Sunday, October 21, 2007

Toto Sudarto Bachtiar (1929-2007)

-- Sapardi Djoko Damono*

Selasa, 9 Oktober yang lalu, Toto Sudarto Bachtiar telah mendahului kita. Untuk dunia kesusastraan, ditinggalkannya sejumlah sajak yang pada tahun 1950-an sempat dikumpulkannya dalam Suara dan Etsa, dua kumpulan sajak yang merupakan penanda penting dalam perkembangan perpuisian kita. Tulisan ringkas ini adalah upaya untuk menempatkannya dalam peta kesusastraan kita. Sampai dengan tahun 1949, perpuisian kita boleh dibilang dikuasai oleh Chairil Anwar, tentu berkat pandangan HB Jassin yang sudah sejak zaman Jepang muncul sebagai seorang dokumentator dan pengamat sastra yang rajin. Chairil Anwar, bersama-sama dengan Asrul Sani, Rivai Apin, dan St Nurani—untuk menyebut beberapa nama saja, dan mungkin juga hanya beberapa nama itu—telah menumbuhkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap upaya pengembangan bahasa puisi.

Bahasa Indonesia, yang sejak Kongres Pemuda tahun 1928 dipilih sebagai bahasa persatuan, tidak lagi menjadi milik kelompok etnik tertentu; kita semua memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengembangkannya. Situasi itulah yang menyebabkan kegiatan kesusastraan kita tidak lagi berorientasi ke Sumatera, tetapi meluas ke mana-mana. Keadaan itu sudah mulai tampak ketika sekelompok pemuda yang "dipimpin" Takdir Alisjahbana menerbitkan majalah Pujangga Baru pada tahun 1933. Ali Hasjmy dari Aceh dan JE Tatengkeng dari Sangir, misalnya, terlibat di dalamnya. Beberapa penyair sezaman Chairil Anwar yang saya sebut namanya itu memang berasal dari Sumatera, demikian juga tokoh-tokoh baru yang menyiarkan karya-karyanya sejak zaman Jepang seperti Rosihan Anwar; tetapi munculnya Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Kartamihardja, Toha Mohtar, P Sengodjo, dan D Suradji di antara Idrus, Mochtar Lubis, dan Sitor Situmorang menunjukkan adanya suatu gejala penting dalam perkembangan sastra dalam kaitannya dengan posisi bahasa kita.

Dua penyair yang pada tahun 1949 menerbitkan Tiga Menguak Takdir, yakni Asrul Sani dan Rivai Apin, tampaknya harus rela menerima ejekan yang pernah ditujukan kepada kebanyakan sastrawan yang berkelompok dalam Pudjangga Baroe, yakni ars brevis vita longa—setidaknya dalam kedudukannya sebagai penyair. Konon, ungkapan yang asli berbunyi ars longa vita brevis, ’seni panjang dan hidup itu pendek’. Kematian Chairil Anwar pada tahun 1949 ternyata tidak hanya meneguhkan kedudukannya sebagai penyair utama kita, tetapi juga menyurutkan semangat banyak penyair sezamannya untuk mengembangkan bahasa dengan menulis puisi. Tetapi, puisi memang rumput, ia tidak akan mati—maka dalam dua atau tiga tahun saja muncullah Sitor Situmorang, WS Rendra, Ramadhan KH, Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar, dan banyak penyair yang bahasa ibunya bukan Indonesia—meskipun bisa juga dimasalahkan apakah ada orang yang waktu itu berbahasa ibu Indonesia.

Dalam esai-esainya yang dikumpulkan dalam Sosok Pribadi dalam Sajak, Subagio Sastrowardoyo menunjukkan perbedaan antara Chairil dan Toto; katanya, yang pertama berwawasan indo, sedangkan Toto berorientasi pribumi. Chairil berpegang pada Eros, Romeo, Juliet, Ave Maria, dan Ahasveros, sedangkan Toto tetap berada di bumi sendiri. Tidak demikian adanya, pada hemat saya. Memang, Toto menulis sajak "Pernyataan" yang ditujukan kepada Chairil yang bunyinya antara lain,

Aku semakin menjauh
Dari tempatmu berkata kesekian kali

Menurut Subagio, sajak itu menunjukkan sikap Toto yang tidak ingin meninggalkan bumi tempatnya berpijak seperti yang telah dilakukan Chairil. Subagio selanjutnya menyatakan juga bahwa "Toto lebih setia dan lebih mesra menyatukan dirinya dengan nasib dan sikap hidup sesamanya". Benar jika dikatakan bahwa Toto telah menulis sejumlah sajak yang mengungkapkan simpatinya kepada gadis peminta-minta dan sebangsanya, tetapi itu bukan suatu hal yang istimewa sebab tahun 1950-an adalah dasawarsa yang padat dengan puisi sosial semacam itu—tidak ada seorang penyair pun yang bisa melepaskan diri dari situasi itu, yang sebenarnya juga menguasai Chairil Anwar di tahun 1940-an. Dalam Ballada Orang-orang Tercinta (1956), Rendra jelas menunjukkan simpati kepada orang-orang malang, demikian juga Ramadhan KH dalam Priangan si Jelita (1958). Kalau boleh meminjam istilah Subagio, mereka itu semua indo karena telah kena sengat kebudayaan Barat. Mungkin hanya indo Sitor yang dalam dua kumpulan sajaknya, Dalam Sajak (1955) dan Wajah tak Bernama (1956), boleh dikatakan berhasil bebas dari orang-orang malang.

Dalam Sajak menunjukkan bahwa Sitor memang indo, setidaknya Malin Kundang. Ia pergi "merantau" dan karenanya merindukan tanah kelahiran di Pulau Samosir, namun sadar bahwa ia sebenarnya adalah "si anak hilang". Demikianlah maka puisinya dipadati dengan gadis Italia, Oscar Mohr, Paul Éluard, St Germain-des-Prés, dan Paris-la-nuit. Ini sama dengan puisi Chairil Anwar—meskipun penyair yang mati muda itu tidak pernah meninggalkan Betawi. Rendra dekat dengan Atmo Karpo, Sumirah, dan Lurah Kudo Seto meskipun oleh Subagio penyair ini disatukannya dengan Federico Garcia Lorca, seorang penyair Spanyol yang sejumlah sajaknya justru pernah diterjemahkan Ramadhan KH. Ajip menulis sebuah balada yang mengesankan tentang Jante Arkidam. Saya tidak sepakat dengan Subagio mengenai kasus Rendra; pada hemat saya justru Ramadhan yang dalam Priangan si Jelita telah memanfaatkan dengan cerdas cara pengungkapan Lorca. Dibandingkan dengan mereka itu, Toto memang tidak pernah mengitari dunia dan tidak pula berminat menulis puisi naratif tentang dongeng setempat. Namun, kenyataan bahwa penyair ini adalah penerjemah sejumlah novel dan cerpen dan dalam puisinya pernah menyatakan cherchez la femme dan cherchez la personalité, pernyataan yang menetapkannya sebagai penyair yang "mendekati kembali jiwa masyarakat sendiri" perlu diperbincangkan lebih jauh.

Perkembangan kepenyairan Toto justru harus dilihat dalam hubungannya dengan bahasa persajakan Chairil Anwar. Penyair yang oleh Jassin ditahbiskan sebagai ekspresionis ini memulai bertualang dengan menulis puisi bebas yang penuh "vitalitas" ini dengan cerdik menyambar pengaruh dari sana-sini—dalam upayanya untuk menciptakan bahasa baru. Ia tetap tinggal di Jakarta, tetapi ruhnya melesat ke Eropa. Semakin dekat dengan kematiannya, "binatang jalang" ini menyadari bahwa hakikat kepenyairan adalah pertarungan bahasa dengan, justru, bentuk-bentuk konvensional seperti kwatrin dan soneta. Sajak-sajaknya yang menunjukkan pertarungan itu bukan yang semacam "Aku" atau "Diponegoro", tetapi lirik yang disusun dalam bait empat seuntai seperti "Cemara Menderai Sampai Jauh", dan lirik yang disusun dalam soneta yang ketat seperti "Kabar dari Laut".

Toto sadar bahwa kekuatan Chairil tidak pada puisi yang menurut Jassin penuh vitalitas itu, tetapi pada kerapiannya berbahasa. Namun, kerapian yang merupakan hasil dari pertarungan dengan bentuk itu memang tidak mudah ditiru. Itu sebabnya banyak peniru Chairil yang hanya menghasilkan puisi gelap yang antara lain disebabkan ketidakmampuan penyair dalam berbahasa, suatu kecenderungan yang juga tampak pada beberapa sajak Toto di awal kepenyairannya. Toto setia kepada Chairil, artinya ia terus-menerus berusaha mengembangkan gaya pengungkapan penyair itu. Kesetiaan pada Chairil ini pada dasarnya tampak juga pada Sitor. Perbedaannya adalah bahwa Sitor menjauh dari Chairil dengan menulis puisi ringkas yang mengandalkan citraan dan perlambangan, sedangkan Toto mengambil jarak menciptakan bait-bait yang semakin lama semakin mirip nyanyian. Sikap ini sama sekali berbeda dengan WS Rendra yang langsung menarik perhatian kita dengan balada, atau Ramadhan yang dengan penuh ironi berdendang tentang priangan yang jelita, bagaikan Lorca. Ramadhan bahkan bereksperimen dengan tembang dalam puisinya. Toto tetap mempertahankan simpatinya kepada kaum papa—tanpa kemarahan kepada siapa pun, dalam bait-bait yang rapi. Ia pun sempat menyanyikan puji-pujian kepada kemerdekaan dan kepahlawanan. Dan semua itu lebih berupa nyanyian, bukan gugatan atau ratapan. Bahkan ketika ia menulis tentang alam, "Danau M", ia tidak terhanyut seperti halnya kaum romantik. Ia mengambil jarak, tidak terlibat secara emosional.

Serasa pernah kukenal gunung-gunung ini
Juga paras danau
Yang tepinya tak kelihatan
Sangat lajunya sekunar berkejaran

...

Semuanya mengacu padaku
Dan sampai pada jamahan tak berupa
Hidupnya perasaanku hari ini
Tapi hidupku tak hidup di sini.

* Sapardi Djoko Damono, Penyair

Sumber: Kompas, Minggu, 21 Oktober 2007

No comments: