DI antara banyak perkara pada Oktober, ada dua hal yang saya catat.Satu,sebuah iklan metode kumon berbunyi,“Matematika, Bahasa Inggris = Sukses!”Dua,Kongres Cerpen di Banjarmasin akhir pekan ini.
Keduanya berhubungan secara tolaktolakan. Kongres Cerpen diadakan dalam semangat merayakan bahasa Indonesia. Maklum, Oktober selalu merupakan bulan bahasa.Ini sebagai peringatan Sumpah Pemuda yang menjadikan bahasa Indonesia bahasa persatuan. Sementara iklan kumon yang menyedihkan itu,hmmm,mungkin bukan bermaksud melecehkan bahasa Indonesia. Iklan ini sekadar polos betul dengan nafsu memburu sukses. Demikianlah pragmatisme pendidikan dan pekursusan di negeri ini.
Dalam langkah-langkah menuju sukses itu,tak perlulah orang peduli bahasa Indonesia.Apatah merayakannya! Salahkah iklan itu? Namanya juga iklan. Ya harus mengeksploitasi nafsu-nafsu pasarnya. Bukankah pasar mereka adalah orangtua yang, menurut penelitian anekdotal, paling menghindari menantu lelaki yang pekerjaannya adalah sastrawan? Para orangtua itu meragukan apakah sastrawan adalah sejenis pekerjaan.Menantu idaman berturut-turut adalah pengusaha sukses, pengacara atau dokter (tak perlu sukses-sukses amat juga oke), direktur, manajer, pegawai tetap.
Sastrawan? Hiii… Lebih mudah bagi kaum hawa untuk memahami pragmatisme ini. Sebab, kebanyakan dari mereka akan hamil, melahirkan,menyusui, mengasuh anak, demi kemanusiaan. Dalam keadaan ini, mereka tak bisa terlalu banyak mengerjakan hal lain.Mencari nafkah,misalnya. Tak heran, lelaki yang tak hamil diharapkan untuk memberi mereka setidaknya keamanan yang standar. Begitulah, ketika saya kuliah di fakultas sastra dulu, saya lebih memilih lamaran pemuda harapan bangsa dari fakultas teknik ketimbang cowok-cowok sastra yang gondrong, tidak sikat gigi, dan banyak omong.
Jika saya cinta sastra dan bahasa Indonesia, mendingan saya yang jadi sastrawati ketimbang pacaran dengan orang yang mengaku sastrawan. Jika saya membayangkan diri sebagai wanita yang memutuskan untuk penuh menjadi ibu dan mengasuh anak-anak, menginginkan agar anak-anak saya mentas dan mapan,sebagian penghuni dunia sastra pastilah merupakan makhluk yang menggidikkan. Bahasa mereka sulit dimengerti.Kemarahan mereka apalagi.
Mereka menuding sesamanya sebagai antek imperialis, agen asing, juga dengan kata-kata kasar yang tak pantas disebutkan di sini,seolah kita ada di zaman perang kemerdekaan.Dan jika mereka tak tampak seperti bekerja, mereka sungguh tampak seperti parasit. (Sebetulnya sih, meski penghuni dunia sastra juga,saya tak bisa mengerti “chachairilan”—itu, sastrawan yang suka sekali memasang potret sedang menghirup rokok dalam ekspresi Chairil Anwar.)
Tentu saja tidak semua sastrawan seperti itu. Sebagian dari mereka sungguh bekerja untuk bahasa dan sastra Indonesia di sela-sela tanggung jawab menghidupi anak, istri, keluarga, atau diri sendiri. Kongres Cerpen sesungguhnya sebuah usaha antara sastrawan dan birokrat pemda yang patut dihargai. Segala pertemuan rutin kesusastraan—arisan hingga kongres, bulanan hingga tahunan— adalah potensi yang berharga. Hanya saja, sikap antiasing dan antiukuran yang belakangan ini suka berembus juga bertiup di Banjarmasin. Contohnya adalah prasangka buruk baik terhadap usaha menyusun karya-karya terbaik (seperti yang dilakukan Kompas dengan kumpulan cerpen pilihan) maupun terhadap kerja keras komunitas seni (seperti Teater Utan Kayu).
Sastra Indonesia tak akan menjadi lebih baik dengan prasangka buruk atau sikap anti asing. “Kami berpendapat bahwa tanpa usaha sungguh-sungguh untuk bersinggungan dan berbenturan dengan sastra asing, sastra kita akan menjadi pucat dan kehilangan celah untuk menerobos kemacetan,” kata Sapardi Djoko Damono sebagai editor seri terjemahan cerpen dunia suatu kali. Sastra Indonesia juga tak akan menjadi lebih baik dengan sastrawan yang menuding dan memaki. Sastrawan yang menuding dan memaki hanya membenarkan iklan kumon yang menyedihkan itu. Matematika, Bahasa Inggris = SUKSES!(*)
Ayu Utami utami.ayu@gmail.com
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 28 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment