Sunday, October 21, 2007

Esai: Sastra Sebagai Literatur Sejarah

-- Agus Wibowo*

SASTRA memang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Bukan hanya unsur estetis, filosofis, imajinasi dan emosionalnya yang memberi asupan vitamin batin manusia, tetapi sastra juga mampu menjadi media rekaman sekaligus rujukan literatur yang patut diperhitungkan dalam upaya penelisikan sejarah umat manusia.

Melalui karya sastra, kita bakal melintasi panorama sejarah secara kritis. Bahkan, lantaran kecakapan sang pujangga meruwat fakta sejarah, sastra mampu menyuguhkan sejarah yang menyentil emosi serta menggugah kesadaran penikmatnya akan keunikan pojok sejarah –meminjam istilah Emha Ainun Najib (Cak Nun)– yang kadang tidak kita insafi.

Melalui sastra juga, kita diajak bersedih, gembira, tertawa, membenci, gandrung, dan masygul terhadap pojok sejarah tersebut. Dalam buku The Act of Creation: A Study of the Conscious and Unconscious in Science and Art (1967),Arthur Koestler mencoba mengklasifikasikan berbagai penemuan “besar”umat manusia sepanjang sejarah. Dariklasifikasi Arthurtersebut,kitabakal dibuat takjub. Pasalnya, ilmu sejarah (history) memiliki hubungan yang erat dengan sastra.

Menurut Arthur, ini lantaran sang pujangga sastra sering mencuplik peristiwa sejarah sebagai latar cerita karyanya, atau mediasi menyangkutkan imajinasinya.Dengan demikian, seandainya kita hendak melakukan penelisikan sejarah secara kritis, mestinya juga melibatkan berbagai literatur sastra warisan sebuah zaman. Misalnya dalam karya Aleksander Puskin (1799–1837), yang berjudul Putri Kapten (The Captain’s Daughter). Karya sastra –yang berwujud novel– ini mengisahkan pemberontakan petani Pugachov melawan Peter I.

Meski dibalut dengan pernik-pernik sastrawi, karya ini tetap mengusung tema sikap kritis terhadap autokrasi dan simpatetik terhadap perlawanan. Kisah penyerbuan Napoleon ke kawasan Rusia, juga dipaparkan secara apik dalam novel War and Peace yang ditulis oleh To l s t e oy. Novel ini sedikit banyak merekam momen-momen penting dalam penyerbuan Napoleon tersebut.

Kehebatan revolusi Rusia juga dihadirkan secara utuh dalam novel Dr Zhivagokarya Boris Pasternak. Kita bakal menangkap pahit getirnya perjuangan rakyat Filipina melawan rezim Ferdinan Marcos pada awal 1980- an, melalui puisi-puisi karya penyair Detrich.

Misalnya terlukis dari salah satu penggalan puisi ini: //Aku tidak takut akan hantu /tidak pula meratapi pembunuhan keji/tanpa tempat istirahat yang layak // Tidak jadi soal kalau anak-anakku/istriku, kawankawanku, dan kerabatku /tidak melihat aku menghembuskan nafas terakhir /sebab mereka tau bentuk kematian/ rencana jahat orang-orang berkuasa/yang menunggu mereka yang berjuang/agar keadilan illahi merajai di negeri ini// (Iskandar Norman,2004).

Melalui mediasi puisi pula, penyair Detrich menyuarakan semangat emansipasi wanita (kesetaraan gender) di Filipina. Begitu hebatnya sentilan puisi-puisi yang disuguhkan Detrich, hingga mampu memicu perjuangan besarbesaran menuntut kesetaraan gender di negara tersebut. Di Indonesia, kita juga bakal menemukan karya-karya sastra sejarah serupa.

Misalnya, puisi karya pujangga Ronggowarsita (1802-1874) yang berjudul Serat Kalatida. Puisi tersebut mengisahkan masa komersialisasi tanah-tanah di Keraton Surakarta dan Mangkunegaran, yang anehnya dilakukan oleh kerabat keraton sendiri. Selain itu,Ronggowarsita dalam Serat Kalatida juga mengajukan protes sosial terhadap masuknya kapitalisme yang menyergap kraton Kejawen (Surakarta, Mangkunegaran dan Yogyakarta).

Pada era kolonial Belanda,kita dibuat takjub akan kritik sosial sekaligus politik yang dibawa novel Max Havelaar karya Multatuli (1960). Novel ini mengisahkan bagaimana penderitaan yang dialami rakyat Indonesia, lantaran kebijakan tanam-paksa yang dikeluarkan. Dalam novel tersebut, rakyat kita digambarkan hidup enggan mati tak mau. Kemiskinan terjadi di mana-mana.

Akibatnya, timbul protes di kalangan pribumi maupun dari pegawai Belanda sendiri menuntut upaya balas budi (politik etis). Novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa k a r y a Pramudya Ananta Toer, merupakan sastra sejarah yang sangat lengkap.Dalam novel tersebut, Pram berhasil menyuguhkan kurun sejarah, hubungan antarmanusianya, perubahan-perubahan sosial pada peralihan abad 20.Demikian halnya novel-novel karya Abdoel Moeis, Surapati dan Robert Anak Surapati, atau Tjoet Nja Din –buku yang diterjemahkannya dari bahasa Belanda karangan M.H. Szikely-Lolufs.

Kadar Keabsahan

Kerja seorang sejarawan sangat rumit. Ia mesti bergelut dengan “seabrek” kaidah metode ilmiah guna “menceritakan” sejarah yang telah direkonstruksinya. Sejarawan harus mampu menyuguhkan tulisan sejarah sebagaimana adanya. Ia juga harus bersandar pada prosedur tertentu yang mesti tertib dalam penempatan ruang dan waktu, konsisten dengan unsur-unsur lain seperti topografi dan kronologi,serta harus menyajikan argumen berdasarkan bukti-bukti (Kuntowijoyo,1999:127).

Selain itu,untuk mendapatkan tulisan sejarah yang valid, sejarawan harus mengolah bahan baku yang berupa peristiwa sejarah melalui proses yang cermat dan teliti. Selanjutnya, ia harus melakukan kritik, interpretasi dan sintesis sehingga ia sanggup menyuguhkan rekonstruksi sejarah yang benar-benar orisinal. Bahkan, seorang sejarawan juga dituntut mengemukakan apa yang mesti terjadi, dan merangkai peristiwa sejarah sebagai satu kesatuan yang utuh.

Bagi sejarawan, fakta sejarah merupakan mustika berharga yang mesti diruwatnya secara arif, meminjam istilah psikolog William James (1965) merupakan “irreducible and stubborn fact”. Tentunya, beda dengan cara sastrawan menceritakan peristiwa sejarah dalam karyanya. Ia bebas dan leluasa, lantaran tidak ada pembatas secara baku.Ia tidak harus tunduk pada metode i l m i a h — yang cenderung kaku tersebut, maupun metode keilmuan lainnya.

Meminjam istilah Henry James (1951), cukuplah bagi sejarah dalam bentuk sastra bila berhasil menyuguhkan hal-hal sejarah dalam bentuk gambaran yang koherensi. Selain itu, ada beberapa keuntungan bagi sastrawan dalam merekonstruksikan peristiwa sejarah melalui karya sastra, di antaranya: pertama, peristiwa sejarah dapat menjadi bahan baku tanpa perlu pertanggungjawaban terlebih dahulu.

Kedua,peristiwanya,situasi,kejadian, cukup diambil dari khazanah accepted history-nya bagi hal-hal masa lampau, atau dari common sense bagi peristiwa kontemporer. Prosedur kritik, interpretasi dan sintesis tidak diperlukan sastra sebagaimana sejarawan. Ketiga, jika tulisan sejarah keterbatasannya terletak pada objeknya yang mengaktual di masa lampau dan menutup diri di balik waktu.

Sebaliknya dalam sastra, objek justru terletak dalam jangkauan waktu, praktis tanpa pembatasan-pembatasan intelektual dan material. Pelaku dan kejadian dalam sastra bisa saja semuanya imajiner, sementara penulis hanya mempertanggungjawabkan pekerjaan cerita. Pertanggungjawaban kebebasan pengarang sastra sejarah semata-mata hanya terletak pada kejujurannya.

Meski sastra sejarah tetap sebagai sebuah karya imajiner, tidak lantas kita meragukan kadar kebenaran atau validitas sejarahnya. Untuk mengukur kadar validitas sejarah sebuah karya sastra, menurut Kuntowijoyo ada beberapa unsur yang mesti dimiliki sebuah karya sastra, di antaranya: pertama, unsur historical authenticy (keaslian sejarah).

Unsur ini merupakan kualitas dari kehidupan batin, moralitas, heroisme, kemampuan untuk berkorban, keteguhan hati,dan sebagainya,atau yang khas dari suatu zaman dalam sebuah karya sastra. Kedua, unsur historical faithfulness (kesetiaan sejarah). Unsur ini merupakan keharusan-keharusan sejarah yang didasarkan pada basis sosial ekonomi rakyat yang sesungguhnya.

Misalnya kisah tragedi Roro Mendut.Kisah tersebut menggambarkan tragedi akibat “keharusan sejarah” dalam sistem birokrasi patrimonial Mataram, sistem alokasi kekuasaan d a n perang tradisional. Dan ketiga, unsur local colour atau diskripsi yang setia tentang keadaan-keadaan fisik,tata cara, peralatan dan sebagainya yang membantu memudahkan penghayatan sejarah.

Meski sejarawan J Huizinga (1959) sempat berkomentar miring bahwa sastra sejarah tetap tidak mampu menggantikan tulisan sejarah, tetapi setidaknya nilainilai kebenaran yang diusung karya sastra tetap merupakan keunggulan tersendiri yang independen, tanpa bakalan terpengaruh pada hegemoni penguasa.

Sudah saatnya ada langkah kreatif dari para sejarawan dan sastrawan untuk berkolaborasi, dan saling bahu membahu dalam menyuguhkan sejarah yang sejati. Melalui sejarah yang autentik, generasi muda bisa belajar guna menata peradaban dan bangsa ini menjadi jauh lebih baik.(*)

* Agus Wibowo, Esais,Pegiat Komunitas Aksara Yogyakarta (KAY)

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 21 Oktober 2007

No comments: