-- Ekky Imanjaya
BUKU yang memperlihatkan sosiologi penonton dan bioskop, kajian media, hubungan perfilman dengan tokoh pergerakan, serta usaha ke arah arkeologi media ini memiliki nilai lebih lantaran digunakannya sumber primer, sekunder, selain penulis sendiri yang adalah saksi sejarah.
KOMPAS/ PRIYOMBODO
Ibarat pendekar, Misbach Yusa Biran adalah seorang suhu yang turun gunung hanya dalam waktu tertentu. Segala jurus maut dan senjata rahasia andalan dari ”perguruan” Sinematek dia keluarkan lewat kitabnya, Sejarah Film 1900-1950 (Bikin Film di Jawa).
Misbach dengan lihai menjelaskan bahwa 50 tahun pertama sejarah perfilman kita—masa pra-Perfini—didominasi oleh semangat eskapisme dari pada usaha mengekspresikan gagasan dan perasaan pembuatnya: ”Maka, penonton dibawa untuk memimpikan tentang hidup yang indah. Mereka sejenak bisa melupakan hidup yang kumuh di gang becek” (hal 6). Demikian pula terkait dengan urusan sensor menanggapi kebijakan sensor yang dikeluarkan pada tahun 1932, ia berpendapat ”pribumi tak punya cukup imajinasi untuk menilai bahwa apa yang dilihatnya itu bukanlah kejadian yang sebenarnya” (hal 41). Lebih jauh lagi mengenai sosiologi penonton ini, Misbach membuat satu subbab khusus bertajuk ”Apa sih Maunya Penonton? (hal 129-131).
Arkeologi media
Arkeologi media merupakan istilah yang dipopulerkan Thomas Elsaesser, pendiri kajian media Universitas Amsterdam. Tentu, istilah ”arkeologi” ini mengacu pada Foucault. Istilah ini juga identik dengan sejarah film baru (new film history) dan sebelumnya kurang dianggap oleh arus utama, bahkan cenderung mempertanyakan grand narrative seperti ”betulkah Lumiere bersaudara yang pertama kali menemukan sinema?” atau ”Lumiere itu bapak film fiksi atau bapak film dokumenter atau keduanya?”
Kajian arkeologi media dan penonton semacam ini sangat penting. Terlebih dikaitkan konteks saat itu karena para pembuat film ingin mencari untung dengan mengikuti selera penonton terhadap adegan laga, romantis, penuh nyanyian, tanpa menggodok cerita masak-masak. Kalau kita telusuri 10 tahun terakhir, yang disebut-sebut sebagai masa kebangkitan, niscaya ditemukan hanya segelintir film yang tidak sekadar berisi impian atau semangat jualan.
Saya menilai, buku ini adalah upaya arkeologi media Indonesia. Misbach dengan tegas menyatakan bahwa film pra-1949 tidak bisa dianggap sebagai film Indonesia karena tidak didasari kesadaran nasional. ”Semua film pada masa itu dibuat hanya untuk mencari uang dengan misi sekadar memberikan hiburan. Materi cerita diambil dari film Barat maupun China. Maka tontonan tak memperlihatkan refleksi pribadi bangsa Indonesia” (hal 45). Selain itu, dengan lugas Misbach menyatakan bahwa periode 1900-1950 adalah ”Sejarah Pembuatan Film di Indonesia”, sedangkan pasca-Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950) sebagai ”sejarah film Indonesia” (hal 45).
Apakah sebelum Usmar Ismail tak ada upaya membuat film yang keluar dari pakem Terang Boelan alias sekadar cari untung dengan menjual fantasi? Selama ini, yang ditonjolkan adalah idealisme etnografis ala Pareh, yang diotaki oleh orang-orang yang sama dengan yang membuat Terang Boelan. Namun, ada hal yang jarang diungkap, yaitu Albert Balink. Warga Belanda pembuat film itu tidak paham tentang pembuatan film, tetapi merasa tidak ada yang sanggup menjelmakan harapannya. Maka, terjadi hal baru dalam sistem produksi di Indonesia untuk menghasilkan film hebat. Perlu dua tahun untuk mencari pemain dan lokasi yang cocok, hingga menghabiskan persediaan uang pribadi keluarga Wong (hal 157). Akhirnya, ditemukan Rd Mochtar, yang kelak menjadi bintang film pertama di Indonesia. Bahkan, untuk mutu artistik, ia mengundang Mannus Franken, kelak menjadi salah satu Bapak Dokumenter Belanda (hal 159).
Tahun 1941 kaum pelajar yang awalnya beranggapan bahwa film lokal sebagai ”hiburan murahan hasil tiruan” mulai menganggap film itu penting bagi bangsa. Armijn Pane menyatakan bahwa yang melemahkan film Indonesia adalah terlalu mengikuti selera publik, yaitu kelas bawah, hingga memengaruhi mutu. Ki Hajar Dewantara menganjurkan film sebagai ”media pendidikan” (hal 286) dan seniman film harus menyadari bahwa mereka adalah seniman, bukan orang sembarangan, serta tidak sekadar menyenangkan penonton tapi juga menuntun publik ke arah perbaikan, kemuliaan, dan kebahagiaan (hal 285).
Menyingkap sejarah
Semangat membuat film idealis tak berawal dari Darah dan Doa. Film itu adalah prototipenya. Melacak jejak intelektualisme, idealisme, auteurship (atau movement dalam istilah Salim Said) tidak otomatis menghilangkan kebesaran nama Usmar Ismail. Dengan tangkas, Misbach menjelaskan istilah penggemar dalam Sandiwara Pengggemar Maya yang Usmar dirikan adalah padanan kata bahasa Belanda amateur yang haram digunakan di masa Jepang. Ini menunjukkan mereka bukan mencari makan dari sandiwara, tapi melakukan kegiatan yang tujuan utamanya adalah berkesenian (hal 330). Artinya, sejak awal, sebelum aktif di film, Usmar sudah idealis dalam berkarya dan otomatis memutuskan hubungan dengan sistem produksi sebelumnya yang didominasi orang panggung dan penuh dengan dunia jin dan jiplakan.
Mari kita lihat kajian sang ”arkeolog” lainnya. Misal, betulkah Loetoeng Kasaroeng adalah film cerita panjang Indonesia pertama? Ternyata itu tergantung dari kapan film didistribusikan. Di Surabaya, Eulis Atjih dianggap film pertama (hal 73). Misbach tidak hanya bicara isi atau memaknai film, tetapi juga bioskop dan aparatus sinemanya, yaitu peralatan dan kelengkapan yang membentuk dunia bioskop mulai dari proyektor, layar, kamera, warna, suara, hingga penonton. Ihwal arkeologi warna, disebutkan pada film Njai Siti atau De Stem des Bloeds (Soeara Darah, 1930), ada beberapa adegan yang dianggap penting hanya diberi satu warna saja (hal 122) sehingga menimbulkan diskusi seru. Bagaimana dengan arkeologi proyektor dan suara? Ternyata baru ada lima bioskop dengan proyektor bersuara pada 1930-an, yaitu Globe (Pasar Baru), Capitol (Pintu Air), Decca Park (dekat Tugu Monas), dan Kramat (Pasar Senin). Soal merchandise, ada penerbitan buku roman ukuran saku yang dipelopori Andjar Asmara, misalnya Gagak Item, Siti Akbari, dan Soerga Ka Toedjoe (hal 212). Juga tentang perbedaan harga tiket atau pemisahan tempat duduk berdasarkan ras dan jenis kelamin (hal 28, 349), atau kiprah etnis Eropa, China, dan Arab dalam bisnis perbioskopan (hal 31-32).
Hal menarik lainnya adalah ulasan Fifi Young yang hadir sebagai antitesis dari Roekiah. Selama ini, jika membahas bintang film masa awal, hanya Roekiah yang disebut. Tetapi, buku ini menyatakan selalu ada the big five dan ada pembahasan khusus membandingkan Roekiah yang cantik alami timur dan tanpa sensasi dengan Fifi yang modern, penuh gaya, dan eksotik (hal 254).
Tak pelak, buku ini adalah harta karun! Lihat saja majalah, koran, poster film, still photo yang dipakai, begitu kaya raya. Tengok pula wawancara langsung dengan Tan Tjeng Bok, The Teng Chun, Tan Tjoei Hock, TD Tio, Bachtiar Effendi, hingga Asrul Sani, dan Djajakusuma. Lihat juga berbagai foto, kliping ulasan media, hingga promosi film lama yang menghiasi buku ini serta surat-surat klasik di apendiks.
* Ekky Imanjaya, Redaktur Rumahfilm.org
Sumber: Kompas, Minggu, 3 Januari 2010
No comments:
Post a Comment