-- M Alfan Alfian
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur wafat. Sebuah pertanyaan terlintas, dari mana datangnya orang besar? Tidak dapat dimungkiri, terlepas dari ragam kontroversi, Gus Dur itu orang besar milik bangsa. Gus Dur sudah jadi milik semua, termasuk kalangan minoritas, yang mengusungnya sebagai tokoh pluralisme.
Gus Dur, oleh berbagai kalangan dengan sudut pandang masing-masing, merupakan sosok multiperspektif. Menurut Jaya Suprana, Gus Dur yang humoris itu hanya permukaannya saja, hatinya humanis. Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) Gus Dur kerap dianggap sebagai seorang wali. Bagi yang berseberangan pandangan, Gus Dur hanyalah sosok yang menyebalkan.
Bagi yang dekat dan rasional, Gus Dur itu manusia biasa yang mempunya sisi makro dan mikro. Gus Dur makro hadir dengan ikon dan tema-tema besar, seperti humanisme, pluralisme, demokrasi, dan universalisme. Sementara itu, Gus Dur mikro kontradiktif dengan tema-tema besar tersebut sehingga memunculkan penilaian bahwa Gus Dur itu ”otoriter” dan tidak konsisten alias ”semau gue”.
Akan tetapi, Gus Dur tetaplah orang besar. Gus Dur pernah menjadi presiden. Gus Dur telah memperoleh momentum politik yang tepat pasca-Pemilu 1999 ketika proses politik di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bermuara pada munculnya sosok ”juru penengah” yang diyakini mampu merangkul semua pihak.
Salah tempat
Gus Dur adalah sebuah resultan politik. Akan tetapi, tanpa menjadi presiden pun, Gus Dur sesungguhnya tetap orang besar. Ia intelektual yang mempunyai integritas, punya komunitas kultural NU dan partai politik. Ia pemikir yang punya massa dan jaringan pertemanan yang luas.
Justru politik kekuasaan membuat kebesaran Gus Dur teruji. Banyak kebijakannya yang ”revolusioner” dan wacananya yang ”terlampau berani”. Gus Dur meresmikan tahun baru Imlek, mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua, membubarkan Departemen Sosial, Departemen Penerangan, dan Kementerian Pemuda dan Olahgara, menjajaki kemungkinan kerja sama politik dengan Israel, hingga meminta maaf kepada kalangan eks-Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai korban politik. Ada yang disambut baik, ada yang menyisakan kontroversi dan penolakan.
Banyak yang mengkritik Gus Dur sewaktu menjadi presiden, yang sengaja atau tidak ternyata kebijakan-kebijakannya telah menjadi blunder bagi stabilitas kekuasaannya. Gus Dur akhirnya dilengserkan ”di tengah jalan” melalui Sidang Istimewa MPR.
Tukang kritik, Butet Kartaredjasa, menilai Gus Dur itu tokoh besar yang ketika menjadi presiden salah tempat karena sejatinya tempatnya adalah punakawan. Gus Dur itu kiai Semar yang bijak. Ketika menjadi presiden, maka tak heran apabila banyak memunculkan ”kegegeran”.
Betapapun demikian, di tengah wacana dan upaya mendekonstruksi banyak hal, Gus Dur tetap dikagumi kawan dan lawan. Sepeninggalnya tidak ada sosok yang mampu menandinginya sebagai orang besar yang khas di tengah-tengah realitas keindonesiaan yang penuh anomali.
Melampaui darah biru
Gus Dur bukan saja sosok pemimpin (kultural dan politik) yang hanya dapat dijelaskan dalam perspektif trait theory. Dalam perspektif tersebut, orang besar itu dilahirkan. Aspek genetis alias ”darah biru”-lah yang paling banyak memengaruhi. Darah kepemimpinan Gus Dur mengalir dari kakeknya, KH Hasyim Asy’ari dan ayahnya, KH Wahid Hasyim. Dalam tradisi NU, Gus Dur memiliki legitimasi ”darah biru” yang sangat kuat.
Akan tetapi, Gus Dur memproses kehadiran dirinya tanpa sekadar mengandalkan legitimasi ”darah biru”. Ia sosok yang sangat disiplin di dunianya, keintelektualan. Dalam konteks inilah, ia menjadi manusia penjelajah di dunia wacana, berdiskusi, dan beraktivitas sosial. Ia kritis terhadap metodologi pembelajaran perkuliahannya sewaktu di Mesir. Ia tumbuhkan metodologi ilmu di dalam dirinya. Akan tetapi, ia pun mempunyai kepekaan budaya yang tinggi, humanis, dan sederhana. Visinya jauh menjangkau di luar komunitas NU.
Gus Dur, karenanya, tidak hanya sebatas elite, yang terseleksi secara ”genetis”, tetapi leader yang memiliki visi tajam, wawasan budaya yang baik, dan teruji. Gus Dur adalah sosok pemimpin yang jauh melampaui modal genetik yang dimilikinya, dan sesuai dengan nama aslinya, Abdurrahman Addhakil, ia kualitatif, ”mendobrak” dan ”menaklukkan”. Ia unik dan indonesiawi.
Selamat jalan Gus!
* M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
Sumber: Kompas, Selasa, 5 Januari 2010
No comments:
Post a Comment