SEKOLAH bertaraf internasional. Ini adalah cita-cita para pemangku kebijakan negeri ini untuk menyejajarkan penyelenggaraan dan hasil pendidikan dari sekolah formal di Indonesia. Alasan krusialnya adalah dunia yang semakin menyempit oleh gerak globalisasi yang tidak mungkin dibendung. Intinya, agar proses belajar dan lulusan sekolah kita sejajar dengan bangsa lain.
Untuk mewujudkan itu, pemerintan melalui undang-undang merancang rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Sudah lima tahun ini, semua daerah, baik di kota maupun di pelosok kabupaten membuat RSBI. Beberapa sekolah dari SD, SMP, dan SMA ditunjuk untuk menjadi sekolah RSBI. Namun, evaluasi terakhir soal RSBI benar-benar mencengangkan.
Banyak pakar mengkritik RSBI dari semua aspek masih nol bahkan salah kaprah. RSBI telah melenceng dari dedikasi tujuan utama. Yang ada adalah RSBI menjadi sekolah elite, sekolah dengan fasilitas berpendingin udara, dengan media belajar komputer dan LCD proyektor, sekolah dengan pengantar bahasa Inggris, dan menjadi sekolah eksklusif yang mahal. Dan celakanya lagi, biaya untuk mewujudkan itu dibebankan kepada siswa (orang tua). Dan itu sebabnya, tidak ada siswa dari kalangan miskin yang pantas berada di ruang kelas RSBI.
Tarik-menarik dan saling menyalahkan terus terjadi antara penyelenggara sekolah dengan pemerintah. Pihak sekolah meligitimasi iuran siswa yang malah dengan menyudutkan pemerintah yang hanya membuat undang-undang tetapi tidak mengucurkan dana. Sementara, pemerintah selalu berkelit bahwa dana terbatas.
Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi?
Para pengamat justru bingung dengan langkah sekolah yang salah mengartikan RSBI. Mereka juga mencurigai modus ini dipakai pengelola sekolah untuk mengambil keuntungan pribadi. Mereka punya alasan untuk boleh memungut iuran kepada siswa seenaknya dengan banyak dalih. Antara lain, penyediaan ruang yang nyaman, peralatan canggih, akomodasi pengelola, pelatihan guru, dan sebagainya.
Padahal, esensi dari RSBI bukan mengacu kepada perbaikan fisik. Ruang belajar yang nyaman bukan berarti harus memakai AC, peralatan yang canggih bukan berarti harus LCD, dan bahasa pengantar bukan harus bahasa Inggris.
Kita boleh berkaca ke Jepang yang diakui dunia. Mereka bisa merajai teknologi dunia dengan tetap teguh dan bangga berbahasa Nippon dan dengan tulisan kanji. Toh, mereka bisa mengadopsi informasi terkini sekalipun yang banyak dikomunikasikan dalam bahasa Inggris.
Ketertinggalan Indonesia dalam menguasai bahasa Inggris memang satu kekurangan aktual. Ketika RSBI mewajibkan proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, kejadiannya adalah kita akan kehilangan satu generasi yang kalah. Guru-guru yang akan mengajar di kelas internasional mendadak ikut kursus bahasa Inggris. Maka waktunya habis hanya untuk belajar bahasa. Padahal, ia adalah guru matematika atau mata pelajaran lain.
Mengacu kepada kewajiban, ini terus terjadi dalam lima tahun ini. Akibat kita tidak percaya diri dengan apa yang kita miliki, siswa didik pada kelas internasional yang mahal itu adalah generasi yang mengkal. Ilmu yang diajarkan dengan bahasa yang tidak dikuasai secara baik tidak mungkin diserap dengan baik. Sementara, kita telah meninggalkan bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa kebanggaan kita. Alih-alih bahasa daerah yang semua orang sedang khawatir akan kehilangan.
Maka, adalah kewajiban bagi pemerintah untuk menyudahi langkah ngawur ini. Jika diteruskan, kita akan kehilangan manusia-manusia yang bangga dengan bangsanya sendiri. Sebab, mereka dijauhkan dari akar budayanya sekaligus tidak ngeh dengan penjelesan guru yang sedang belajar berbahasa Inggris. Ini adalah gejala psikologis bangsa yang inferior.
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Maret 2011
No comments:
Post a Comment