-- Antonius Sujata
BUKU Ombudsman Indonesia : "Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang" (diterbitkan oleh Komisi Ombudsman Nasional 2002) antara lain menulis: Pagi itu, awal November 1999, Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Diskusi tersebut juga melibatkan calon ketua yang diusulkan Presiden cq Antonius Sujata. Akhirnya, pada 17 November 1999 diadakan pertemuan antara Jaksa Agung Marzuki Darusman, Antonius Sujata, dan Presiden RI guna membahas gagasan Presiden RI tentang konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara dalam rangka memberantas KKN. Secara konkret konsep tersebut diwujudkan dengan membentuk Lembaga Ombudsman.
Sebagai implementasi atas konsep pengawasan tersebut, maka pada 10 Maret 2000 Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan Keppres No 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.
Pembentukan Ombudsman dilatarbelakangi beberapa landasan: Pertama, fungsi dan tugas penyelenggaraan negara pada hakikatnya adalah mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Kedua, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil oleh penyelenggara negara.
Ketiga, dalam praktik, banyak sekali penyimpangan; penyelenggara negara tidak melayani tetapi minta dilayani, rakyat menjadi objek/menjadi korban/menjadi abdi penyelenggara negara; tidak ada tolok ukur jelas mengenai pemberian pelayanan.
Keempat, pelaksanaan pelayanan oleh penyelenggara negara perlu diawasi karena banyaknya penyimpangan, juga untuk mencegah penyimpangan.
Dengan demikian, konsep mengenai Ombudsman yang pada intinya adalah untuk melakukan pengawasan terhadap pemberian pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara negara; secara langsung atau tidak langsung akan berdampak bagi upaya untuk memberantas KKN
Pada era tahun 2000-an, masih belum banyak orang yang berbicara peningkatan kualitas pelayanan publik, tentang good governance dan juga tentang pemberantasan perilaku koruptif. Konsep Ombudsman memandang korupsi secara lebih luas, yaitu tidak hanya dari aspek hukum melainkan aspek sosiologis yaitu segala bentuk perilaku yang bersifat koruptif. Dalam perkembangan terakhir, konsep tentang Ombudsman telah dilandasi dengan UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia bahkan diperkuat dengan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Ombudsman diperlukan untuk menghadapi penyalahgunaan oleh aparatur pemerintah dan sekaligus membantu aparatur negara melaksanakan penyelenggaraan negara secara efisien dan adil. Ombudsman akan mendorong pemegang kekuasaan negara melaksanakan pertanggungjawaban secara baik. Beberapa alasan mendasar mengapa banyak negara termasuk Indonesia membentuk Lembaga Ombudsman.
Pertama, secara institusional Ombudsman bersifat independen baik struktural, fungsional maupun personal. Sifat independen ini akan sangat mempengaruhi efektivitasnya karena dalam bertindak senantiasa bersikap objektif, adil, dan tidak berpihak.
Kedua, sasaran pengawasan adalah pemberian pelayanan. Artinya dalam bertindak, aparat menjadi pelayan sehingga warga masyarakat diperlakukan sebagai subjek, bukan objek/korban pelayanan.
Ketiga, prosedur atau mekanisme yang digunakan dalam proses pengawasan tidak berbelit-belit dan juga dimungkinkan proses penyelesaian melalui mediasi dengan prinsip saling memberi saling menerima (win-win solution)
Keempat, Lembaga Ombudsman dengan tegas dan terbuka menyatakan pengawasan yang dilakukan atau laporan yang ditindaklanjuti tidak dipungut biaya.
Kelima, Ombudsman juga menganut prinsip bahwa dalam menyelesaikan laporan senantiasa mendengarkan dua pihak oleh karena itu tidak melayani surat kaleng.
Partisipasi masyarakat
Konsep tentang lembaga Ombudsman sangat mengakomodasi partisipasi masyarakat, dengan cara memberikan peran yang seimbang antara penyelenggara negara yang memiliki kewajiban memberi pelayanan dengan masyarakat yang memiliki hak memperoleh pelayanan. Dalam UU tentang Pelayanan Publik dinyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk kerja sama pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik juga masyarakat dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik.
Masyarakat berhak mengadukan pelayanan publik kepada Ombudsman. Pejabat yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan, yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berupa pembebasan dari jabatan, penurunan pangkat, atau sanksi administrasi lainnya. Jika melanggar ketentuan pidana, dapat dituntut hukuman badan ataupun ganti rugi.
Implementasi UU tentang Ombudsman Republik Indonesia dan juga UU tentang Pelayanan Publik merupakan salah satu terobosan yang cukup revolusioner dan inovatif dalam sistem hukum di Indonesia. Pejabat negara yang melakukan penyimpangan dan direkomendasikan oleh Ombudsman maka wajib melaksanakan rekomendasi tersebut. Dengan kata lain Ombudsman bukan sekadar pemberi pengaruh dalam pelayanan publik (Magistrature of influence), tetapi juga sebagai (Magistrature of sanction).
Di berbagai negara, rekomendasi Ombudsman hanya bersifat mengikat secara moral (morally binding), di Indonesia bersifat mengikat secara hukum (legally binding). Penguatan kelembagaan Ombudsman merupakan realisasi cita-cita Gus Dur.
Melalui konsep Ombudsman, Gus Dur memiliki visi yang konkret bahwa rakyat berhak untuk memperoleh pelayanan yang berkualitas dari penyelenggara negara karena penyelenggaraan negara merupakan abdi masyarakat. Melalui konsep Ombudsman diyakini merupakan jalan keluar untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang baik serta mencegah KKN.
* Antonius Sujata, Ketua Ombudsman Republik Indonesia
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 6 Januari 2010
No comments:
Post a Comment