Pekanbaru, Kompas - Budayawan Riau, Prof Yusmar Yusuf, mengungkapkan, tidak masanya lagi sebuah daerah banyak mengklaim sesuatu yang bersifat abstrak yang nyaris mustahil dapat diwujudkan. Sebuah negeri yang mengklaim sebagai negeri bermarwah sesungguhnya adalah negeri yang tidak bermarwah.
”Negeri yang mengklaim keberhasilan adalah negeri yang tidak berhasil. Sesungguhnya negeri yang banyak mengklaim adalah negeri kalah,” ujar Yusmar dalam diskusi budaya yang diselenggarakan menyambut HUT ke-20 Riau Pos di Pekanbaru, Senin (10/1). Diskusi terkait ”Visi Terwujudnya Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera, Lahir, dan Batin di Asia Tenggara Tahun 2020” yang diproklamirkan pada 2000 atau 10 tahun lalu.
Tentang visi Riau itu, Yusmar menyatakan, program itu semestinya dievaluasi. Idealnya, ketika mengklaim sebagai pusat budaya, Pemerintah Provinsi Riau mampu melakukan riset, mengumpulkan penelitian dan tidak gamang dengan universitas.
”Visi itu menjadi tidak jelas karena Pemprov Riau justru gamang dengan universitas dan lembaga riset. Proses kuratorial gagal, dokumentasi gagal, dan promosi Melayu sesungguhnya tidak ada. Visi ini lahir dari euforia tahun 1998 saat Melayu merasa kehilangan tempat. Namun, kini, kebudayaan dikembangkan berdasarkan SK (surat keputusan), akhirnya menuntut ada pabrik anggaran,” ujar Yusmar.
Kelemahan Riau membesarkan budaya Melayu karena kebudayaan hanya dicerminkan dari kesenian. Padahal, budaya mencakup seluruh aspek kehidupan dari soal ekonomi, pemerintahan, dan seni. Budaya lebih banyak dimodifikasi dan dimanipulasi sehingga menciptakan kecederaan budaya.
”Melayu semestinya ibarat perempatan yang dapat menampung seluruh komponen bangsa dan golongan, menjadi titik tempat berjumpa, rendezvous, ubber alles. Tidak perlu Melayu Riau meniru Malaysia. Jadilah Melayu dengan resam Sumatera atau Riau sendiri,” katanya.
Budayawan Riau lain, Taufik Ikram Jamil, sepakat, visi Riau itu mesti dievaluasi. Visi itu hendaknya tidak dijadikan wacana politik, melainkan aksi nyata. (SAH)
Sumber: Kompas, Selasa, 11 Januari 2011
No comments:
Post a Comment