-- Maruli Tobing
Kemiskinan adalah bencana. Ia bukan sekadar persoalan memenuhi kebutuhan pangan, tetapi meniadakan harapan dan cita-cita manusia. Maka, amarah dan dendam kerap muncul ketika orang berjalan terbongkok-bongkok dan ringsek memikul beban kemiskinan.
Cerpenis Hamsad Rangkuti (64) merasakan bencana itu sebagai hal nyata saat ayahnya, Muhammad Saleh Rangkuty, mengatakan tidak punya uang untuk membeli buku. Hamsad yang baru duduk di bangku kelas I SMA di Tanjungbalai, Sumatera Utara, pada awal 1960, akhirnya harus berhenti sekolah.
Ia kembali ke kehidupan yang dia lakoni selama ini, yakni menemani ayahnya sebagai penjaga malam di pasar kota kecil, Kisaran, sekitar 150 kilometer dari Medan, Sumut. "Setiap kali saya berpapasan dengan pelajar SMA yang berangkat atau pulang sekolah, muncul dalam diri saya gejolak amarah dan dendam kepada Ayah," ujar Hamsad.
Lahir 7 Mei 1943 di Medan, orangtuanya memberi nama Hasyim Rangkuti. Ketika masih balita, orangtuanya memboyong Hasyim pindah ke Kisaran, kota kecil yang dikelilingi perkebunan karet dan sawit. Dalam perjalanan waktu, Hasyim mengubah namanya menjadi Hamsad Rangkuti.
Hamsad tidak menjelaskan apakah kepindahan itu terkait dengan situasi Kota Medan menjelang usainya Perang Pasifik, yang disusul perang Medan Area dan pergolakan politik di dalam negeri. Dalam perang Medan Area (1946) melawan pasukan kolonial Belanda, barisan laskar menerapkan taktik bumi hangus dan mengungsikan penduduk secara besar-besaran.
Terkait atau tidak dengan perang kemerdekaan, orangtua Hamsad adalah wong cilik dalam arti sesungguhnya. Tidak mempunyai rumah tempat berteduh, kecuali menumpang di rumah saudara secara berpindah-pindah.
Ayahnya yang meninggal pada usia 88 tahun, hampir sepanjang hidupnya bekerja sebagai penjaga malam dan pemikul air di sebuah pasar di Kisaran. Ibunya menjual buah-buahan pada malam hari di depan bioskop. Dari penghasilan inilah keenam anaknya—tiga pria dan tiga wanita—bertahan hidup.
Dalam penulisan sejarah perang kemerdekaan, jenis wong cilik seperti Muhammad Saleh tidak tercatat. Sumbangsihnya dianggap nihil karena dianggap terikat pada perkara besar dan mendesak diselesaikan, yaitu memenuhi kebutuhan pangan. Penulis sejarah lebih gemar bertutur dan berilusi tentang "kepahlawanan" tokoh tertentu.
Lantas, seperti halnya kanker yang cenderung merambat ke bagian tubuh lain, kemiskinan juga demikian. Sejak duduk di bangku SD, Hamsad, anak keempat dari enam bersaudara, tidur di lorong-lorong kios menemani ayahnya.
Sementara ibunya, Djamilah, akhirnya terserang penyakit TBC. Penyakit ini makin ganas dari waktu ke waktu.
Atas keinginan mempertahankan hidup, Djamilah dibawa ke Medan untuk berobat. Itu pun dengan harapan saudara-saudara yang tinggal di kota tersebut akan tergugah membantu biaya.
Saudara adalah saudara dalam arti seluas-luasnya maupun khusus. Tetapi, ketika sampai pada masalah uang, ikatan darah tersebut menjadi semu dan hanya sebatas ucapan. Masing-masing pihak memilih menyembunyikan setiap rupiahnya sebagai tabungan pengaman pada zaman pergolakan politik.
Alhasil, seperti halnya warga miskin lainnya, perawatan di rumah sakit hanyalah impian. Djamilah akhirnya mengembuskan napas di Medan tahun 1954, atau lima tahun setelah pengakuan kedaulatan RI.
Dalam hal ini revolusi sosial di Sumatera Timur, termasuk Kisaran, yang dimotori kelompok kiri (1946), ternyata bukan merevolusionerkan hubungan produksi. Ia hanya sekadar aksi balas dendam dan penjarahan yang memakan banyak korban. Salah satu di antaranya adalah penyair Amir Hamzah, yang dibunuh secara biadab.
Maka di tengah eforia kemerdekaan dan revolusi bersenjata, mereka yang melarat tetap melarat dan terasing. Seperti halnya keluarga Muhammad Saleh.
Sejak sekolah rakyat
Hamsad mulai mengarang cerpen sejak duduk di bangku SD (dahulu SR, sekolah rakyat). Awalnya adalah kegemarannya membaca cerpen di surat kabar terbitan Medan yang ditempelkan di papan pengumuman kantor kawedanan. Lokasinya persis di depan pasar. "Kerap cerpen yang dimuat terjemahan karya Anton Chekhov, Hemingway, atau Maxim Gorky," ujar Hamsad mengenang masa lalu.
Hamsad lalu menjadi tertarik menulis cerpen dengan memanfaatkan mesin ketik di kantor kawedanaan. Tanpa sepengetahuannya, sepupunya mengirim cerpennya ke salah satu surat kabar di Medan dan diterbitkan. Hamsad terperanjat, antara percaya dan tidak.
Sejak dimuatnya Sebuah Lagu di Rambung Tua, tumbuh keyakinan dirinya untuk menjadi penulis. Cerpen tersebut ditulis saat Hamsad di bangku kelas VI SD.
Setelah putus sekolah di SMA akibat kesulitan ekonomi, Hamsad yang memendam amarah dan kecewa kepada ayahnya sempat lama luntang-lantung di pasar Kisaran. Sikapnya mulai berubah setelah bergabung dengan sanggar drama setempat. Mementaskan drama di desa-desa dan gedung bioskop secara musiman, khususnya menjelang 17 Agustus.
Di sini persoalan purba muncul kembali. Ia harus makan agar tetap hidup. Pentas drama sendiri bukanlah bentuk pekerjaan yang dapat memberi nafkah. Alhasil, Hamsad bekerja sebagai pemecah batu. Kelak meningkat setahap lagi sebagai tukang cat atap rumah. Lowongan pekerjaan lain adalah hal mustahil karena saat itu berjubel angkatan muda pengangguran.
Lompatan besar dalam hidupnya terjadi ketika pindah ke Medan atas permintaan neneknya, tahun 1960. Berkat bantuan sepupunya, seorang militer berpangkat kapten TNI AD, Hamsad diterima bekerja sebagai pegawai negeri golongan C2 di Inspektorat Kehakiman Kodam II/Bukit Barisan.
Sejak itulah Hamsad mulai bernapas lega, menyisihkan uang membeli buku dan mesin ketik. Cerpen-cerpennya muncul di surat kabar terbitan Medan. Berbeda dengan cerpenis setempat yang gandrung pada kisah-kisah asmara, Hamsad tampil dengan sosok kritik sosial. Dengan sendirinya dia mengejutkan para seniman mapan di Medan.
Impiannya melihat ibu kota Indonesia terwujud ketika ia disertakan dalam delegasi Kongres Karyawan Pengarang Indonesia di Jakarta (1964). Mantan buruh bangunan ini merasa bersyukur karena dalam kongres tersebut dapat bertemu dengan pengarang-pengarang besar.
Namun, sejak itu pula Hamsad terpikat kehidupan seniman di Jakarta. Sekembalinya di Medan, ia gelisah. Pikirannya tetap melambung ke Jakarta. Hamsad kemudian mencari-cari jalan bagaimana caranya agar dapat ke Jakarta dan menetap di sana.
Tahun berikutnya hal ini terjawab. Ia disisipkan mewakili seniman berbasis NU dalam rombongan Kongres Tani di Jakarta (1965). Sejak itulah Hamsad menetap di Jakarta. Awalnya menumpang di rumah Zulharman Said dan Balai Budaya.
Pencatat naskah
Tidak ada yang abadi di dunia, kecuali kematian. Selama manusia dapat berpikir, meskipun dalam kepahitan, perubahan bukan hal mustahil. Hamsad Rangkuti mengalaminya ketika Arief Budiman menawarkan pekerjaan sebagai pencatat naskah di majalah Horison tahun 1969. "Tidak terbayangkan dahulu bahwa saya akan diterima bekerja di majalah sastra Horison," kata Hamsad.
Hamsad merasa bangga dan meningkat statusnya. Walaupun hanya pencatat naskah, ia bekerja bersama sastrawan sekaliber HB Jassin. Lebih menggembirakan lagi, beberapa tahun kemudian ia "dipromosikan" sebagai korektor.
Keajaiban lain tiba-tiba muncul ketika Arief Budiman meminta Hamsad agar bersedia menjadi Pemimpin Redaksi Horison. Pada waktu itu keluar keputusan pemerintah mengenai perubahan SIT (surat izin terbit) menjadi SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). Permohonan SIUPP harus diajukan pemimpin redaksi yang lulus P4 dan anggota PWI. Celakanya, tidak seorang pun pimpinan Horison bersedia untuk itu.
Hamsad Rangkuti menerima tawaran tersebut karena mengikuti kursus P4 dan menjadi anggota PWI bukanlah kejahatan. "Saya tidak campur urusan politik, kecuali menulis karangan yang memuat kritik sosial," ujarnya. Hamsad kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Horison periode 1986-2002. Status yang dahulu kala dianggapnya "keramat".
Tahun 2003, kumpulan cerpennya, Bibir dalam Pispot, memenangkan Khatulistiwa Literary Award. Ia mendapat hadiah Rp 70 juta dan British Council mensponsori perjalanannya bersama istri selama satu bulan di Inggris.
"Saya menangis menyaksikan lukisan asli Rembrandt dan (Vincent) van Gogh di museum, London. Tidak terbayangkan anak seorang penjaga malam di sebuah pasar berkesempatan menyaksikan langsung karya asli pelukis besar itu," kata Hamsad.
Lebih dari sekadar mengenang masa lalu dan keprihatinan Hamsad terhadap jutaan anak-anak orang melarat, ihwal kemiskinan itu sendiri ternyata berkesinambungan. Seperti halnya usia Hamsad Rangkuti (64), kemiskinan hadir sebelum maupun setelah Indonesia merdeka. Beranak-pinak dan merembes di mana-mana.
Dalam hal ini kemerdekaan RI hanyalah sebatas ucapan, seperti halnya "selamat pagi" atau "apa kabar?".
Sumber: Kompas, Minggu, 21 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment