Sunday, January 16, 2011

Menggugat Ketakhadiran Negara

-- Putu Fajar Arcana

KETIKA pemerintah meletakkan dirinya sebagai penguasa absolut, maka kritik selalu subversif. Bahkan sebuah museum perjuangan bangsa dihancurkan hanya karena orang-orang ”kembali” memuja para pahlawan negara. Ke manakah negara saat rakyat membutuhkannya? Apakah sedang reses?

Pe n t a s "m o n o p l ay" oleh Dapoer Seni Jogja bertajuk "Negaraku Sedang Demam" berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (13/1). Aktor kawakan Joko Kamto memerankan tokoh warga. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Pertanyaan tentang kehadiran negara untuk memberikan perlindungan terhadap rakyat menjadi simpul yang menggerakkan sebelas adegan dalam drama monoplay ”Negaraku Sedang Demam”, Kamis (13/1) di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Drama yang dipentaskan atas kerja sama Dapoer Seni Jogja dan Komunitas Budaya Guntur 49 Jakarta ini dimainkan oleh lima aktor yang masing-masing melakukan monolog. Monolog- monolog para pemain itu oleh penulis naskah Indra Tranggono disatukan dalam alur dan tema cerita. Tokoh bernama Warga (Joko Kamto) menjadi tokoh yang memainkan peran penting di dalam membangun keutuhan garapan ini.

Lakon yang disutradarai Isti Nugroho ini sejak masih berupa naskah sudah memperlihatkan kecenderungan melakukan gugatan terhadap negara, yang nyaris selalu absen menemani rakyat di masa-masa sulit. Judul ”Negaraku Sedang Demam” jelas menunjukkan bahwa negara, di mana setting cerita ini berlangsung, sedang sakit, dan karena itu selalu absen serta tidak mampu melindungi rakyatnya.

Sebagai penulis naskah, Indra Tranggono secara serius melakukan dialog dengan Isti Nugroho, seorang aktivis pada tahun 1980-an, yang menjadi inspirasi dari kisah ini. Pengalaman Isti disiksa dari satu institusi keamanan ke institusi keamanan lain pada masa Orde Baru dan dibui selama delapan tahun dijadikan sebagai kasus subversif. Bahkan, dalam metafora yang penuh bara, Warga menceritakan, konon saat kepalanya di-scan, otak sebelah kirinya berwarna merah. Dan karena itu ia dituduh subversif kiri.

Indra juga menceritakan, ia dan Isti sengaja mengunjungi Museum Diponegoro Magelang. Suasana museum serta kondisi benda-benda yang ada di dalamnya bagi seorang penulis yang terlibat amat penting untuk kemudian membangun kisah. Tanda-tanda seperti lekukan bekas tangan Pangeran Diponegoro pada pegangan kursi sangat berarti bagi Indra. ”Saya bahkan bisa merabanya,” katanya.

Museum pada pementasan ini kemudian memang tidak hanya hadir sebagai tempat berlangsungnya sebuah kejadian. Museum menjadi metafor, di mana segala kenangan tentang heroisme bangsa ”dibekukan”. Secara kebetulan, reformasi, yang dikritik habis dalam pentas ini, tidak berhasil melahirkan apa yang disebut sebagai ”merdesa”. ”Merdesa” diperkenalkan oleh Kiai Ancol dalam lingkaran aktivis Guntur 49 dengan makna: patut, layak, pantas, dan sejahtera.

”Sekarang martabat itu diartikan menjadi penguasa, bukan harkat martabat manusia yang biasa menghargai manusia lainnya,” kata Indra Tranggono.

Siasat

Lakon ini terdiri dari permainan-permainan monolog dari beberapa tokoh, seperti Warga, Syahrir (Fajar Suharno), Bung Karno (Novi Budianto), Dastri (Olivia Zalianty), dan Demonstran (Eko Winardi). Di antara tokoh-tokoh itu tidak pernah bertemu dalam satu adegan. Mereka masing-masing mengisahkan tentang diri sendiri, tentang orang-orang di sekitarnya, dan tentang opini-opini mereka mengenai negara. Monolog-monolog dalam adegan kemudian dikonstruksi menjadi satu bangunan kisah tentang kondisi negara pascareformasi, yang tidak bergerak ke arah yang lebih baik.

Permainan para aktor tunggal dalam satu bangunan lakon itulah yang oleh Indra Tranggono disebut sebagai monoplay. ”Ini semacam siasat. Selama ini monolog selalu dimainkan satu orang dari awal sampai akhir. Sangat berat memainkan lakon sendirian selama dua jam. Butet (Kartaredjasa) pernah tumbang,” kata Indra.

Oleh sebab itu, dengan bentuk monoplay, aktor Joko Kamto, yang memainkan tokoh Warga, bisa mengambil napas beberapa saat, sebagaimana terjadi dalam pentas teater pada umumnya. Selain itu, Indra juga paham benar, tidak mudah membangun kelompok teater di mana hambatan ruang, waktu, dan ”kegilaan” menjadi hambatan besar. Lakon ini praktis digarap ”hanya” dalam tempo enam bulan. Para aktor bisa melakukan latihan sendiri di kota masing-masing sebelum kemudian disatukan dalam tempo singkat.

”Di luar itu, saya dan Isti tidak harus memikirkan sebuah produksi yang besar. Saya berangkat dari gagasan, tidak dari memikirkan berapa jumlah dana yang dibutuhkan untuk pentas ini,” kata Indra. Indra dan Isti berharap, semoga bentuk yang mereka sebut monoplay ini, atau apa pun namanya, bisa menjadi alternatif cara berteater di tengah keterbatasan memobilisasi para pemain.

Dalam bentuk ”knock down” seperti ini, memang kemudian dibutuhkan seorang penulis naskah dan aktor-aktor yang kuat. Rasanya pentas ”Negaraku Sedang Demam” yang disutradarai Isti Nugroho ini perlu memaksimalkan kemampuan akting pemain sinetron Olivia Zalianty. Potensi dan popularitas boleh saja berlimpah, tetapi pencapaian membutuhkan dedikasi dan totalitas. Di situlah peran sutradara dibutuhkan. Sebagaimana juga negara ini membutuhkan orang kuat dengan dedikasi kenegarawanan yang kuat pula, bukan?

Sumber: Kompas, Minggu, 16 Januari 2011

No comments: