Jakarta, Kompas - Penghargaan terhadap pluralisme di negeri ini akan tetap lestari dan berlanjut. Bahkan, terus menjadi panutan komponen bangsa pascawafatnya tokoh pluralisme, yang juga Presiden Republik Indonesia (1999-2001) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Menurut peneliti senior Center for Strategic and International Studies, J Kristiadi, di Jakarta, Minggu (3/1), sebagai sebuah nilai, pluralisme ada sejak awal bangsa dan negara ini ada. Masyarakat sudah lama mengenal keberagaman dan paham bagaimana hidup di dalamnya.
”Kita sudah sejak awal hidup di lingkungan dengan beragam suku, agama, dan bahasa. Rakyat Indonesia paham apa itu pluralisme. Bangsa ini bukannya tak punya modal (pluralisme). Sejak dahulu kita punya yang namanya Bhinneka Tunggal Ika atau Sumpah Pemuda,” ujar Kristiadi lagi.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi sebelumnya juga mengakui, wafatnya Gus Dur merupakan kehilangan besar bagi warga NU dan bangsa Indonesia. ”Dalam dekade terakhir ini, belum ada gantinya orang yang sekelas Gus Dur,” katanya.
Bangsa Indonesia, papar Hasyim, kehilangan dua hal besar dan mahal dengan kepergian Gus Dur, yaitu demokrasi dan humanisme. Humanisme Gus Dur benar-benar berangkat dari nilai Islam yang paling dalam, tetapi melintasi agama, etnis, teritorial, dan negara. ”Perjuangan Gus Dur itu akan dilanjutkan PBNU dengan gerakan Islam rahmatan lil alamin,” katanya.
Mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif juga mengakui, cara berpikir Gus Dur sangat maju. ”Ke depan kita harus berupaya meneruskan dan mengembangkan ide bagusnya, seperti demokrasi dan pluralisme. Tanpa semua itu, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika tak ada artinya,” ujarnya.
Syafii juga sangat yakin ide Gus Dur tentang pluralisme dan demokrasi tak akan pernah pupus sebab banyak murid, pendukung, dan penerus Gus Dur yang akan melanjutkan semua ide itu.
Bahkan, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (Makin) Boen Bio Surabaya, Jawa Timur, Gatot Seger Santoso menilai, Gus Dur layak memperoleh hadiah Nobel sebab telah menyemai bibit kemanusiaan, perdamaian, dan pluralisme di Indonesia. Gus Dur yang memesankan agar menghadapi fundamentalisme tidak dengan kekerasan, tetapi dengan dialog. ”Gus Dur menyemai ulang bibit pluralisme karena NU sejak berdiri berpaham moderat. NU dikenal sebagai Islam yang moderat di dunia. Gus Dur-Gus Dur muda yang mencintai perdamaian juga mulai dilahirkan,” tutur Gatot lagi.
Pemerintah yang merusak
Sepanjang sejarahnya, ujar Kristiadi, pemerintah justru yang merusak nilai pluralisme yang sejak lama dianut bangsa ini. Dengan mengatasnamakan persatuan dan kesatuan, pluralisme ditindas untuk kepentingan politik. ”Dengan segala macam kekuatannya, seperti karisma dan pengikutnya, Gus Dur seolah merebut kembali pluralisme itu. Secara monumental, saat menjabat presiden, Gus Dur sangat kuat mendorong pluralisme menjadi kesadaran kolektif bangsa ini lagi,” kata Kristiadi.
Puralisme sebagai bentuk kesadaran kolektif bangsa, menurut Kristiadi, harus selalu dipelihara. Dia yakin hal itu bisa dilakukan mengingat sekarang negara sudah tidak lagi mendominasi seluruh sektor kehidupan rakyat seperti pada masa lalu.
Kekuatan Gus Dur yang mampu mendobrak dominasi persatuan dan kesatuan semu juga berdampak baik, menjadikan tak ada lagi satu kekuatan tertentu yang mampu mendominasi demokrasi di Indonesia. Tidak juga oleh pemerintah.
”Saya yakin, tak ada alasan lagi untuk khawatir pluralisme bakal terancam (pascawafatnya Gus Dur). Apalagi praktik politik sekarang tidak lagi memungkinkan suatu kekuasaan menjadi eksklusif. Tambah lagi ada kontrol media massa,” ujar Kristiadi.
Saat dihubungi secara terpisah, Minggu di Jakarta, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, juga mengaku yakin pluralisme tetap ada dan dipertahankan oleh sebagian besar rakyat di Indonesia.
”Jadi, tak perlu khawatir. Ibarat pepatah, ”Esa Hilang Dua Terbilang”. Dalam hati harus terus mengakui, kita semua memiliki satu nusa dan satu bangsa, tetapi tetap harus diakui Bhinneka Tunggal Ika itu ada dan menjadi bagian tak terpisahkan bangsa ini pula,” ujar Ikrar.
Dengan demikian, kata Ikrar, jangan pernah kepergian Gus Dur membuat bangsa ini menjadi pesimistis sebab hal itu hanya akan menjadikan bangsa ini berisiko terpecah belah. Dia berharap penerus ide pluralisme Gus Dur tetap melanjutkan hal itu.
”Terutama pada NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar di negeri ini. Untuk NU, saya yakin di lingkungan keluarga Gus Dur ada banyak yang mampu mewarisi pemikirannya,” papar Ikrar.
Apakah kepergian Gus Dur bakal memberikan keleluasaan bagi kelompok radikal untuk ”berulah”, Ikrar meyakini itu tak akan terjadi. Aparat keamanan sudah kian tegas dalam menindak pelaku kekerasan dan kelompok radikal. (dwa/sut/ink/ina/mzw)
Sumber: Kompas, Senin, 4 Januari 2010
No comments:
Post a Comment