-- Binhad Nurrohmat*
SIANG itu telepon genggam saya menerima sebuah pesan pendek dari penyair Bandung, Ahda Imran, yang mengabarkan kematian penyair Toto Sudarto Bachtiar. Sekian menit kemudian telepon genggam saya beruntun menerima pesan pendek serupa dari penyair Cirebon, Ahmad Syubbanuddin Alwy dan dari penyair "hujan" Sapardi Djoko Damono. Diam-diam, saya merasakan ada suatu keanehan menjalari saya ketika menerima semua pesan pendek ini, sebab sebelum kematian penyair ini, para pengirim pesan pendek ini sama sekali tak pernah mengabarkan apa pun tentang kehidupan sang mendiang. Apakah kematian lebih penting dan bermakna ketimbang kehidupan di dunia ini? Kini, Toto Sudarto Bachtiar sudah tahu jawabannya.
Toto Sudarto Bachtiar, lahir di Cirebon Jawa Barat, 12 Oktober 1929 dan wafat di Banjar Ciamis, 9 Oktober 2007. Toto bukan kenalan ataupun teman saya, saya juga merasa tak pernah bertemu muka dengan penyair "Pahlawan Tak Dikenal" ini, tapi saya merasa mengenalnya dekat dan akrab. Karib Toto, penyair-dramawan Rendra, pernah bercerita sedikit pada saya tentang kehidupan Toto dalam pergaulan seniman Pasar Senen pada 1950-an. Konon seperti "tradisi" kebanyakan seniman, Toto doyan kelayapan malam hari bersama segerombol seniman, dan Toto benci bangun tidur pagi hari. Uniknya, Toto pernah hidup dari imbalan sebagai pelatih olah raga tenis. Barangkali, Toto satu-satunya penyair yang sekaligus pelatih olah raga tenis.
Kabar kematian itu membuat saya dirundung oleh bukan kesedihan, tapi menyebabkan saya didera rasa kehilangan sekaligus kedatangan suatu perasaan yang kian mengintenskan apa yang melantari saya bisa merasa mengenal penyair ini dekat dan akrab, yaitu p-u-i-s-i. Kabar kematian itu membuat saya makin merasa mengenal penyair ini serta kian menghidupkan puisinya dalam diri saya. Saya bukan satu-satunya manusia dan penyair yang mengalami perasaan semacam ini. Sifat puisi yang cenderung pribadi dan subjektif membuat puisi tak bisa berjarak, bahkan kerap diidentikkan, dengan penyairnya. Toto dikenal lantaran sejumlah puisinya. Barangkali, tanpa puisi, Toto menjadi manusia yang tak pernah saya kenal sama sekali.
Puisi "Pahlawan Tak Dikenal" merupakan "KTP" Toto sebagai penyair. Puisi ini legendaris diajarkan di kelas sastra dan jadi langganan sebagai bahan deklamasi di banyak acara atau peringatan rutin di tanah air. Puisi ini begitu teduh dan tajam menyoal kematian pejuang mati muda yang tak dikenal identitasnya. Saya kerap terkenang-kenang gerak tangan, sorot mata, dan tata-suara deklamator atau pembaca puisi yang membawakan baris-baris awal puisi Toto: "Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring/ Tetapi bukan tidur, sayang/ Sebuah lubang peluru bundar di dadanya/ Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang."
Toto sudah pergi, tapi puisinya masih tinggal di bumi dan mengilhami banyak orang. Penyair Goenawan Mohamad pernah menulis sebuah esai yang mengesankan yang judulnya dijumput dari baris puisi Toto: "H.B. Jassin: Di manakah berakhirnya Mata Seorang Penyair". Saya pun merasa kabar kematian penyair ini justru kian menghidupkannya dalam diri saya dan membuat saya bisa tergerak menulis catatan ini dengan perasaan yang senyap.
Saya berbelasungkawa dan terhinggapi hening yang mendalam. Kabar kematian itu membangkitkan sesuatu dalam diri saya, sehingga saya kian merasa dekat dan akrab pada penyair ini setelah dia melewati masa "napas lepas bebas menunggu waktu mengangkut maut" seperti baris puisinya "Ibu Kota Senja" itu. Perasaan dekat dan akrab saya pada penyair ini memang impersonal, dan saya tahu (kemungkinan besar) Toto tak kenal saya secara personal dan impersonal, tapi saya tak bersedih karena ini dan sungguh tak mengurangi makna. Saya tak ingin berlebihan, saya bersyukur dan bangga bisa kenal Toto melalui cara saya sendiri.
Orang Indonesia yang pernah bersekolah lanjutan tingkat pertama dan semasa dengan saya, pasti kenal nama penyair ini dan juga puisinya. Nama penyair ini wajib diketahui anak-anak sekolahan. Para penyair semasanya dan sesudahnya mengagumi sejumlah puisinya. Saya juga kenal karya terjemahan penyair ini, antara lain Pelacur (1954) karya Jean Paul Sartre maupun Pertempuran Penghabisan (1976) karya Ernest Hemingway. Tentu saja saya tak bakal lupa dua buah buku kumpulan puisinya Suara (1956) dan Etsa (1958).
Saya gemar puisi penyair ini yang menceritakan gadis kecil peminta-minta dengan kaleng kecilnya yang digambarkan menyimpan jiwa murni dan senyumnya "terlalu kekal untuk kenal duka" dan gadis ini Tengadah padaku, pada bulan merah jambu/ Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa. Gadis kecil ini jauh dari angan gemerlap kota tapi dia jadi tanda yang begitu "penting", sehingga Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil/ Bulan di atas itu tak ada yang punya/ Dan kotaku, ah kotaku/ Hidupnya tak lagi punya tanda.
Toto merupakan lirikus yang kental dan jernih, kepekaan dan kesadaran personal dan sosialnya kuat dan tajam, tanpa menjerumuskan puisinya ke dalam jurang gelap atau menjadikannya serupa slogan yang sekerontang pidato. Puisi Toto membangun dan menempatkan posisinya sebagai puisi yang baik dan terasa wajar, waktu pun telah mengujinya, dan lirik Toto tak juga terlupakan, bahkan setelah ajal merenggutnya.
Ada puisi Toto yang menggambarkan ironi kehidupan kota besar yang melahirkan kemelaratan di kanan-kirinya dengan cara yang sederhana, lugas namun begitu lembut mengendap, misalnya puisi "Ibu Kota Senja": Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi/ Di sungai kesayangan, o, kota terkasih/ Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi/ Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan// Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja/ Mengurai dan layung-layung membara di langit barat daya/ O, kota kekasih/ Tekankan aku pada pusat hatimu/ Di tengah-tengah kesibukan dan penderitaanmu.
Toto telah mencurahi makna pada hidupnya di bumi fana ini dengan puisi. Puisi Toto merupakan tanda keberadaannya di planet ini. Puisi Toto menjadi lebih lama bertahan ketimbang durasi hidup penyair ini. Kematian Toto tak bisa menguburkan buah kepenyairannya. Kini, Toto sudah pergi mendahului para pembaca sekalian, dia terbaring tanpa lubang peluru bundar di dadanya, dan bukan sebagai penyair yang tak dikenal.
* Binhad Nurrohmat, Penyair
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 20 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment