Jakarta, Kompas - Tepat tengah hari pada hari Idul Fitri, 13 Oktober 2007, jenazah novelis, pemikir, dan teolog feminis, Henriette Marianne Katoppo (64), diberangkatkan dari rumah duka di RS PGI menuju Krematorium Oasis Tangerang. Ia berpulang pada hari Jumat (12/10) siang, kemungkinan karena serangan jantung.
”Prosesnya cepat sekali,” ujar kakak iparnya, Jeanne Katoppo-Mambu. Ketika hendak turun dari mobil sepulang jalan-jalan dengan kakaknya, kepala Marianne Katoppo tiba-tiba terkulai.
Ia langsung dibawa ke RS Azra, Bogor, tetapi tidak terkejar. Kremasi merupakan permintaan Marianne lewat salah satu keponakannya sebelum ia meninggal.
Kakak iparnya yang lain, Ny Mimis Katoppo, menambahkan, Marianne sempat dirawat karena stroke di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan beberapa hari setelah ulang tahunnya. Setelah membaik, ia tinggal bersama kakaknya di Bogor.
Kepergian Marianne yang begitu mendadak, seperti diungkapkan Jeanne, mengagetkan teman-temannya, termasuk Gus Dur. Mereka pernah terlibat bekerja untuk urusan agama dan perdamaian dunia.
Meski dikenal sebagai feminis teolog pertama di Asia, Marianne tidak masuk ke arus utama gerakan feminisme di Indonesia. Padahal, bukunya, Compassionate and Free (1979), sudah membahas akar perempuan sebagai ”liyan”.
”She was a lone fighter,” ujar Bondan Winarno, penulis, salah seorang sahabatnya.
Demi prinsip, Marianne tak peduli pada popularitas. Ia tak peduli dipandang sebagai ”musuh” Kartini karena kekritisannya pada Kartini.
Padahal, ia sangat menghargai pikiran-pikiran Kartini, dan karenanya menolak perjuangan mengejar simbol.
Karya-karya Marianne, menurut pengamat sastra dan pembaca buku-bukunya, Maman S Mahayana, lahir di tengah tekanan kultur yang kurang apresiatif terhadap karya sastra.
Menurut sastrawan Budidarma, karya-karya Marianne berada di kawasan sastra non-mainstream, dan ia tampaknya tidak begitu memedulikan komunitas yang menurut konsensus sastra dianggap sebagai komunitas sastra dalam arti sebenarnya.
Lulusan Institut Oecumenique Bossey, Swiss, yang menguasai 12 bahasa asing itu konsisten menggunakan istilah ”perempuan”.
Lewat berbagai tulisan ia mengupas akar dari istilah-istilah yang membuat perempuan terus disubordinasikan meskipun karyanya, Raumanen, mengundang perdebatan karena memosisikan perempuan di wilayah abu-abu.
Sampai akhir hayatnya, Marianne tenggelam dalam proses kreatifnya meski belakangan tak lagi mengajar. Sebagian waktunya dipakai untuk merawat 30-an kucingnya di sebuah rumah kontrakan berukuran 45 meter persegi di bilangan Ciputat, Jakarta Selatan.
Buku terjemahan Compassionate and Free akan diluncurkan awal November 2007. Tanpa Marianne. Selamat jalan…. (MH)
Marianne H Katoppo
Lahir: 9 Juni 1943 di Tomohon, Sulawesi Utara, anak bungsu dari 10 bersaudara pasangan Elvianus Katoppo dan Agnes Rumokoij.
Karya: Dunia Tak Bermusim (1974), Anggrek Tak Pernah Berdusta, (1977), Terbangnya Punai (1978), Rumah di Atas Jembatan (1981). Karya teologi (feminis)-nya Compassionate and Free: An Asian Woman's Theology (1979) adalah bahan ajar di berbagai sekolah teologi dan seminari di dunia. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Tersentuh dan Bebas (2007).
Penghargaan, antara lain: Dewan Kesenian Jakarta untuk Raumanen (1975), dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef (Yayasan Buku Utama), 1978, novelis perempuan pertama Indonesia penerima South East Asia Write Award dari Ratu Sirikit, tahun 1982
Pada tahun 1995 ia mewakili Pramoedya Ananta Toer menerima Penghargaan Magsaysay di Manila, Filipina. (MH)
Sumber: Kompas, Senin, 15 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment