Wednesday, August 03, 2011

[Kiprah] Gerson Poyk, Puisi Menjadi Energi Spiritual

ADA pepatah bijak mengatakan, “Salah satu cara memecahkan masalah adalah jangan memulai dengan mempersoalkan bagaimana masalah itu terjadi, tetapi mulailah dengan bagaimana masalah itu dapat terselesaikan.” Tampaknya pepatah dari sumber yang anonim tersebut digunakan sastrawan Gerson Poyk untuk bangkit dari kemiskinan yang melanda keluarganya pada masa kecil. Dengan berbekal semangat untuk belajar dan bangkit dari keterpurukan, pria kelahiran Namodele, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931 ini berhasil membuktikan bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.

Gerson Poyk [SP/Ignatius Liliek]

“Keluarga saya dulu hidup dalam garis kemiskinan, ayah saya pada jaman perang juga pernah dipenjara pemerintah kolonial Belanda waktu itu. Jadi kehidupan kami saat itu selalu dipenuhi dengan ketidakpastian,” ujar Gerson kepada SP saat ditemui di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, baru-baru ini.

Gerson kecil yang ketika itu telah putus sekolah sejak kelas tiga SD selalu bertugas membantu keluarganya dengan bekerja di kebun. Di sela-sela kegiatan bekerja itulah Gerson yang telah pandai membaca melibas habis buku-buku dari sejumlah karya sastrawan dalam dan luar negeri.

“Saya ingat waktu itu hujan deras seusai mencangkul di kebun sambil menunggu hujan reda saya membaca buku-buku tersebut sambil memakan jagung yang digoreng kering,” ujar pria yang telah meluncurkan buku terbarunya yang berjudul Keliling Indonesia dari era Bung Karno sampai SBY ini.

Selepas masa kecil, putera dari pasangan Johanes Laurens Poyk dan Juliana Manu ini melanjutkan studinya di Sekolah Guru Atas (SGA) Surabaya dan bekerja menjadi guru SMP Negeri serta SGA Negeri di Ternate pada tahun 1956 sampai dengan 1958. Setelah itu pada tahun 1958 sampai 1963, Gerson pindah mengajar di SMP dan SGA Negeri di Bima. Perjuangan panjang hidup Gerson tidak berhenti di situ.

Pada tahun 1963 ia menjadi wartawan Sinar Harapan hingga 1970. Gerson yang semenjak itu menjadi penulis lepas hingga kini telah menciptakan ratusan karya novel, cerpen, dan puisi. Beberapa karya yang telah dipublikasikan seperti Sang Guru, Nyoman Sulastri, Doa Perkabungan, Requiem untuk Seorang Perempuan, Di Bawah Matahari Bali, Mutiara di Tengah Sawah, dan Surat-surat Cinta Alexander Rajaguguk.

Beberapa karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Jerman, Rusia, Belanda, Jepang dan Turki. Bahkan, banyak mahasiswa dalam dan luar negeri memperoleh gelar S1, S2 dan S3 dengan skripsi dan tesis mengenai karya-karyanya.

“Karya-karya yang telah saya tulis banyak terinspirasi dengan latar belakang kehidupan saya pada masa lalu, batin dan alam bawah sadar saya selalu bergejolak. Energi inilah yang selalu membuat saya bergerak untuk mulai menuliskan puisi dan puisi telah menjadi energi spiritual bagi saya,” ujar Gerson yang baru saja menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan tahun 2011 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kerja keras dan usahanya telah membuahkan hasil yang luar biasa, beberapa penghargaan sastra dari dalam dan luar negeri seperti Hadiah Sastra Asia Tenggara “Sea Write Award”, Lifetime Achivement Award dari Harian Kompas, dan Adinegoro Award pada tahun 1985 dan 1986 pun berhasil diraihnya. Selain itu Gerson juga kerap diundang dan mengikuti berbagai acara pertemuan seperti International Creative Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat dan pertemuan sastrawan Asia-Afrika di New Delhi, India.

Dalam kesempatan ini Gerson Poyk mengatakan, saat ini dunia telah dipenuhi tantangan dan kontradiksi serta kemustahilan tetapi untuk mengatasi hal tersebut jangan pernah mengutamakan jalan kekerasan dengan membunuh satu sama lain. Gerson juga berharap karya sastra dapat menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan berbagai konflik masalah yang terjadi di dunia dan tetap berpegang pada Tuhan bahwa Ia mampukan kita menyelesaikan masalah tersebut.

“Mengutip pidato Indra Gani pada pertemuan sastrawan ia mengatakan bahwa, sastrawan harus turut bertanggung jawab atas perdamaian dunia, jika ada kekerasan absurdritisme sosial, ekonomi dan politik, sastrawan harus bangkit melawan itu dan menjadi jalan tengah yang bagus, moderat, dan dituntun oleh hati nurani,” ujar Gerson menutup pembicaraan. [L-13]

Sumber: Suara Pembaruan.com, Rabu, 3 Agustus 2011

No comments: