Saturday, March 26, 2011

[Tanah Air] Menjaga Sungai, Menjaga Peradaban

-- Idha Saraswati dan Abdul Larthief

RAJA-RAJA yang menghuni tepian Sungai Brantas rupanya paham betul, hidup mereka bergantung pada sungai besar itu. Oleh karena itu, mereka berupaya mengelola lingkungan di sekitar sungai supaya bengawan tak berhenti melimpahkan berkahnya.

Para petambang menggunakan mesin penyedot pasir di Sungai Brantas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Jika tidak diatur dan diawasi ketat, penambangan pasir menggunakan mesin dikhawatirkan akan menyebabkan terjadi penurunan dasar sungai. Hal itu memicu longsornya tebing atau tanggul sungai. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)


Brantas ibarat Sungai Nil bagi Jawa Timur. Di sepanjang aliran sungai ini, kerajaan demi kerajaan muncul silih berganti. Raja-raja mendirikan kerajaan di sekitar sungai karena melihat posisinya yang strategis.

Sungai Brantas masa kini memiliki daerah aliran sungai (DAS) sepanjang 11.800 kilometer persegi atau seperempat luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Sungai dengan panjang 320 kilometer ini bermata air di Desa Sumber Brantas (Kota Batu), dan mengalir ke wilayah Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto, hingga akhirnya bercabang ke Sungai Kalimas yang bermuara di Surabaya dan Kali Porong yang bermuara di Sidoarjo.

Selain demi mendapat pasokan air yang penting bagi pertanian, raja-raja itu melihat bahwa tanah di sekitar aliran Sungai Brantas subur. Tanah yang mengandung unsur asam di sekitar sungai bertemu dengan limpahan material vulkanik dari gunung-gunung berapi seperti Kelud, Welirang, dan Arjuna di sekitarnya. Sungai juga dapat menjadi sarana transportasi dan komunikasi antardaerah.

Jejak pengelolaan lingkungan di sekitar Sungai Brantas itu, misalnya, bisa dilihat dari pembangunan tamwak (tanggul) Waringin Sapta di pinggiran sungai pada masa Prabu Airlangga (1019-1041 Masehi). Tanggul yang berada di aliran Sungai Kalimas tersebut dibangun antara lain untuk mengendalikan banjir di Sungai Brantas.

Sebelum ada tanggul, air di sungai itu kerap meluap sehingga batas antara Sungai Kalimas dengan cabang Sungai Brantas lainnya, yakni Sungai Porong, menjadi kabur. Akibatnya, perahu-perahu yang bermaksud melewati Sungai Kalimas menuju Surabaya kerap tersasar ke Sungai Porong.

Keberadaan tanggul mampu meredam luapan air semacam itu. Para pedagang yang mengandalkan transportasi sungai pun merasa senang karena mereka tak lagi perlu takut tersesat.

Ekologi

Selain berdampak secara ekonomi baik untuk pertanian maupun transportasi sungai, proyek Waringin Sapta itu juga berwawasan ekologis.

Arkeolog Universitas Negeri Malang, W Dwi Cahyono, menuturkan, istilah Waringin Sapta bermakna bahwa tanggul tersebut dibangun pada lokasi yang ditumbuhi pohon waringin atau beringin. ”Di kanan dan kiri sungai ada pohon beringin. Pohon itu sengaja ditanam guna menjaga kekuatan tanggul,” katanya, Selasa (15/3).

Menurut Dwi Cahyono, istilah semacam waringin sapta itu juga ditemui di daerah lain. Di daerah Tulungagung, misalnya, ada Desa Ringin Pitu. Artinya, penanaman pohon beringin menjadi kebijakan kerajaan pada masa itu. Pohon beringin serta pohon sejenis dipilih karena akarnya yang kuat mencengkeram tanah dan kemampuannya dalam menyerap air hujan.

Selain menjaga daerah aliran sungai, pada era itu juga ada kebijakan untuk menjaga sumber-sumber mata air. Salah satu jejaknya dapat dilihat di Prasasti Marinci di Kabupaten Malang. Prasasti itu memerintahkan agar sumber air atau tuk dijadikan patirtan. Tuk menjadi sakral sehingga airnya tidak boleh dipakai secara sembarangan. Di sekitar tuk juga selalu ditanam pohon beringin dan preh.

Dengan cara itu, aliran air dari tuk ke sungai terjaga. Debit air di sungai besar pun bisa stabil sehingga pasokan air ke lahan pertanian maupun lalu lintas perahu di sungai terjamin.

Pada masa Kerajaan Majapahit, keluar titah raja yang secara resmi melarang pembakaran hutan. Prasasti Malang yang berangka tahun 1395 menyuruh semua kepala desa di daerah timur Gunung Kawi menjaga lereng-lereng yang berilalang. Perintah itu dikeluarkan guna mencegah penggundulan hutan. Sebab, ketika hujan tiba, sedimentasi dari lereng hutan yang gundul akan masuk ke Sungai Brantas sehingga berpotensi menimbulkan banjir.

Sebagai imbalan menjaga lereng gunung, mereka boleh mengambil kayu dari hutan dan memungut telur kura-kura di Pantai Selatan.

Dennys Lombard dalam bukunya, Nusa Jawa Silang Budaya, menyebutkan, itulah bukti tindakan pertama berwawasan ekologis pertama yang ditemui, yang tidak lagi bermaksud menghancurkan alam sekeliling secara sistematis, tetapi sebaliknya bertujuan memakainya dengan rasional.

Birokrasi

Keseriusan untuk mengelola lingkungan sungai juga dapat dilihat dari keberadaan pejabat khusus yang bertanggung jawab menangani sungai. Dengan demikian, raja-raja pada masa itu tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga memasukkan fungsi tata kelola sungai dalam birokrasi kerajaan.

Dwi Cahyono mengatakan, Kediri adalah kerajaan yang pertama-tama menyadari pentingnya pertahanan air. Itu bisa dilihat dari jabatan senapati sarwajala yang bertugas menjaga keamanan di sekitar Sungai Brantas. ”Pertahanan air tidak hanya menyangkut laut, tapi juga sungai,” ujarnya.

Selain itu, ada jabatan lain seperti panghulu banu yang bertugas menjamin sekaligus membagi aliran air, juga patih tamwak yang bertugas menjaga tanggul. Menjaga ekologi di sekitar kawasan sungai dan tanggul termasuk dalam tugas mereka.

Raja-raja yang memerintah wilayah di tepi Sungai Brantas selanjutnya meneruskan kebijakan Kediri. Oleh karena itu, kerajaan-kerajaan di pedalaman itu memiliki kesadaran maritim yang kuat. Sungai tidak hanya berfungsi sebagai pilar irigasi yang penting, tetapi juga menjadi sarana transportasi penting yang menghubungkan daerah pedalaman Jawa Timur dengan Laut Jawa.

Tata kelola sungai semacam itu pudar seiring runtuhnya Kerajaan Majapahit. Belanda dan Jepang sebenarnya juga memerhatikan DAS Sungai Brantas dengan membangun sarana pengendalian banjir.

Namun, penumpukan sedimentasi dari limpahan material vulkanik serta erosi akibat penggundulan hutan di hulu Sungai Brantas membuat sungai besar ini menjadi kian sempit dan dangkal. Perahu-perahu dagang yang dulu hilir-mudik pun menghilang dari Sungai Brantas.

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011

No comments: