Jakarta, Kompas - Salah seorang pejuang revolusi, Soedarpo Sastrosatomo (87), meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Senin (22/10), pukul 04.45, karena usia yang telah lanjut. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta, Senin siang.
Soedarpo meninggalkan seorang istri, Minarsih Wiranatakoesoemah (84), dan tiga anak, yakni Shanti Poesposoecipto (59), Ratna Djuwita Tunggul (57), Chandra Leka Malimulia (55), serta enam cucu dan dua cicit.
Pria kelahiran Pangkalansusu, Sumatera Utara, 30 Juni 1920, ini dirawat di RS Medistra sejak 15 Oktober.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, ia adalah orang pertama yang dikirim Soekarno ke Amerika Serikat untuk urusan perdagangan. Pada masa perjuangan ia juga merupakan rekan seangkatan Muhammad Hatta. Soedarpo merupakan pemilik perusahaan Samudera Indonesia yang bergerak di bidang pelayaran, pendiri Bank Niaga, dan pendiri Soedarpo Corporation.
Di rumah duka para pelayat terus berdatangan, di antaranya Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan sebelumnya sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu. "Kita kehilangan seorang pejuang, pengusaha," kata Wapres.
Hari Kamis, 19 April 2007, Soedarpo duduk di kursi roda dengan alat bantu pendengaran. Penyempitan pembuluh darah di otak amat membatasi geraknya. Meskipun dengan penuh perhatian Soedarpo berusaha mengikuti perbincangan Kompas dengan sang istri, ia tak banyak berkata-kata.
Selama perbincangan, hanya dua pesan yang ia sampaikan, tentang "tugas" kehidupan yang sudah harus selesai bagi dirinya dan harapan yang ia titipkan bagi orang-orang muda.
"Kalaupun masih ada cita-cita, sekarang ini sudah harus saya lepaskan karena saya sakit dan penyakit ini, menurut saya, suatu peringatan bahwa sudah harus cukup semuanya ini bagi saya," ujarnya.
Melanjutkan ucapan itu, Soedarpo mengatakan, satu-satunya harapan yang ia inginkan terwujud adalah melihat anak-cucu dan generasi memberdayakan diri mereka untuk mengisi kemerdekaan dengan kemandirian berkarya.
"Kemerdekaan di negeri ini masih kemerdekaan administratif. Banyak urusan di negeri ini masih dikerjakan orang asing. Makanya, jangan gampang saja jadi pegawai negeri, kerjakan yang di luar itu. Isi kekosongan di masyarakat," tuturnya. (DAY/HAR/FAJ)
Sumber: Kompas, Selasa, 23 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment