-- Sri-Edi Swasono
HARUS ada kecocokan antara profesionalitas sosok dan kementerian yang dijabat. Menteri dipilih untuk bekerja, bukan untuk bagi- bagi kekuasaan. ”Dia boleh dari perguruan tinggi, praktisi, dan partai politik mana pun,” kata Roch Basoeki Mangoenpoerojo dalam artikelnya di Kompas (9/11).
Barangkali kisah berikut ini bisa ikut menjelaskan dan sekaligus menggarisbawahi pendapatnya tentang kabinet amanah.
Amatir vs montir
Alkisah, seorang nyonya lanjut usia mengendarai mobilnya. Di tengah jalan mobil tiba-tiba mogok. Dia keluar dari mobil dan segera dikerumuni banyak orang yang menawarkan jasa mendorong mobil ke pinggir jalan.
Seorang pemuda meminta sang nyonya membuka kap mobilnya. Pemuda yang tidak jelas asal-usulnya ini mulai sok memeriksa mesin mobil, pegang sana pegang sini, lalu minta sang nyonya menstarter mobil. Mesin mobil tetap tidak bisa hidup. Sang pemuda bilang, ”Mobil ini rusak berat,” lalu ngeloyor pergi.
Bergantian datang orang lain, melakukan hal yang sama. Semua bertangan hampa. Sampai akhirnya datang seorang bersosok montir menenteng kotak mekanik. Ia berpakaian gelap, kotor oleh minyak dan gemuk mesin. Periksa sana periksa sini, pegang sana pegang sini, lalu ia bilang, ”Nyonya, mobil ini mesti dibawa ke bengkel.”
Di bengkel, sang nyonya menunggu beberapa jam. Mobil tetap tidak beres juga. Si montir meminta maaf, menyarankan untuk pulang saja, dan kembali keesokan hari.
Hari berikutnya sang nyonya datang, beberapa jam ia menunggu. Sang montir tekun mencari apa yang salah dengan mobil itu. Namun, akhirnya montir mengulangi apa yang ia katakan sehari sebelumnya, ”Maaf, Nyonya pulang dulu ya, besok kembali.”
Sang nyonya yang masygul menjawab, ”Tidak, saya akan menunggu di sini saja.”
Sang nyonya menunggu dan memerhatikan dengan saksama apa yang dikerjakan montir itu. Tiba-tiba montir berteriak ceria, ”Ini dia yang enggak bener.”
Montir mengambil obeng kecil dan palu kecil. Entah ada apa dengan platina distributor, ia pukulkan palu kecilnya tiga kali. ”Nah, beres deh. Nyonya, coba mobilnya distarter,” katanya.
Benar, mesin pun hidup. Sang nyonya lega dan puas. ”Pak Montir, berapa saya mesti bayar?” tanya nyonya kaya itu.
”Tiga ratus ribu rupiah saja Nyonya,” jawab montir.
Sang nyonya terbelalak kaget. ”Apa, tiga ratus ribu? Berarti sekali pukul pelan-pelan begitu saja harganya seratus ribu rupiah. Mahal sekali.”
”Maaf Nyonya, itu tidak mahal, setiap orang bisa pukul palu, pukul pelan atau pukul keras. Tetapi, tidak semua orang tahu bagian mana yang harus dipukul, berapa kali, dan berapa keras harus memukulnya. Dua hari saya memeras otak, mengolah pengalaman dan kemampuan saya demi amanah. Jadi, harga segitu tidak mahal buat keahlian dan ketekunan saya itu.”
Hargai keunggulan
Sang nyonya akhirnya paham. Prinsip montir itu toh bukan mata duitannya budaya neoliberalisme knowledge must be paid (pengetahuan harus dihargai). Bukan pula prinsip kapitalistik there is no free lunch (tak ada yang gratis di dunia), tetapi lebih untuk menghormati the culture of excellence (budaya unggul) dalam bertugas mulia. Sang nyonya lalu membayarnya dengan baik dan tersenyum puas, berkat kemampuan unggul sang montir.
Itulah keahlian paripurna, pengalaman, dan loyalitas profesional. Tidak ada kerja coba-coba, tidak ada trial and error-nya orang-orang amatiran.
Beginilah penolakan terhadap kesalahkaprahan sikap ”merasa bisa” (rumongso iso) yang tanpa disertai sikap ”bisa merasa” (iso rumongso). Itulah kearifan lokal, budaya adiluhung bangsa kita, yang menepis mediokritas: kebiasaan baru dari semangat reformasi asal-asalan saat ini.
Dengan kata lain, itulah sistem meritokrasi. Itu pula zakenkabinet dalam sistem presidensial—kabinet yang isinya orang- orang ahli untuk melaksanakan tugas mulia kenegaraan—sesuai adagium demokrasi kita. Bahwa ”takhta adalah untuk Rakyat” semata, bahwa DPR adalah dewan perwakilan rakyat, bukan dewan perwakilan partai.
Presiden SBY pun ditunjuk rakyat untuk mewakili rakyat sepenuhnya karena dipilih langsung oleh rakyat. Lalu ”siapa takut” dan ”mengapa takut”?
Jangan bicara kapan ada reshuffle kabinet. Reshuffle tanpa konteks meritokrasi profesional, hanya yang begitu-begitu saja, tak akan bermakna bagi rakyat. Mempraktikkan cara lama cuma akan menyenangkan partai-partai yang jarah-menjarah kekuasaan antarsesama mereka.
Sri-Edi Swasono, Guru Besar Universitas Indonesia
Sumber: Kompas, Senin, 14 Maret 2011
No comments:
Post a Comment