-- Mohamad Ali Hisyam*
TAK ada karnaval budaya apa pun yang rasanya lebih semarak dan masif dibandingkan kebiasaan masyarakat Indonesia mudik lebaran ke kampung halaman.
Tradisi mudik sudah menjadi ritus tahunan yang menjelma sebagai perayaan keagamaan,sekaligus euforia sosial yang menguras banyak belanja kapital serta energi kemanusiaan. Secara sosiologis,mudik merupakan ajang tamasya budaya dan dalam berbagai sisi memunculkan sirkulasi tata kehidupan.
Dalam pelbagai bentuknya, migrasi besar-besaran yang ditimbulkan akibat mudik,selalu melahirkan dilema dan problema sosial yang silang sengkarut. Kebiasaan guna rehat dari kesibukan keseharian bagi orang-orang kota dengan cara menikmati nuansa kampung halaman,amat membantu mereka mempersegar (refreshing) etos kerja.
Walaupun tak dapat pula dipungkiri, mudik merupakan gerbang pembengkakan dari arus urbanisasi masyarakat yang hingga kini menyisakan dilema yang sukar diurai. Terlepas dari segala dampak yang ditimbulkannya, Jean Couteau (2007) menilai, fenomena tamasya budaya semacam ini adalah wahana strategis untuk menata kembali tata ruang kebudayaan dalam skala yang luas.
Masih banyak ruang budaya yang belum terelaborasi dan terjamah oleh tangan peradaban.Ia merupakan peluang bagi pelaku budaya dan kesenian kita agar lebih sudi memperlebar spektrum kebudayaan sebagai lahan hijau dalam menggali gagasan dan inspirasi-inspirasi baru.
Kaum urban yang datang ke kota bermaksud menggantang harapan hidup mereka ke arah yang lebih baik. Pada saat itulah, naluri dan nurani mereka terpaksa bersitatap dengan realitas sosial yang mungkin sama sekali belum pernahterbayangkan di benak mereka sebelumnya. Mereka memiliki kesempatan secara langsung membuktikan bahwa adagium ”Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri” adalah satir pahit dari kehidupan metropolis sesungguhnya dan bukan hanya isapan jempol.
Dalam konteks sastra budaya, pergumulan sosial semacam ini membuka kemungkinan lahirnya respons kemanusiaan yang bisa diabadikan dalam bentuk karya. Cerpenis Hudan Hidayat dan Joni Ardianata adalah segelintir contoh dari pelaku sastra yang lahir dari rahim kejam peradaban kota.
Di samping Hudan dan Joni, tentu masih banyak sastrawan/wati yang berasal dari kalangan buruh yang hingga kini tetap intens menghasilkan karya sastra. Di luar dominasi kegetiran yang mengilhami karya mereka, ada sebuah spirit dan etos yang membuat mereka tetap eksis,yakni keinginan dan harapan untuk berubah serta ikhtiar menuju perbaikan hidup ke arah yang lebih humanis.
Di lain sisi, orang-orangkota(termasuk di dalamnya rombongan sastrawan) yang memburu kesenyapan dan ketenangan hingga ke pelosok kampung, dapat mengoleksi berita dan cerita baru sebagai ransum bagi inspirasi karya mereka. Panorama alam yang hijau ranau serta kepolosan khas masyarakat pedesaan bisa menjadi oase yang memantulkan kesegaran, sekaligus ketegaran hidup yang secara otokratis mengajak menuju pemaknaan kemanusiaan dalam bingkai yang sejuk dan jernih.
Dengan kata lain, aktivitas mudik bukan sekadar lalu lalang perpindahan penduduk yang bergerak massal.Sebaliknya, fenomena mudik tak ubahnya ziarah lintas wilayah yang menuntut manusia (pemudik) berjumpadenganpelbagaitipe manusia dan karakter sosial yang amat plural. Pada dimensi filosofis, mudik merupakan perlambang dari kesadaran manusia menjalankan hidupnya dalam satu garis linear (hablun min an-naas) untuk menuju titik pusat transendensi, berupa perlindungan Tuhan (hablun min Allah) serta restu leluhur (ridha alwalidayn).
Tepat di aras inilah, makna hakiki dari lebaran sebagai silaturahmi kemanusiaan yang mampu menihilkan noda dan dosa, menjadi menemukan momentum pembenarannya. Meminjam istilah Mochtar Naim (1999), fenomena kebudayaan seperti ini memiliki potensi memadukan beragam kutub termasuk persinggungan dinamis antara (masyarakat) arus bawah dan arus atas. Berawal dari dialektika ini, anasiranasir konflik dimungkinkan luruh dan menjadi harmoni (rapprochements) yang saling mengayomi dan lintas batas.
Sastra dan Jembatan Budaya
Berkaca dari kenyataan bahwa ritus mudik adalah safari lintas budaya (transkultur), kita seakan diingatkan kembali terhadap panorama serupa yang terjadi di dunia sastra. Fenomena transkulturalisme dalam sastra merupakan wacana lawas yang–– dalam konteks ini— penting untuk direnung ulang, baik esensi maupun kontekstualisasinya. Sejumlah alasan dapat dikemukakan dalam kaitan ini.
Pertama, karya sastra adalah ruang semesta.Dengan ketajaman dan keliarannya, ia bisa menembus dan melintasi apa saja, termasuk di sini sekat budaya,batas bangsa,tabir agama hingga tangga-tangga hierarki kasta.
Kedua, adanya kecenderungan sementara sastrawan untuk mengabadikan tapak tilas mereka dalam karya sastra.Perjalanan mudik yang melelahkan berpotensi mengendapkan sekaligus mengabadikan kenangan yang menarik selama dalam perjalanan.
Ketiga, nyaris tak bisa ditampik bahwa––dengan wataknya sebagai ruang semesta itulah––karya sastra juga telah sertamerta mengekalkan kerinduan (mungkin juga dendam) seseorang terhadap belahan bumi leluhur yang pernah dihuni, disinggahi,dan dilahirkannya.
Bertolak dari lanskap di atas,kita bisa menangkap kecenderungan akan tumbuhnya karya sastra sebagai ”sarana tamasya”dalam khazanah kesusastraan kita.Konsep transkulturalisme yang digagas Kaplan telah dipraktikkan secara nyata oleh para sastrawan, baik lewat karya sajak maupun roman (prosa). Gejala seperti ini terasa kian menguat manakala dipandang dari sudut otentisitas dan empirisitas karya.
Serupa seorang pengelana (musafir) yang sedang menikmati perjalanan mudik,kepekaan seorang sastrawan ditantang untuk dituangkan dalam bentuk media ungkap yang estetik.Muncul kemudian pertanyaan, bisakah, misalnya, seorang sastrawan hanyut dan melancong sedemikian jauh hingga meninggalkan pijakan muasal (empiris) yang dijejaknya?
Belantika sastra mutakhir kita menunjukkan tidak sedikit para sastrawan yang mampu mengabadikan pengalamannya saat ia menjadi musafir di negeri orang,lalu mengemasnya saat mereka pulang (mudik).Sebutlah antara lain antologi puisi Refrein di Sudut Dam,karya penyair D Zawawi Imron. Di sini,Zawawi benar-benar menjadikan kemahirannya mengolah kata, sebagai ”album”terbaik untuk mengenang ziarah yang telah mampu memukaunya selama di Belanda.
Begitu pula saat Acep Zamzam Noor melukiskan ziarahnya ke Eropa (Italia) melalui antologi puisinya, Di Atas Umbria. Pada derajat tertentu, kita pun dibuat terperangah oleh keberanian ”sastrawan pesantren” yang satu ini dalam menarikan ”kuas-kuas”syair di atas kanvas pemandangan negeri spageti. Dengan piawai, Acep menunjukkan kemahirannya menggambarkan sudutsudut Italia, mulai kekhusyukan di jazirah suci Roma, kegemerlapan di Milan, hingga keelokan alam di kota cinta Venezia.
Hal yang sama pernah pula dilakukan almarhum Umar Kayam lewat cerita pendeknya yang genial dan memukau, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Latar keriuhan kota termasyhur di Amerika ini,di tangan Kayam menjelma ramuan cerita yang padat, kuat, dan memikat.Esai-esai reflektif Emha Ainun Nadjib yang terhimpun dalam antologi Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan juga termasuk karya dalam kategori ini.
Guna lebih menopang simtom tersebut, bisa pula kita sodorkan karya-karya Agam Wispy dan kawan-kawan yang dengan keteguhan hati turut mengukuhkan kelestarian sastra eksil Indonesia saat mereka mengasingkan diri menuju Rusia. Beberapa amsal di atas, kian menandaskan kesimpulan bahwa negeri seberang (baca: di luar kampung halaman) menjadi wahana yang baik dan alternatif dalam mewadahi imajinasi dan kreativitas sastrawi.
Dengan demikian, sastra lintas budaya menjadi tidak melulu dipandang sebagai tulisan tentang kampung seberang dari perspektif kampung halaman, namun juga bisa sebaliknya. Pilihan sastra transkultur seperti ini ditempuh sementara orang demi mencari lingkungan yang lebih sunyi, steril, dan ”aman” sehingga memungkinkannya guna menyuguhkan pengalaman dan harapan secara lebih jernih, berani, dan elegan.Demikian halnya dengan tradisi mudik.
Demi semangat berbagi dan bersua dengan sanak famili,saban tahun ia jalankan dengan kelegaan hati kendati harus menempuh bentangan jarak yang jauh dan balutan keletihan yang tak sebentar. Menurut Mochtar Lubis, melestarikan kebiasaan sosial seperti mudik ini sama halnya dengan memelihara salah satu akar budaya nenek moyang yang diwariskan sejak zaman megalit lampau.
Meski memang saat ini, mudik cenderung dikemas sebagai ”komoditas” sosial dalam kemasan modern yang semakin hari kian hingar-bingar dan termodifikasi dalam banyak versi. Pada akhirnya, pesan kemanusiaan ritual mudik sejatinya sebanding dan bisa ditarik sealur dengan spirit sastra transkultur. Keduanya telah mengingatkan kita bahwa ”sejauh-jauh (sastra,dan manusia) berkelana, toh akhirnya tetap akan pulang jua”.(*)
* Mohamad Ali Hisyam, Penikmat Sastra, Pengajar di Universitas Trunojoyo
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 7 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment