Sunday, January 23, 2011

Tuntutan Pembakaran Novel Interlok di Malaysia

-- Husnu Abadi

PERJALANAN selama sepekan di Malaysia kali ini (Januari 2011), bagi saya sangatlah beruntung, karena bertepatan dengan adanya peristiwa sastra yang sangat penting. Peristiwa sastra itu adalah kontroversi novel Interlok karya Sastrawan Negara Abdullah Hussain, antara tuntutan pelarangan dan pembelaan yang gigih atas keberadaan novel dimaksud.

Sekumpulan aktivis etnis India, antara lain Parti Progresif Penduduk (PPP), Parti Makkal Sakti dan Persekutuan Pertubuhan India Malaysia (Prima), yang berjumlah sekitar seratus orang, menilai novel Interlok, sangat menyudutkan kaum India, dengan mengisahkan adanya kasta pariah pada halaman 211-220. Untuk itu mereka melakukan bantahan agar novel ini dibatalkan untuk menjadi buku teks komponen sastera bagi mata pelajaran Bahasan Malaysia, Tingkatan Lima bagi para siswa di lembaga pendidikan. Unjuk rasa ini mereka lakukan di depan Dewan Sentosa, Majelis Perbandaran Klang (MPK) dan sekaligus memperlihatkan kemarahannya dengan membakar buku novel dimaksud dan gambar penulisnya, pada 8 Januari (Berita Harian, 15/1).

Timbalan Menteri pada Jabatan Perdana Menteri T. Murugiah, yang juga pengurus BPA (Biro Pengaduan Awam) mengharapkan agar Kementerian Pelajaran dapat menarik balik novel itu (Utusan, 13/1 ). Sedangkan Timbalan Menteri Pelajaran Puad Zarkashi mengatakan bahwa laporan mengenai buku novel itu yang dilanda kontroversi sejak bulan lalu sudah siap dan diserahkan kepada Kabinet (Berita Harian, 12/1 ). Desakan pelarangan novel itu, juga disuarakan oleh Ahli Dewan Undangan Negeri Kota Alam Shah, MM Manoharan dari DAP (Demcratic Action Party).

Bantahan atau tuntutan ini mendapat reaksi yang beragam, baik dari kalangan tokoh politik, akademisi, LSM, organsiasi kepengarangan, dan keadaan ini menyebabkan beberapa diskusi ilmiah dilakukan untuk mengkaji apa yang menjadi tujuan dan misi novel dimaksud.

Reaksi yang berasal dari tokoh-tokoh politik misalnya disampaikan oleh Zambry Abdul Kadir, Menteri Besar Perak, yang menyatakan bahwa jika timbul masalah sensitif yang menyentuh isu etnis, sewajarnya pemimpin bertanggung jawab mengambil pendekatan untuk bersama-sama meredakan isu tersebut dan bukannya hadir pada upacara membakar novel itu. Menteri Besar Selangor, Tan Sri Abdul Khalid Ibrahim mengatakan tidak setuju dengan desakan itu karena menganggap pengharaman novel itu bertentangan perkembangann zaman yang mengamalkan keterbukaan. Presiden MCA, Chua Soi Lek, menyifatkan bahwa novel Interlok tidak mempunyai elemen rasis seperti didakwa pihak tertentu. Sebaliknya, berisi elemen harmoni untuk memupuk perpaduan antara kaum di Negara ini berdasarkan kisah yang berlaku pada tahun 1910, masa kolonial (Utusan, 12/1).

Rais Yatim, Menteri Penerangan, berkomentar bahwa sebuah novel sastra tidak harus dipotong sana-sini segmennya hanya semata-mata untuk menyesuaikan dengan teguran sesaat, sekalipun atas nama sensitif. Perkataan paria memang ada dalam kamus dan budaya masyarakat India, baik di Malaysia, India ataupun Sri Langka. Jadi Interlok harus dinilai dalam konteks olahan Abdullah Hussain. Dia tidak memaki orang, dia cuma mengisahkan satu cebisan sejarah sosial. Prof Lim Swee Tin (Univetsiti Putra Malaysia, UPM) menilai secara keseluruhan novel ini adalah wacana pemikiran besar mengenai pembinaan satu bangsa yang disampaikan oleh penulisnya secara kreatif dan halus. Perbuatan membakar buku tidaklah mencerminkan kesantunan cara hidup rakyat di negara ini dan tidak wajar dibudayakan.

Ketua Gapena, Ismail Hussein, mengatakan kemelut novel yang ditulis pada 40 tahun lalu ini, sudah keluar dari perbincangan asalnya, dan lebih menjurus kepada kepentingan politik. Presiden Persatuan Dinamik India-Malaysia, S Kumaravel, menyatakan bahwa masyarakat India perlu menerima realitas sejarah bahwa memang sistem kasta itu ada. Sistem itu bukan dicipta oleh orang Melayu tetapi masyarakat itu sendiri sejak zaman dulu. Kalaulah tidak mengakui adanya sistem kasta, mengapa dibenarkan adanya organisasi yang mewakili setiap kasta di negeri ini. Dalam hal perkawinan, masyarakat India saat kini pun masih mengamalkan sistem kasta itu.

Sementara itu, 17 LSM seperti Gapena, Pena, Majelis Perundingan Melayu (MPM), Majelis Kebudayaan Negeri Selangor dan Perak, Perkasa Kelang, Ikatan Persuratan Melayu, dan Kebajikan Penulis Negeri Selangor (Kemudi) meminta agar Kementerian Pelajaran untuk tidak tunduk kepada desakan pihak tertentu yang enggan menerima novel Interlok sebagai teks wajib komponen sastra dalam pengajaran Bahasa Melayu untuk pelajar Tingkatan Kelima.

Presiden Ibu Bapa Guru Nasional (PIBGN) Prof Ali Hasan menyatakan novel ini mampu mewujudkan jalinan persepahaman, kerja sama timbal-balik tiga kaum utama yang membawa misi keharmonisan, pepaduan dan nilai sejarah antara kaum di Malaysia. Untuk itu Pementerian Pelajaran (Pendidikan) perlu tegas untuk mempertahankan kredibilitas dan integritas sistem seperti yang telah direncanakan. (Utusan, 12/1).

Secara umum, makin banyak kelompok masyarakat di Malaysia yang menolak pembredelan atas novel Interlok itu. Hal ini juga dicerminkan dalam seminar “Wacana Interlok: Jujur atau Perkauman”, yang diadakan di The New Strait Times Press yang menghadirkan pembicara Dr Fatimah Busu (Berita Harian, 15/1). Dialog novel Interlok juga diadakan oleh Rumah PENA, yang menghadirkan Setia Usaha Agung PENA Zakir Syed Othman.

Di Malaysia, kewenangan untuk melarang suatu buku beredar di tengah-tengah masyarakat, masih berada di tangan pemerintah atau kerajaan. Oleh karena itu, pertimbangan untuk melarang atau tidak melarang selalu berdasarkan pada pertimbangan apakah isi suatu buku betul-betul akan mengakibatkan konflik di kalangan antar kaum/etnis atau tidak. Apakah akan membahayakan kepentingan umum dan kepentingan kerajaan atau tidak. Bilamana kerajaan menilai suatu buku betul-betul dapat menjadi sumber konflik, apalagi bila hal itu dijadikan isu politik, maka bisa jadi kerajaan akan melarangnya.

Tampaknya, sikap masyarakat terhadap novel Interlok ini, semakin banyak yang berpikiran lebih cerdas dan terbuka, apalagi setelah betul-betul membaca novel berlatar belakang sejarah dimaksud. Sejarah mengenai pembentukan sebuah negara, yang berasal dari kaum India, Cina dan kaum Melayu itu sendiri.

Dalam sejarah perbukuan di Malaysia, pembakaran buku pernah terjadi pada tahun 1970, atas buku 13 Mei, Sebelum dan Sesudah, karya Tungku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia. Acara pembakaran buku dilaksanakan di Sudut Pidato, perpustakaan Kampus Universiti Malaya, disebabkan kebencian rakyat pada kerajaan yang terlalu menghamba pada etnis Cina dan tidak melakukan pembelaan pada rakyat Melayu itu sendiri (Hishamuddin Rais: 2011). Namun acara pembakaran buku di kampus itu, tentu saja tidak dilanjutkan dengan pelarangan atas buku dimaksud oleh kerajaan.***

Husnu Abadi
adalah sastrawan Riau, staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR), dan Ketua Badan Kerjasama Kesenian Indonesia (BKKI) Riau. Menulis sajak dan genre sastra lainnya. E-mail: mhdhusnu@yahoo.com.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 Januari 2010

No comments: