-- Delvi Yandra
“Ikan,” katanya, “aku mencintaimu dan sangat menghormatimu. Tapi aku akan membunuhmu sebelum hari ini berakhir.” (Lelaki Tua dan Laut : 60)
Demikian yang dikatakan Santiago, si lelaki tua yang mengarungi laut lepas untuk menangkap ikan marlin raksasa. Nelayan tua Kuba tersebut berlayar seorang diri setelah sebelumnya ditawari oleh seorang anak yang sangat ingin ikut berlayar bersamanya.
Lelaki Tua dan Laut yang memukau dan penuh perjuangan luar biasa ini ditulis Ernest Hemingway pada rentang waktu 1952. Tahun berikutnya, novel ini memenangi Hadiah Pulitzer dan Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letter. Novel ini pula yang kemudian mengantarkan Hemingway meraih penghargaan bergengsi Hadiah Nobel Sastra pada 1954.
Penulis dengan nama lengkap Ernest Miller Hemingway yang lahir di Oak Park, Illinois pada 21 Juli 1899 ini ialah salah seorang pengarang Amerika paling terkemuka sepanjang masa. Dia memulai karirnya sebagai seorang wartawan di Star Weekly yang terbit di Toronto. Pernah juga menjadi sopir ambulan pasukan sekutu di Italia dalam Perang Dunia I.
Novel yang merupakan refleksi kisah hidupnya ini bercerita tentang seorang lelaki tua bernama Santiago yang dengan seorang diri berlayar ke laut lepas demi usahanya menangkap ikan marlin raksasa setelah sebelumnya gagal menangkap seekor ikan pun selama 84 hari.
Pelayaran penuh perjuangan pantang menyerah Santiago dalam mencapai tujuannya ini, mengajarkan kepada kita betapa keuletan, kesabaran, ketabahan, kegigihan, dan usaha keras dalam mengarungi cobaan hidup tidak akan pernah berakhir sia-sia.
Hal itu ditunjukkan Santiago dengan kesabarannya memperhatikan seekor burung kecil yang terbang menuju perahu dari arah utara. Dia kelihatan sangat lelah. Si lelaki tua berusaha mengajak burung itu berbicara.
“Berapa usiamu?” tanya lelaki tua itu kepada si burung. “Apakah ini perjalanan pertamamu?”
Dari nilai-nilai percakapan semacam itu menandakan pertanyaan tersebut pada dasarnya berimbas pada refleksi terhadap diri sendiri si lelaki tua. Hal-hal kecil lainnya mulai bermunculan di beberapa adegan. Misalnya tindakan seekor ikan yang entah marlin, entah ikan bermulut lebar atau malah hiu yang secara sengaja menghentak dan mendorong lelaki tua itu jatuh di atas haluan dan nyaris mendorongnya keluar perahu.
Di lain adegan, saat si lelaki tua hendak menarik umpannya perlahan, dia pun berujar dengan kegigihan yang luar biasa.
“Ikan,” katanya dengan lembut, “aku akan bersamamu sampai aku mati.”
Cobaan demi cobaan mulai merayapi lelaki tua. Sampai akhirnya dia kehabisan bahan makanan di sisa-sisa usahanya untuk meraih seekor ikan besar. Dia sebut itu galano, tetapi itu hiu besar —seekor dentuso yang jahat, kuat dan pintar. Tetapi lelaki tua tak hendak mengalah, bahkan dia katakan bahwa dia lebih pintar, mungkin juga tidak, dia hanya dipersenjatai lebih baik. Semacam pendayung, tombak, dan seruit.
Saking beratnya cobaan, Santiago rela tidak mendengarkan radio kesayangannya yang menyiarkan permainan bisbol dan kelihaian DiMaggio. Namun, setelah dia berhasil menaklukkan seekor ikan besar dan dirinya, sampailah Santiago di tepi laut —di Teras yang biasa dilabuhinya— orang-orang menemukan kerangka ikan besar terikat di perahu Santiago dan mereka mengukurnya.
Dan tentu saja, setelah dia diselamatkan oleh anak lelaki yang senantiasa menemaninya, dia meminta koran yang terbit pada saat dia pergi. Pastinya, dia akan dapat membaca berita tentang bisbol kesayangannya.
Anak lelaki itu pun membawakan sekaleng kopi panas menuju gubuk lelaki tua, dan dia menemukan Santiago sedang menangis sedari tadi. Tak dinyana, seekor ikan yang berhasil ditangkapnya ialah seekor Tiburon, hiu yang ekornya tampak elok.
Novel Lelaki Tua dan Laut setebal 148 halaman ini sangat elok dibaca bagi siapa saja karena ceritanya sungguh menyentuh, juga diwarnai suka-duka persahabatan lelaki tua dengan seorang anak lelaki. Novel ini ditulis Hemingway saat dia menetap di Kuba.
Sedemikian populernya novel ini, berkali-kali pula difilmkan dan dibaca orang dari segala penjuru dunia. Dan Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat dengan lugas dan piawai meraciknya ke dalam bahasa Indonesia. Penerbit Serambi pun telah tiga kali mencetak buku ini. Hingga sekarang, novel karya Hemingway ini terus dibaca dan menjadi inspirasi bagi setiap orang.***
Delvi Yandra, cerpenis, pecinta buku dan pelaku teater. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment