Friday, October 26, 2007

Kebangsaan: Pembangunan Karakter Harus Realistis

Jakarta, Kompas - Pembangunan karakter bangsa harus dilaksanakan secara realistis. Tidak lagi cukup dengan dikemas dalam jargon terkait nasionalisme belaka, melainkan harus ada upaya yang realistis.

Seperti dikatakan Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri dalam pembukaan acara Koentjaraningrat Memorial Lecture IV/2007, membangun karakter bangsa berarti secara nyata dan realistis membangun keunggulan, daya saing, dan penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi. Kegiatan yang bertema "Membicarakan Kembali Pembangunan Karakter Bangsa" itu diselenggarakan Forum Kajian Antropologi Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Kamis (25/10).

Dalam konteks tersebut, Gumilar berpandangan, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan knowledge based economy. "Pembangunan karakter bangsa menjadi bagian dari upaya menumbuhkan memori kolektif akan arah pembangunan bangsa kita ke depan," ujarnya.

Antropolog Universitas Indonesia, Prof Achmad Fedyani Saifuddin, berpendapat senada. Isu sifat dan kepribadian suatu masyarakat atau bangsa setelah Perang Dunia Kedua lebih berorientasi internal masyarakat atau bangsa bersangkutan. Orientasi itu lebih kepada isu identitas sebagai suatu masyarakat atau bangsa. Khususnya terjadi pada bangsa baru merdeka, termasuk Indonesia. Bangsa-bangsa berupaya membangun karakter yang kuat sehingga memiliki ketahanan bangsa sebagai bagian dari negara-negara lain.

Menurut Fedyani, karakter suatu masyarakat tak lain ialah identitas masyarakat itu sendiri yang terekspresikan keluar sehingga terbaca oleh masyarakat yang berbeda. Dengan kata lain, karakter suatu masyarakat ialah ekspresi yang terpancar dari kebudayaan masyarakat.

Pada masa kini dan mendatang, Indonesia dihadapkan pada pilihan, yakni antara nation-state yang bernama Negara Kesatuan RI dan suatu bangsa yang dibayangkan memancarkan karakter bangsa tertentu. Pilihan lainnya ialah welfare-state, yakni negara yang mengutamakan kesejahteraan warganya tanpa harus memosisikan ideologi kebangsaan yang kentara sebagai sentralnya. Dalam welfare-state atau negara kesejahteraan, manusia dipandang sebagai subyek yang dapat berpikir, merancang kehidupannya, memproduksi sesuatu. Negara menjadi fasilitator dan tak lagi merupakan kekuasaan sentral yang mendominasi.

Demokratisasi diterapkan secara nyata. Dengan demikian, berbicara tentang karakter bangsa berarti berbicara tentang keragaman. Karakter harus ditempatkan pada setiap unsur pembentuk bangsa sehingga pembicaraan bukan lagi mengerucut pada karakter "orang Indonesia". Pada masa lalu ketika negara bersifat sentralistik, kenyataan keberagaman itu terkurung dalam program kebijakan dan kekuasaan pemerintah. Pemerintah sebagai penjaga nation-state bersifat mengontrol. Namun, manusia sekadar menjadi obyek, susah bersuara, dan menyatakan pendapat.

"Saya mengajukan usulan hipotetis bahwa kita harus membenahi kekuatan ekonomi, hukum, birokrasi, dan pendidikan. Jika semua itu tercapai, tidak akan ada masalah dengan nation-state," ujar Fedyani. Dengan peningkatan kesejahteraan, pendidikan, perbaikan hukum secara nyata akan tercipta kebanggaan sebagai bangsa. "Koentjaraningrat mengatakan, kebangsaan harus ada kaitannya dengan kebanggaan menjadi orang Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain," kata Fedyani.

Antropolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Selly Riawanti, dalam makalah Generasi Muda Indonesia: Siapa dan Bagaimanakah Mereka, mengemukakan, dari sisi identitas sosial, generasi muda seragam, dan memperlihatkan dialektika antara hibridisasi dan pengkristalan identitas. Di sisi lain, kesejahteraan, keanekaragaman nasib masih memperlihatkan reproduksi struktur-struktur sosial ekonomi yang ada. Kesenjangan sosial ekonomi menyebabkan akses terhadap pendidikan sebagai salah satu pembentuk karakter tidak dinikmati secara adil. (INE)

Sumber: Kompas, Jumat, 26 Oktober 2007

No comments: