup kepala.

Wajahnya proporsional menyerupai wajah yang tergambar dalam sejumlah lukisan wajah Willem van Oranje, hidungnya mancung tetapi tak runcing seperti hidung karakter ksatria berbudi wayang Jawa. Ukuran tubuhnya pun proporsional, tak seperti ksatria wayang kulit Jawa yang kurus-lencir.

Namun tanda lahirnya sebagai mahakarya wayang kulit Jawa tidak hilang. Tatahan lembut dan rumit di kulit kerbau yang menyusuri setiap lekuk sosok wayang Van Oranje itu menimpakan bayangan indah yang hidup di kelir sang dalang, bayangan yang membuat wayang kulit mendunia dengan julukan ”the shadow puppet”.

”Saya membuat 30 karakter wayang, termasuk Raja Spanyol Philips II, empat istri Willem van Oranje, kapal layar Eropa, meriam yang dipakai dalam peperangan antara pasukan Van Oranje dan tentara Spanyol, dan tentu saja Balthasar Gérard yang menembak mati Van Oranje di akhir cerita,” ujar Ki Ledjar yang lembur selama dua bulan menggarap wayang kulit pesanan Museum Nusantara Delft itu.

Jawa

Ki Ledjar memberi tanda lahir wayang kulit Jawa lainnya kepada karakter yang diciptakannya untuk babad wayang Van Oranje itu. Ia melengkapi babad Van Oranje dengan goro-goro yang menampilkan karakter badut cerita rakyat Belanda.

Wayang Jan Khassen istimewa, satu-satunya karakter wayang Oranje yang memiliki tangan, leher, dan kaki yang bebas digerakkan oleh sang dalang. Ananto memainkan babakan goro-goro pendek yang mengocok perut penonton, ketika Jan Khassen usil menantang tentara Spanyol menangkap kepalanya yang berputar lincah dimainkan sang dalang.

”Karakter itu tidak dipesan oleh Museum Nusantara Delft, namun saya imbuhkan untuk menggenapi kisah wayang Van Oranje. Biar penontonnya tidak tegang, memang pencair suasana seperti goro-goro,” kata empu wayang kulit berusia 73 tahun itu.

Ahli kepurbakalaan Universitas Leiden, Hedi Hinzler, turut membantu Ki Ledjar dan Ananto meriset perjalanan hidup tokoh sejarah Willem van Oranje. ”Saya hanya membantu Ki Ledjar dan Ananto berbicara dengan sejarawan seni dan restorator yang tahu persis lukisan terpenting Willem van Oranje, yaitu Pier Terwen. Ananto sudah mempelajari bahan sejarah Van Oranje, dan untuk memastikan sejarah yang benar, saya berkonsultasi dengan Terwen,” katanya.

Ki Ledjar Soebroto sendiri telah berulang kali memperbarui wayang purwa demi menyelamatkannya dari gerusan zaman. Pada 1980, ia melahirkan wayang kancil, berupa wayang bertokoh kancil yang mengambil kisah sejumlah Serat Kancil akhir abad ke-18 dan kini dikoleksi banyak museum di Eropa.

”Wayang kancil lahir dari kegelisahan saya mendengar keluhan para dalang, bahwa wayang kulit tidak lagi diminati generasi muda. Saya ingin wayang kancil, dengan karakter wayangnya yang realis, menjadi jembatan bagi anak muda dan mereka yang masih kecil untuk mengenal wayang,” kata Ki Ledjar.

Wayang kancil Ki Ledjar itu akhirnya mengundang minat banyak orang untuk tahu apa itu wayang, termasuk orang mancanegara. Pada 1987, Ki Ledjar menerima permintaan Museum Westfries di Kota Hoorn, Belanda, untuk membuat karakter wayang kulit para tokoh yang terlibat dalam sejarah Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo menyerbu pusat kedudukan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Batavia pada 1628 dan 1629.

Lebih daripada jembatan bagi warga kota Delft untuk dekat dengan koleksi Museum Nusantara Delft, wayang Oranje menjadi jalan banyak orang untuk ingat tradisi wayang kulit Jawa. Namun, wayang Oranje hanya bisa ditonton jika Anda mengunjungi Museum Nusantara di Delft. ”Kita buat lagi wayang yang lain, kita tidak boleh berhenti,” kata Ki Ledjar.

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Maret 2011

No comments: