-- Zacky Khairul Umam*
Bangsa kita sulit menjadi 'tuan' di rumah sendiri. Sadar atau tidak sadar, kita bukan lagi 'pemilik' dan 'penentu' nasib bangsa ke depan jika rasa handarbeni atau kepemilikan atas sumber daya alam dan kultur hilang perlahan-lahan. Rasanya, saking kayanya potensi segala sumber daya di negeri ini, segalanya dibiarkan begitu saja hingga tidak ada kepekaan untuk merasa kehilangan. Padahal, setelah kecolongan sumber daya dalam negeri, kita baru geger dan kehilangan.
Itu kita rasakan sekarang kala lagu lokal Maluku, Rasa Sayange, digunakan Malaysia untuk mempromosikan pariwisatanya. Sudah bertubi masalah Indonesia dengan negeri serumpun Malaysia, ditambah lagi sikap sepihak Malaysia yang sangat tidak mengindahkan hubungan 'pertetanggaan' yang baik. 'Encik maunya apa?', kata tajuk sebuah media yang menuntut jawab dengan tegas. Sikap marah sungguh tidak bijak dan lebih tidak arif lagi jika lagi-lagi bangsa kita jatuh pada kubangan yang sama. Ujung-ujungnya, kita menjadi pandir andaikan harta karun milik kita sendiri terus-menerus diambil tetangga justru di saat kita melek dan sadar.
Bukan kali ini saja, memang, potensi sumber daya bangsa kita tidak mampu memberikan manfaat bagi keberlangsungan hidup. Lebih-lebih terkait dengan sumber daya kultural. Sebagaimana kita kecolongan Rasa Sayange, kita terkecoh pula dengan klaim sepihak Malaysia atas penguasaan produksi batik atau Jepang dengan teknologi pembuatan tempe yang canggih. Entah apa lagi yang akan membuat kita kebingungan karena melihat mozaik kebudayaan yang amat luhur sifatnya digondol menjadi milik bangsa lain. Dengan menyadari kekayaan budaya kita yang sangat melimpah ruah, sudah menjadi keharusan untuk menjaga, merawat, dan memanfaatkannya sebaik mungkin.
Dengan berjuta-juta potensi unik dan autentik dari warisan budaya bangsa, tak hanya ikut memeriahkan kemajemukan bangsa, tetapi juga memberikan manfaat materiil yang kasatmata. Baik warisan budaya yang tampak nyata (tangible), seperti artifak budaya dan benda-benda bersejarah, maupun yang tidak tampak (intangible), seperti lagu daerah, kesenian membatik, dan wayang menjadi sesuatu yang sangat berharga dan tak ternilai harganya.
Sejauh mana kita menghargai nilai-nilai, tradisi, beserta tatanan semesta simbolik di dalamnya menunjukkan kepribadian kita dalam mewujudkan ketahanan nasional di bidang budaya. Ketahanan budaya menjadi rapuh jika setiap unsur kebudayaan yang sudah menjadi warisan ataupun yang sedang dan akan berlangsung tidak dilindungi dengan politik kebudayaan yang mencukupi. Politik kebudayaan amat kering jika tidak disirami penanaman kembali spirit kebudayaan bangsa pada setiap generasi yang, hemat saya, tercakup dalam visi besar nation character building.
Ekonomi kreatif
Salah satu jalan keluar untuk membangun kecintaan kita pada warisan budaya ialah melalui pendekatan industri budaya. Industri budaya merupakan tren pengembangan potensi warisan budaya dari hulu hingga hilirnya, pemulasaraan jenis-jenisnya, dan sebisa mungkin dipoles melalui inovasi tingkat tinggi, agar memberikan hasil. Tujuan besarnya terletak pada upaya adiluhung untuk mengangkat karakter kebudayaan bangsa. Hal itu berdimensi jangka panjang. Sementara itu, tujuan praktisnya ikut menyumbang devisa pada negara untuk matra kesejahteraan masyarakat.
Pada Pekan Produk Budaya Nasional pertengahan Juli lalu di Jakarta atau Pekan Batik Internasional awal September di Pekalongan, pemerintah sebetulnya sudah menyadari pentingnya pengembangan industri warisan budaya sebagai salah satu perwujudan ekonomi kreatif yang beraset tinggi. Selama ini, niat baik untuk menjunjung warisan budaya tidak cukup hanya dengan kemauan pemerintah. Pengembangan yang lebih maju membutuhkan pembangunan sumber daya manusia yang juga mumpuni untuk merancang strategi yang baik, selain investasi dan infrastruktur yang memadai. Karena itu, pemerintah saja akan kewalahan. Sektor swasta dan jejaring masyarakat sipil sebaiknya ikut dilibatkan secara menyeluruh.
Industri warisan budaya bangsa tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebagai bagian dari sektor ekonomi kreatif, industri jenis itu menjadi aset tak terbatas yang sampai kapan pun tidak akan pernah lekang oleh zaman dengan catatan proses kreasi dan inovasi terus diberdayakan. Sekadar dimaklumi, kekayaan budaya Singapura jika dibandingkan dengan Indonesia seperti bintang kecil jika dibandingkan dengan jagat raya, tetapi malah masih unggul Singapura. Dengan mengandalkan 'impor' produk warisan budaya, industri budaya Singapura berhasil menyumbang devisa US$3 miliar- US$4 miliar. Padahal pengembangannya baru pada 2005.
Rata-rata negara maju mampu menjalankan industri seperti itu hingga 30%, sedangkan Indonesia baru menyumbang PDB sekitar 1,9% saja. Hasil yang dicapai Indonesia baru berkisar hingga US$2 miliar saja, padahal warisan budaya kita amat melimpah ruah. Hambatan yang tampak nyata biasanya terletak pada kemampuan SDM, permodalan, pengemasan, dan pemasaran. Kualitas kita dalam mengelola aset tak ternilai tersebut memang masih amatiran.
Untuk pengembangan ke depan, sebetulnya kita tidak usah terlalu takut kecolongan dengan bangsa lain atas warisan budaya kita sendiri. Selama ini, kita terkecoh dengan, misalnya, penguasaan perbatikan oleh Malaysia, paten tempe oleh Jepang, dan mungkin entah apa lagi nanti seperti klaim atas lagu Rasa Sayange . Sebab, sangat sulit untuk mematenkan warisan budaya yang tidak termaktub jelas siapa moyang penciptanya dan kapan waktu pasti penciptaan pertama kalinya. Bahwa telah terjadi penguasaan sepihak, itu hanya klaim belaka.
Paten tetap saja tidak bisa diaku atas warisan budaya tersebut. Yang bisa dipatenkan, sesuai dengan standar internasional, ialah teknologi atau cara penciptaan yang mutakhir atas sebuah warisan budaya, seperti teknologi mekanik pembuatan tempe atau batik cap yang canggih. Selagi secara sosio-historis masih menjadi tradisi bangsa kita, meskipun sulit menentukan founding fathers/mothers dan waktunya, tetap saja secara kolektif masih menjadi milik kebudayaan Indonesia.
Lalu, kenapa harus takut ketinggalan? Dengan Malaysia, misalnya, kualitas batik tulis yang sangat indah dan luhur itu tidak bisa dipadankan dengan produksi massal batik cap meski dengan teknologi canggih. Nah, yang perlu dikhawatirkan bagaimana supaya para pengrajin batik tidak diboyong ke luar negeri dengan iming-iming yang menggiurkan, sedangkan kita semakin kehilangan potensi besar.
Peradaban keempat
Upaya yang baik mengawali pengembangan industri warisan budaya secara masif ialah melalui 'edifikasi' (bildung) budaya. Yakni, politik pencitraan dan pengidentifikasian warisan budaya sebagai kepemilikan bersama, politik handarbeni. Hal ini bermaksud mengembalikan warisan budaya kita sebagai citra kolektif, entah melalui sosialisasi ataupun pendidikan dalam pengertian yang luas guna menghasilkan kesadaran bersama.
Sampai titik poin itu, hal yang harus diwaspadai ialah bagaimana supaya pengembangan industri warisan budaya tidak jatuh pada komodifikasi yang sempit, meminggirkan aspek kebudayaan dengan reifikasi yang melulu materialistik atau serbatergerus oleh logika kapitalisme lanjut yang mendukung permodalan dan kedangkalan citra saja. Aspek negatif itu memang tidak bisa dihindari, tetapi bagaimana caranya supaya industri warisan budaya dikembangkan dengan dukungan 'edifikasi' yang menebarkan spirit bagi mekarnya kebudayaan.
Pemanfaatan warisan budaya di masa mendatang menjadi tren yang sama besarnya dengan isu-isu lingkungan hidup. Kini sudah digemborkan, basis warisan budaya dan lingkungan merupakan gelombang peradaban keempat setelah basis informasi dan pikiran dalam gelombang ketiga, basis industrialisasi dalam gelombang kedua, dan basis agraris dalam gelombang pertama. Mengingat amat pentingnya prospek masa depan warisan budaya, strategi pengembangannya tidak boleh dianggap sepele. Mengubah cara berpikir yang radikal merupakan fundamen, selebihnya bagaimana menyiasati agar di era persaingan globalisasi kita menjadi 'tuan' di negeri sendiri. Bukan sebaliknya.
* Zacky Khairul Umam, Peneliti, tinggal di Jakarta
Sumber: Media Indonesia, Kamis, 25 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment