-- Asef Umar Fakhruddin*
MEMBINCANGKAN relasi antara sastra dan agama memang selalu menarik. Tidak jarang menyeruak pula perdebatan sengit terkait kedua entitas ini. Perdebatan sengit antara "dua kubu" aliran sastra (kubu Taufiq Islamil dkk dengan kubu Hudan Hidayat dkk) beberapa waktu yang lalu dan bahkan sampai sekarang, jika dirunut, juga berujung pada di mana sebenarnya posisi sastra dan agama dalam kehidupan.
Pada hakikatnya, agama maupun sastra, bermuara pada rasa atau jiwa. Agama, misalnya, meskipun juga membahas dan menyodorkan pusparagam hukum-hukum formal, juga mengetengahkan kajian-kajian kritis tentang jiwa. Bagaimana seyogyanya manusia melakukan pembersihan terhadap hati atau jiwa pemeluknya, merupakan salah satu kajian inti agama.
Sama halnya dengan karya sastra. Setiap karya sastra bisa dikatakan sebagai gelora batin penulisnya (baca: sastrawan). Gelora ini merupakan bentuk kegelisahan sekaligus harapan mereka terhadap kemanusiaan yang semakin ditanggal-tinggalkan. Jiwa para sastrawan terpanggil untuk memberikan alternasi. Jadi, agama dan sastra sama-sama mengacu pada jiwa.
Pada titik ini, teologi pluralis menemukan aksentuasinya. Akan tetapi, teologi ini tidak hanya berhenti di ruang diskusi atau meja perdebatan, melainkan mewujud dalam aksi nyata untuk kemanusiaan dan kehidupan. Bila teologi pluralis ini, kata filsuf Jurgen Habermas, tidak dikembangkan dan dikawinkan dengan tujuan pembebasan kemanusiaan, maka ia akan sekadar menjadi obyek ilmu pengetahuan yang abstrak dan menggantung di langit; hanya menjadi obyek pengetahuan yang tidak mempunyai dimensi praksis. Padahal, paradigma ilmu sosial tradisional yang obyektif dari ideologi telah dirobohkan oleh paradigma ilmu sosial kritis yang membebaskan (Jurgen Habermas, 1993).
Sebagai denyar-denyar gerak hati sastrawan, yang karena muasalnya adalah jiwa, dan kemudian diejahwantahkan dalam bentuk karya sastra, maka karya sastra tersebut seharusnya juga memerhatikan pesan yang dikandungnya. Pasalnya, karya sastra tersebut nantinya akan dibaca, dan bahkan menjadi "teladan" bagi masyarakat. Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, bahkan menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa.
Dengan demikian, karya sastra harus menyeruakkan tapak-tapak nilai kebajikan dan kebijaksanaan. Cerpen Gus Jakfar karya sastrawan A Musthofa Bisri, misalnya, adalah salah satu cerpen atau karya sastra yang mampu menggugah kemapanan paradigma yang selama ini bertengger di ujung rasionalitas manusia, khususnya umat Islam. Setelah cerpen tersebut dimuat, banyak kyai yang ingin tahu, bahkan "mewajibkan" diri untuk membacanya.
Setidaknya menurut pandangan penulis, di banyak pesantren, instansi pendidikan, pesantren mahasiswa di kota-kota besar, dan komunitas sastra maupun sosial, banyak orang membaca dan menelaah cerpen tersebut. Tidak hanya itu, sahabat-sahabat penulis yang nonmuslin pun banyak yang mengkaji cerpen tersebut. Pasalnya, menurut mereka, isi cerpen tersebut merupakan kritik terhadap simbolitas yang acapkali mewarnai kehidupan, yang parahnya, sering dijadikan legitimasi melakukan penghukuman.
Pada titik ini, pesan yang disampaikan Gus Mus, demikian ia biasa dipanggil, berhasil mengenai sasaran: jiwa pembaca. Setelah membaca cerpen tersebut, kebanyakan dari mereka membelokkan arah pemikiran mereka yang selama ini cenderung segmentaris-ekslusif-primordial, menuju pemikiran inklusif-sufistik-transformatif. Dan, perubahan seperti ini merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh agama.
Penyair Sutardji Cholzum Bachri, juga pernah mewartakan bahwa karya sastra dapat memberikan hikmah. Hikmah karya sastra yang baik adalah bisa membuat orang yang membacanya tercerahkan. Hikmah itu berupa nilai dan kearifan. Tapak-tapak kearifan itu tinggal di hati. Karena itu, karya sastra yang bagus bukanlah sekadar kata-kata yang bagus, tapi sesuatu yang bersifat mencerahkan.
Intinya, agama dan karya sastra tidak hanya berkelana pada ranah esoteris saja, melainkan juga berkecimpung pada ranah eksoteris. Tidak hanya itu, agama dan sastra juga senantiasa bergerak dari wilayah outward ke inward, juga sebaliknya.
Agama adalah bela rasa (atau cinta), demikian kata peneliti agama-agama dunia, Karen Armstrong. Dalam hal ini, lagi-lagi, sama dengan sastra. Sastra juga menjadikan rasa sebagai landasan pijak dalam menunjukkan eksistensinya. Karena itu, akan sangat bijak jika mempersandingkan keduanya untuk melahirkan konformitas dalam segala hal dengan kembali ke nurani.
Di tengah negara-bangsa yang sedang oleng dan akan karam ini, dibutuhkan kebajikan dan kebijaksanaan dalam berpikir dan bersikap. Dekadensi moral sudah saatnya dienyahkan dari bumi pertiwi Indonesia. Setangkup kearifan sekalipun, harus segera dihadir-jelaskan kepada persada ini.
Ajakan untuk kembali kepada nurani bukan berarti memproklamirkan diri sebagai 'orang suci', moralis, atawa apalah penyebutannya, tetapi lebih sebagai panggilan jiwa. Sudah saatnya seluruh rakyat dan elemen negara-bangsa ini kembali kepada kesucian diri: hakikat kemanusiaan.
Menjadikan kebijaksanaan, baik ketika mendalami agama maupun sastra, sebagai spirit perlu mendapatkan perhatian serius. Pasalnya, tatkala kebijaksanaan dikedepankan, hasil (karya) yang dihasilkan akan mampu memberikan pencerahan. Dalam hal ini, kita, kata Karen Armstrong, harus belajar kepada orang-orang, yang oleh filsuf Karl Jaspers disebut Zaman Aksial, zaman yang berkisar antara tahun 900-200 SM.
Orang-orang zaman ini telah menampilkan keagungan dan keberadaban tingkat tinggi. Konfusianisme dan Taoisme di Cina, Hinduisme dan Buddhisme di India, monoteisme di Israel, dan rasionalisme filosofis di Yunani ada pada Zaman Aksial ini. Zaman ini merupakan periode Buddha, Sokrates, Konfusius, Yeremia, mistikus Upanishad, Mensius dan Euripides. Selama periode kreativitas yang kental ini, para genius dan filosofis memelopori jenis pengalaman kemanusiaan yang sama sekali baru (Karen Armstrong: 2007).
Dalam terang peradaban seperti sekarang, problem kemanusiaan tidak muncul dari under development, tetapi justru dari over development. Maka dari itu, sudah saatnya agama dan sastra dijadikan pilar pembangun peradaban manusia. Dengan kata lain, melahirkan karya sastra dengan tetap menjadikan agama dan nurani kemanusiaan sebagai landasan pijak merupakan sebuah sine qua non.
Agar agama dan sastra bisa berjalan beriringan, kita harus melakukan reformasi terhadap pola pikir dan sikap kita, serta perlu, seperti saran Mensius, pergi mencari hati yang hilang. Bela rasa atau cinta bisa menjadi titik tolak perubahan peradaban manusia tersebut: agar konformitas kehidupan ini selalu lestari. Rasa yang menyublim dalam agama dan sastra adalah anima mundi (ruh dunia). Rabbi Yahudi, Akiba, yang terbunuh oleh Romawi pada 132 M, tambah Karen, mendedahkan bahwa prinsip utama dalam Taurat adalah cinta.
Kita semua berharap agar agama dan sastra-sebagaimana dikatakan oleh Anton Kurnia dalam pengantarnya untuk novel peraih Nobel Sastra, Gunung Jiwa, karya Gao Xingjian-memang merupakan 'jalan' menuju kesejatian. Sebab, konon, ada empat jalan meraih kesejatian (baca: pencerahan), yaitu agama, sains, filsafat, dan sastra.
* Asef Umar Fakhruddin, Peneliti pada Centre for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga
Sumber: Republika, Minggu, 28 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment