Wednesday, October 17, 2007

Kronik Keindonesiaan: Pesawat Emas yang "Menerbangkan" Keindonesiaan Nun...

-- Indira Permanasari

Kisah pengumpulan emas dari masyarakat untuk mendukung tetap berdirinya Republik Indonesia tercinta ternyata tak hanya terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam. Masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) punya kisah serupa dan kini jadi bagian dari kronik—catatan sejarah—keindonesiaan kita.

Pada tahun 1948, masyarakat Aceh berhasil mengumpulkan emas setara 20 kilogram. Emas itu kemudian dibelikan Pesawat Dakota yang diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri berarti "Gunung Emas".

Dalam sebuah perjalanan tepatnya, Lawatan Sejarah Nasional Ke-V bulan Agustus lalu, replika pesawat sumbangan masyarakat Sumbar itu sempat dikunjungi. Mengapa hanya tersisa monumen dan replika? Pesawat hasil sumbangan itu memang tak berumur panjang. Begitu juga nama besar pilot dan navigatornya. Cukup mengenaskan kisahnya.

Pemandu para peserta lawatan sejarah saat itu, Abdul berkisah, pembelian pesawat itu pada era perjuangan Republik memasuki masa-masa kritis, terutama setelah tentara Belanda melaksanakan agresi militer pertama, 21 Juli 1947. Belanda ingin kembali menguasai seluruh Republik. Banyak kota penting yang kemudian dikuasai. Belanda memblokade kegiatan militer dan ekonomi.

Pemerintahan Republik yang saat itu berpusat di Yogyakarta membutuhkan jalur koordinasi, komunikasi, dan transportasi dengan Sumatera. Untuk menembus blokade itu, transportasi udara menjadi penting.

Mengutip penjelasan mengenai Avro Anson; Pesawat Dari Emas yang disusun oleh Dinas Pariwisata Seni Budaya Pemerintahan Kabupaten Agam, waktu itu Moh Hatta, Wakil Presiden RI, kemudian menyarankan agar Sumbar membeli sebuah pesawat terbang.

Lantaran tidak mempunyai dana, dibentuk Panitia Pusat Pengumpulan Emas untuk membeli pesawat terbang pada 27 September 1947 yang diketuai Mr Abdoel Karim, Direktur Bank Negara. Namun, ujung tombak dari panitia tersebut ialah alim ulama, ninik mamak, dan para pemuka masyarakat Sumbar yang menggugah dan menggelorakan semangat masyarakat.

Hanya dalam waktu dua bulan, Oktober dan November 1947, terkumpul perhiasan emas berupa gelang liontin, cincin, dan emas lempengan dengan berat sekitar 15 kg. Emas dari para ibu-ibu itu lalu dilebur menjadi emas batangan dan diserahkan oleh Ketua Majelis Pertahanan Rakyat Daerah Sumbar Chatib Sulaimen kepada Moh Hatta.

Delegasi yang bertugas dalam pembelian itu kemudian dipertemukan dengan Paul H Keegan sebagai pemilik pesawat terbang Avro Anson. Pesawat Avro Anson yang masih beregistrasi Australia, VH-BBY, itu sempat diterbangkan ke Bukit Tinggi dan mendarat di Lapangan Terbang Gadut untuk dilakukan tawar-menawar dan akhirnya diperoleh kesepakatan harga 12 Kg emas. Lantaran Keegan berdomisili di Songkhla, Thailand, maka dia meminta menyerahkan pesawat dan menerima emas pembelian di sana.

Guna menerbangkan pesawat itu pergi pulang Bukit Tinggi-Thailand, didatangkan pilot dari Jakarta, yakni Halim Perdanakusuma, dan navigator Iswahjudi. Nama mereka diabadikan menjadi nama lapangan terbang di Jakarta dan Madiun, Jawa Timur. Mereka bertolak dari Lapangan Terbang Gadut, Bukit Tinggi, pada 9 Desember 1947 menuju Thailand dengan penumpang Keegan, M Sidik Attamimi, Is Yasin, dan Aboe Bakar Loebis.

Pesawat itu mampir mendarat di Pekan Baru, Riau, sebelum melanjutkan penerbangan ke Thailand. Sesampainya di Thailand, pesawat dan penumpang sempat ditangkap polisi Thailand dengan tuduhan menyelundupkan candu dan emas. Setelah proses interogasi, pesawat dilepas dengan dua penerbangnya. Lainnya, seperti Aboe Bakar Loebis dan kawan-kawan, keluar melalui jalan darat.

Beberapa jam Aboe Bakar sampai di Singapura, dia mendapat berita mengenaskan dari polisi Malaka yang mengabarkan bahwa pesawat Avro Anson jatuh di Tanjong Hantu, Selat Malaka. Polisi menemukan mayat Halim Perdanakusuma, sedangkan tubuh Iswahjudi tidak ditemukan. Halim sendiri sempat dimakamkan di Malaka, lalu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta.

Puluhan tahun sudah Avro Anson itu hilang terkubur di kedalaman Selat Malaka. Replika pesawat kini jadi obyek wisata biasa. Tapi, gairah keindonesiaan masyarakat Sumbar dan para pelaku sejarah ini niscaya bukti: nun di sana kita pernah punya keindonesiaan yang sedap....

Sumber: Kompas, Rabu, 17 Oktober 2007

No comments: