Judul: Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami
Penulis: Subandono Diposaptono dan Budiman
Penerbit : Penerbit Buku Ilmiah Populer, PT Sarana Komunikasi Utama
Terbit: Bogor, Januari 2008
Tebal: xv+384 halaman
PADA Desember ini, genap lima tahun sudah berlalunya tragedi gempa dan tsunami Aceh 2004. Peringatan lima tahun bencana tsunami pun dilakukan dengan menggelar doa bersama beberapa waktu lalu, Sabtu (26/12), di Pelabuhan Ulee Lheu sebagai lokasi terparah yang dihantam tsunami.
Wakil Presiden Boediono yang turut hadir dalam peringatan ini mengungkapkan rasa harunya atas rakyat Aceh yang kini mulai bangkit. “Setelah lima tahun, pemerintah dan rakyat Aceh telah bangkit dan memulai hidup baru dan kembali membangun Aceh,” kata Wapres Boediono seperti dilansir Reuters.
Life must go on, itu pasti, namun tetap dengan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap bencana alam. Tentu tak akan mungkin bagi manusia untuk melanjutkan hidup dengan menafikan gempa dan tsunami. Apalagi setelah para ahli geologi mengatakan Indonesia berada di wilayah cincin pasifik ring of fire sehingga rawan terjadi gempa bumi. Lalu apa pulakah ring of fire itu? Mengapa begitu penting bagi manusia Indonesia untuk memahami hal-hal alamiah dan ilmiah macam ini?
Seperti memahami kegelisahan dan tanda tanya besar masyarakat yang masih trauma dan khawatir berlebihan mengenai bencana gempa dan tsunami ini, ilmuwan sekaligus peneliti Subandono Diposaptono dan Budiman akhirnya menulis buku Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami.
Penerbit Buku Ilmiah Populer Sarana Komunikasi Utama melihat buku ini bisa bermanfaat, khususnya bagi masyarakat awam. Misalnya untuk dijadikan panduan sederhana untuk mengenal, memahami, dan mengantisipasi jika terjadi gempa dan tsunami. Dengan mengenali karakteristik dan proses gempa dan tsunami, kepanikan berlebihan dalam menghadapi bencana ini bisa tergantikan dengan penguasaan keadaan demi penyelamatan lebih banyak jiwa dan harta-benda.
Subandono dan Budiman menuliskan bukunya dengan kronologis, yaitu memulai dari awal mengenai pengertian tsunaminya sendiri. Dengan tujuan meningkatkan pemahaman agar ketidaksiapan, definisi tsunami pun dijabarkan dengan gamblang melalui penjelasan harfiah‘”terminologi, penjelasan bebas yang lebih mudah dimengerti, hingga bantuan detail deskriptif berupa visual grafis gelombang tsunami.
Contohnya, gambar tentang perbedaan sifat pergerakan air akibat gelombang air dan tsunami (Gambar 4 hlm 8) yang jelas-jelas memperlihatkan perbedaan gelombang angin (air bergerak membentuk orbit lingkaran) dan gelombang tsunami (air melaju lurus menghempas daratan dengan cepat). Bahkan pada gambar selanjutnya, kedahsyatan tsunami juga digambarkan lewat perbandingan kecepatan gelombangnya yang setara dengan pesawat (800 km/jam pada kedalaman laut 5.000 m), lalu kereta api (500 km/jam pada kedalaman laut 500 m), mobil (110 km/jam pada kedalaman laut 100 m) dan mobil kecil (36 km/jam ketika mencapai pantai dengan tinggi gelombang 9 m).
Informasi semacam ini menjadi salah satu kelebihan buku Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Di mana sumber gambar dan data juga dicantumkan dengan jelas demi kepentingan pembaca yang mungkin saja ingin riset lebih mendalam.
Selain itu tentu saja penulis mencoba memaparkan perihal kondisi Indonesia sebagai negara yang wilayahnya terletak di zona rawan bencana gempa, ring of fire:
Di balik begitu banyaknya potensi sumber daya alam di laut kita, Indonesia berada dalam satu kawasan yang terletak pada daerah pertemuan tiga lempeng bumi (triple junction plate convergence). Ketiga lempeng itu (Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia) bergerak relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia. Konsekuensi logisnya, Benua Maritim Indonesia merupakan daerah, yang secara tektonik, sangat labil di dunia. Kawasan itu juga terkenal sebagai salah satu pinggiran benua yang sangat aktif di muka bumi. (hlm 15)
Maka dari itu penulis kemudian bersepakat dengan pernyataan Arnold (1986) bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan tinggi di dunia. Dibandingkan dengan gempa di Amerika Serikat, Indonesia memiliki frekuensi gempa 10 kali lipatnya.
Gempa, di dalam buku ini, didefinisikan sebagai getaran bumi akibat gelombang seismik yang dipancarkan energi elastik (sumber berada di dalam bumi) yang dilepaskan tiba-tiba sehingga terjadi proses patahan. Berdasarkan mekanismenya, proses terjadinya patahan penyebab gempa dapat terjadi dalam bentuk dip slip dan strike slip. Dip slip terjadi jika patahan bergerak vertikal naik turun. Sementara Strike slip terjadi pada patahan horizontal karena pergeseran kiri atau kanan.
Selain bergelut pada ranah teori dan ilmiah, penulis juga membawa pembaca pada relevansinya terhadap kejadian nyata yang sudah terjadi di Indonesia, dan juga gempa serta tsunami di wilayah lain di dunia sebagai bahan pembanding. Penulis membahas tentang landscape NAD yang telah berubah total pascatsunami.
Dari pencitraan luar angkasa (terlampir dalam buku ini pada foto citra satelit Pelabuhan Uleu Leu setelah dan sesudah tsunami), terlihat bahwa kerusakan akibat bencana itu memang amat mengerikan. Visual yang lengkap, berwarna, disertai caption dan keterangan mendetail ini selain menarik, juga membantu pembaca untuk lebih dalam mempelajari informasi terkait gempa dan tsunami yang sangat penting dalam buku ini.
Unsur kemudahan juga hadir karena penulisnya mencoba mengemukakan segala informasi, yang tentu saja berdasar ilmu alam ini, dengan sesederhana dan segamblang mungkin. Bisa dibilang, buku ini bisa dibaca oleh berbagai kalangan tanpa kesulitan berarti memetik esensi dan garis besar pesan yang ingin disampaikannya. Meski tentu saja, buku ini bisa didalami dengan berbagai tingkatan; sekadar tahu saja, mengagumi gejala alam yang tersajikan dengan terbuka, atau benar-benar serius menyikapi informasinya demi kepentingan keselamatan hidup di tengah zona rawan. Sikap yang terakhir ini adalah sikap mengupas segala ilmu yang termuat dalam Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Mengakrabi, dalam hal ini adalah sebenar-benarnya mempelajari soal gempa dan tsunami, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Tujuannya, tentu saja untuk kepentingan penguasaan keadaan dan berbagi ilmu sehingga selalu siap siaga, tanpa selalu mengharapkan pertolongan orang lain saat bencana berlangsung.
Meski kedengarannya berat-belajar soal lempeng bumi, energi dalam bumi, gempa tektonik, pada akhirnya mengakrabi gempa dan tsunami bukan lantas menghafal istilah-istilah scientific atau menguasai tinjauan model matematika dan fisika yang diuraikan secara akademis, melainkan mendalami fenomenanya dan penanggulangannya. Penulis, misalnya, dengan sangat realistis, logis, dan relevan, memasukkan unsur kearifan lokal sebagai salah satu alarm kesiapsiagaan.
Artinya, tak mesti selalu masyarakat mengukur-ukur tinggi gelombang lewat alat berteknologi tinggi yang diimpor dari negara Barat, melainkan sangat dianjurkan juga memanfaatkan tanda-tanda alam yang sudah menyatu dengan keseharian masyarakat. Masyarakat harus terus mendengarkan ”sabda” alam.
Alam, pada kenyataannya, telah menempa dan memberi banyak pengalaman berharga bagi warga yang mendiami Pulau Simeulue yang terletak di Samudra Hindia itu. Hidup di atas permukaan lempeng makin membuat mereka bersepakat dengan alam. Puluhan kali mereka digoyang gempa tektonik. Alam pun mengajari mereka fenomena tersebut. Akhirnya, lahirlah tradisi Smong (dalam bahasa lokal berarti imbauan agar segera lari ke arah bukit setelah gempa karena sebentar lagi air laut naik atau pasang).
Jadi, begitu bumi bergetar digoyang gempa, 73 ribu penduduk yang tersebar di 135 desa yang saling berjauhan itu akan langsung memantau permukaan air laut di pantai. Jika air susut mendadak pertanda gelombang tsunami bakal datang.
Pulau Nias lain lagi. Menurut penulis kearifan lokal penanda bencana alam di sini dikenal dengan sebutan Omo Hada. Ini adalah rumah adat tanpa paku yang tetap tegak berdiri meski dihantam gempa. Dengan usia 300 tahun omo hada tetap kokoh. Desain ramah gempanya mudah ditiru dan menggunakan material yang tersedia di alam. Ia dibuat di lokasi yang tinggi‘”aman dari tsunami‘”dengan struktur rumah yang kuat, namun lentur dengan fondasi yang berbeda dengan rumah umum.
Fondasinya dibuat secara umpak, yakni berbatu-batu disusun rapi dan tidak ditanam di dalam tanah. Susunan bebatuan inilah yang jadi tumpuan bagi tiang-tiang kayu. Ketika gempa dahsyat terjadi, tiang tersebut tidak mudah patah, karena ternyata tiang mengikuti gaya horizontal gempa saat ada fleksibilitas antara struktur atas dan bawah.
Bisa dibilang, buku Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami cukup kompleks “menelanjangi” gempa dan tsunami dari berbagai aspek, bahkan hingga pada anjuran menangani gempa, mitigasi gempa dan tsunami, membangun sistem peringatan dini yang andal, memulihkan dampak gempa dan tsunami, mengelola pesisir secara terpadu, hingga, kajian pengalaman Jepang menangani dempa dan tsunami. Kesemuanya ini terdapat dalam bab keempat yang disusul potret riset tsunami di Indonesia pada bab terakhir (bab 5)‘”dalam model matematika dan model fisik‘”yang dilengkapi foto percobaan-percobaan.
Membaca buku Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami‘”sebagian atau keseluruhan memberikan pencerahan atas anggapan terhadap gempa dan tsunami serta jawaban terhadap cara yang tepat dalam ”menerimanya” sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Buku ini, menurut Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Bakornas PB, Ir Sugeng Tri Utomo, DEA, adalah bentuk kepedulian peneliti yang konsisten menggeluti bidang Iptek kebencanaan menuangkan pemikirannya tentang pengurangan risiko bencana gempa dan tsunami dalam bahasa yang lugas dan mudah dimengerti.
Syifa Amori
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 3 Januari 2010
No comments:
Post a Comment