-- Kacung Marijan
DI sela-sela proses pemakaman Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, beberapa orang berbisik sambil bertanya, ”Bagaimana masa depan Nahdlatul Ulama sepeninggal Gus Dur?” Bahkan, ada juga yang mengajukan pertanyaan, ”Bagaimana masa depan Indonesia?”
Bisa jadi, yang bertanya seperti itu bukan hanya warga nahdliyin yang sangat mengagumi Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa yang merasa kehilangan atas ”kepulangan” Gus Dur juga beragam. Pemikiran dan aksi Gus Dur yang lintas etnis, kesukuan, agama, dan bahkan negara telah memungkinkan hal ini terjadi.
Basis pemikiran
Banyak orang NU dan Indonesia yang cerdas dan memiliki kepemimpinan yang bagus. Namun, Gus Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan orang- orang semacam itu. Bahkan, dalam taraf tertentu, Gus Dur berbeda dengan almarhum kakeknya, Kiai Hasyim Asy’ari dan almarhum ayahnya, Kiai Wahid Hasyim.
Gus Dur lahir di lingkungan tradisi pesantren yang kuat di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, Gus Dur juga tumbuh dan berkembang di alam modern yang kuat pula, di ”kawasan Menteng”. Dua lingkungan ini telah menyatu di dalam diri Gus Dur, yang kemudian terefleksi pada pikiran-pikirannya.
Dunia pesantren telah memungkinkan Gus Dur memahami dan mendalami pemikiran-pemikiran klasik Islam, khususnya yang berakar pada tradisi Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Sementara itu, penguasaan bahasa asing (non-Arab), kemampuan belajar otodidak yang luar biasa, dan bergaul dengan komunitas nonpesantren telah memungkinkan Gus Dur berkenalan dengan pemikiran-pemikiran mondial.
Ladang dan benih-benih pemikiran Gus Dur berkembang dan teraktualisasi berseiring dengan kemampuannya di bidang tulis menulis, suatu bidang yang jarang digeluti oleh anggota komunitas pesantren. Maka, sejak 1970-an, nuansa pemikiran yang dihadirkan oleh Gus Dur memiliki kekhasan, yaitu ulasan mengenai isu-isu kontemporer yang berakar pada tradisi pemikiran Islam klasik.
Di antara pemikiran Gus Dur yang mengemuka adalah berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan. Keduanya bisa menjadi satu kesatuan yang berkait.
Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan alim ulama NU pada tahun 1983 bahwa negara Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat final. Ini memang keputusan jam’iyah, organisasi NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun, Gus Dur merupakan salah satu aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu.
Dalam pandangan NU—dan Gus Dur— negara Pancasila merupakan negara ideal yang mampu menaungi dan menghargai kebinekaan masyarakat Indonesia. Negara demikian memungkinkan Islam dan agama-agama lain tumbuh dan berkembang dalam sebuah wadah kebersamaan.
Pandangan semacam itu pula yang mendorong lahirnya pemikiran dan praksis Gus Dur yang bercorak multikultural. Realitas bahwa negara-bangsa Indonesia itu beragam dari segi etnik, agama, dan pembeda-pembeda lainnya tidak bisa dikonstruksi melalui pemikiran atau kelompok tertentu. Karena itu, sejak awal, Gus Dur merupakan pembela kelompok-kelompok minoritas yang merasa termarjinalkan oleh kelompok mayoritas.
Dalam pandangan Gus Dur, betapapun kuatnya mayoritas tidak boleh melakukan penyingkiran terhadap kelompok-kelompok minoritas karena mereka memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan berdampingan dengan kelompok mayoritas.
Kepemimpinan
Pemikiran kebangsaan semacam itu bisa jadi bukan hanya khas Gur Dur. Pemi- kir-pemikir lain juga pernah mengemukakan hal serupa. Yang membedakan Gus Dur dengan yang lain adalah berkaitan de- ngan pengaruh pemikian-pemikiran itu.
Sejak 1980-an Gus Dur telah menjadi salah satu sosok yang sangat berpengaruh. Kapasitas pribadi yang berbeda dengan yang lain dan trah darah pemimpin besar Islam—Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Sansuri—telah menjadi sumber legitimasi kepemimpinan yang cukup besar bagi dirinya. Bagi orang luar, kepemimpinan itu lebih terlihat pada kemampuannya memformulasikan gagasan-gagasan secara orisinal, jernih, dan mudah terkomunikasikan, serta kemampuannya mengendalikan organisasi besar NU. Bagi warga NU, kepemimpinan itu bersumber pada kepenguasaannya pada tradisi pemikiran Aswaja, trah kiai besar, dan kemampuannya melakukan olah spiritual.
Tidak seperti kebanyakan pemimpin modern yang semata-mata mengedepankan pemikiran kasatmata semata. Gus Dur sangat dekat dengan olah spiritual. Gus Dur sangat rajin mengunjungi makam- makam, khususnya makam-makam leluhur dan tokoh-tokoh spiritual. Bahkan, konon, Gus Dur biasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh yang telah ”berpulang” itu. Kemampuan semacam itu membuat Gus Dur bukan pemimpin biasa. Implikasinya, apa yang digagas dan dikerjakan juga bukan hal yang biasa saja. Pemikiran tentang multikulturalisme, misalnya, tidak hanya telah menjadi salah satu pegangan penting bagi warga NU di dalam berbangsa dan bernegara. Komunitas di luar NU juga telah menjadikannya sebagai rujukan.
”Quo vadis”?
Orang yang memiliki pemikiran seperti Gus Dur saat ini sebenarnya cukup banyak. Namun, orang yang memiliki pengaruh besar, memiliki akar tradisional dan modern sekaligus seperti halnya Gus Dur jelas tidak mudah muncul lagi.
Dalam situasi semacam itu, tidaklah mengherankan kalau muncul pertanyaan tentang masa depan NU dan ke-Indonesiaan. Sosok Gus Dur telah memungkin- kan NU menjalin komunikasi yang lebih luas dan intens dengan komunitas-komu- nitas non-NU. Sosok Gus Dur pula telah memungkinkan nilai-nilai multikulturalisme terpahami dan terpraktikkan, khususnya di kalangan komunitas Muslim.
Gus Dur memang telah tiada. Namun, pemikiran-pemikirannya tidak akan mudah sirna mengikutinya terutama di lingkungan NU karena di antara sumber pemikiran Gus Dur itu berasal dari tradisi pesantren. Selain itu, saat ini telah muncul pemikir-pemikir muda NU yang cukup pa- ham apa yang telah dilakukan Gus Dur.
Saat ini, masalah kebangsaan di Indo- nesia masih menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di antara kelompok-kelompok masyarakat, baik yang mayoritas maupun minoritas, telah muncul pemikiran- pemikiran dan aksi yang tidak saling menyapa. Dalam situasi semacam itu, tidaklah salah apabila saat ini kita kembali pada akar berdirinya negara-bangsa Indonesia, yang dibangun di atas perbedaan-perbedaan untuk kebersamaan. Pemikiran Gus Dur layak menjadi salah satu rujukan penting.
* Kacung Marijan, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, Surabaya
Sumber: Kompas, Rabu, 6 Januari 2010
No comments:
Post a Comment