Sunday, October 28, 2007

Esai: 'Gerakan Tirani Sastra' Taufiq Ismail

-- Binhad Nurrohmat*

Akademi Jakarta (AJ) menyelenggarakan diskusi bertopik seputar cakrawala penciptaan dan pemikiran pada Agustus 2007 lalu di TIM, Jakarta, yang mendatangkan pembicara antara lain Yudi Latif dan Karlina Leksono serta dihadiri anggota AJ antara lain Rendra, Nh. Dini, Rosihan Anwar, Ahmad Syafii Maarif, dan Misbach Yusa Biran. Dalam diskusi itu saya mempertanyakan dan menuntut pertanggungjawaban AJ yang menggelar acara Pidato Kebudayaan Akademi Jakarta 2006 oleh Taufiq Ismail yang berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” di TIM, Jakarta, Desember 2006 silam.

Isi pertanyaan dan tuntutan saya itu relevan dengan topik diskusi itu. Apa maksud dan tujuan isi pidato karangan Taufiq Ismail (TI) itu? Kenapa pidato yang sesak eforia hujatan dan penistaan terhadap karya sastra itu disokong oleh AJ?

Alasan pertanyaan dan tuntutan saya itu adalah isi pidato TI itu bertentangan dengan semangat penciptaan dan apresiasi yang mestinya dihormati dan dijunjung tinggi oleh AJ. Selain itu, isi pidato TI itu berpotensi merangsang terbentuknya opini publik yang menyesatkan serta menggalang dan menggerakkan massa yang terprovokasi pidato penyair Tirani dan Benteng itu.
Tanpa disangka Misbach tiba-tiba menyela dan mengatakan forum diskusi itu bukan tempat mempertanyakan masalah pidato Taufiq itu. Aih, apakah Misbach berani mengatakan itu karena dia anggota AJ? Oke, balas saya kepada Misbach. Lantas, saya bertanya: bila bukan dalam forum diskusi itu, kapan dan di mana saya diperkenankan mempertanyakan masalah pidato TI itu? Misbah bungkam, Nh. Dini dan Rosihan Anwar juga bungkam. Tapi, Rendra segera angkat bicara dan berterima kasih atas pertanyaan dan tuntutan saya itu dan berjanji bakal membawa “masalah” pidato Taufiq itu dalam rapat AJ dan hasil rapat itu akan dikabarkan ke saya. Rendra telah “menyelamatkan” muka AJ dalam diskusi itu.

Akademi Jakarta dan Taufiq Ismail Harus Mohon Maaf!

TI secara tiranik menguasai mimbar “kekuasaan” AJ dan menggenggam erat mikrofonnya untuk mengumandangkan pidato yang bertujuan membumi hangus semangat penciptaan dan apresiasi sastra yang berbeda pandangan dengannya. Ulah pongah petinggi majalah Horison itu terwujud lantaran sukses memanfaatkan kekuasaan AJ, bukan karena kekuatan gagasan intelektual, dan yang tanpa rasa malu secuil pun mengklaim adanya Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) di negeri ini dan yang dituduhnya sebagai “maling dan garong genitalia, berserikat dengan alkohol, nikotin dan narkoba, menjadi perantara kriminalitas di masyarakat luas, mencecerkan HIV-AIDS dan aborsi, bersuluh bulan dan matahari “ sebagaimana alenia akhir pidatonya itu.

Berawal dari isi pidato itu, berkecamuklah perseteruan demi perseteruan antar (kelompok) sastrawan serta meruyakkan kedangkalan pikiran nan seram dan menyesatkan melalui tulisan keras membara di koran maupun forum sastra yang riuh suara hujatan dan nistaan. Sungguh, pidato produk tirani TI itu sukses menabuh genderang perang dan menyulut gerakan yang menghujat dan menindas kecenderungan tertentu dalam penciptaan sastra di negeri ini.

Dari mimbar pidato AJ itu kehebohan yang tak perlu dan berbahaya menggelindingkan bola salju percekcokan demi percekcokan dari koran ke koran, dari sms ke sms, dari mulut ke mulut, dari milis ke milis, dari forum ke forum, dari kota ke kota. Hasilnya: pertengkaran demi pertengkaran belaka. Dari hulu beracun, sampai muara pun racun. Efek pidato buruk TI itu memecah belah antar (kelompok) sastrawan dan mencemari kesehatan iklim penciptaan di negeri ini.

Sungguh memprihatinkan, bukan? Tapi, AJ tampak tak mau tahu atau mendengar percekcokan demi percekcokan berbahaya akibat pidato TI itu atau pura-pura tak menyimak belaka. Ah, kura-kura Akademi Jakarta dan Taufiq Ismail dalam perahu.

AJ dan TI harus mohon maaf secara terbuka kepada khalayak atas pidato itu dan semua dampak buruknya, sebab merekalah biang kerok percekcokan antar (kelompok) sastrawan itu. Jika tak mohon maaf, sesungguhnya AJ memberangus sendiri kehormatannya lantaran secara terbuka “mendukung” gerakan tirani sastra TI itu.

Aku Pidato, Maka Aku Ada

TI berhasil menunggangi AJ untuk kepentingan pandangan sastranya serta meminggirkan, menindas, dan mengganyang pandangan sastra yang berbeda dengannya. Jargon orisinil karangan TI yang digemakan melalui mimbar pidato Akademi Jakarta itu maupun tulisannya di media massa, misalnya Gerakan Syahwat Merdeka (GSM), Sastra Mazhab Selangkang (SMS), dan Fiksi Alat Kelamin (FAK) begitu gemilang mencuri dan meracuni opini publik dan jadi senjata massal yang gampang digunakan oleh sejumlah pihak untuk menyerang pengarang dan karya yang diklaim sebagai komponen GSM, SMS, atau FAK.

Sesungguhnya, tanpa dasar teori atau ayat suci pun, menurut akal sehat isi pidato TI itu terbukti ngawur sama sekali, sebab GSM, SMS, dan FAK itu dalam kenyataannya tak ada. GSM, SMS, dan FAK merupakan jargon orisinil karangan TI untuk menista karya sastra belaka. Jargon-jargon itu bentuk kelicikan bahasa intrik TI untuk menghancurkan citra karya sastra menurut opini pribadinya yang sarat kebencian dan permusuhan.

Apa dasar Taufiq mengklaim adanya GSM, SMS, dan FAK dalam sastra? Jika dasarnya adalah erotisme, apakah erotisme merupakan kesalahan dan apakah ukuran erotis atau bukan? Jika dasarnya adalah unsur kecabulan, apa batas kecabulan atau bukan?

Isi pidato TI di mimbar AJ itu sama sekali bukan apresiasi yang sehat lantaran tak proporsional dalam menilai karya sastra. TI tak mendasarkan isi pidatonya pada kenyataan karya sastra dan cara pandang yang adil terhadap karya sastra. Bila pun isi pidato TI itu menghebohkan, diamini, dan direaksi banyak orang, tak lain dan tak bukan karena efek sensasi tong kosong nyaring bunyinya. Ah, agaknya sang penyair Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia itu pemeluk teguh paham “Aku pidato, maka aku ada”. Ah, bikin malu saja!

* Binhad Nurrohmat, Penyair

Sumber: Borneonews, Minggu, 28 Oktober 2007

No comments: