Thursday, October 25, 2007

Opini: Mari Berbahasa dengan Baik

-- S Sahala Tua Saragih*

"Kami Poetra dan Poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."

Andaikata tokoh-tokoh pencetus tiga ikrar dalam Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) kini hidup kembali mungkin mereka menangis, sedih sekali, karena perilaku berbahasa Indonesia sebagian (?) orang di negeri ini. Betapa tak sangat sedih, mereka menyaksikan orang-orang Indonesia sekarang, dari kalangan tertinggi hingga terendah, yang tidak menjunjung tinggi bahasa nasional kita sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menjunjung berarti menuruti, menaati. Sedangkan menjunjung tinggi berarti memuliakan, menghargai, dan menaati. Nah, apakah kita masih menjunjung bahasa persatuan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini periksalah diri masing-masing.

Lihatlah nama acara-acara di stasiun-stasiun televisi, siaran nasional, dan daerah. Simaklah laporan kalangan wartawan televisi dan radio (mereka pakai istilah reporter). Perhatikanlah ucapan-ucapan pembawa acara (mereka menyebutnya presenter) di layar kaca. Dengarlah dengan cermat bahasa mereka yang sehari-hari tampil di televisi, dalam acara apa pun.

Dengarlah nama-nama acara di stasiun-stasiun radio siaran. Bacalah nama-nama rubrik di media massa cetak. Perhatikanlah judul buku-buku fiksi dan nonfiksi yang dijual di toko-toko buku, di pasar buku, atau di kaki lima sekalipun. Simaklah dosen dan guru (terutama yang masih muda) yang sedang mengajar di depan kelas. Dengarkanlah petinggi atau pejabat negara yang sedang berpidato atau berbicara kepada wartawan.

Simaklah bahasa kalangan wartawan kita, terutama yang muda-muda. Dengarkanlah dengan cermat ucapan-ucapan anggota DPR dan DPRD yang sedang bekerja (bersidang atau berdebat).

Tiap detik dengan mudah kita mendengarkan bahasa buruk. Contohnya, gue banget, thank you banget, ya!, please, eh, jangan ngomongin aib pacarnya dia, demikian laporan reporter kami, dia presenter, sampai jumpa pada headline news satu jam mendatang, To day's dialouge kita malam ini..., Top nine news, Top of the top, kita harus bekerja sesuai dengan rundown."

Contoh-contoh lainnya, jumlah anggota DPR menerima voucer (tanpa h pula), kalau mereka hanya terima parsel sih, it's ok, tapi..., apa berita di On This Day hari ini?, kita wajib men-sharing-kan pengetahuan kita kepada orang lain, di ruangan inilah tempatnya dia men-dubbing, biaya maintenance-nya sangat mahal banget, ngapain kita repot-repot, outsourcing-kan aja, ini benar- benar big bang kita tahun ini.

Bacalah judul buku-buku (bukan terjemahan) yang pakai bahasa asing (Inggris). Isinya hampir 100 persen bahasa Indonesia. Mereka "menggado-gadokan" bahasa Indonesia, Inggris dan dialek Jakarta. Inilah ciri khas sebagian (?) orang masa kini dalam hal berbahasa persatuan. Realitas perilaku berbahasa yang demikian tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi hampir di semua kota di Tanah Air.

Bila Anda sering menginap di berbagai kota dengarkanlah radio-radio anak muda. Tonton juga tayangan stasiun-stasiun televisi daerah setempat. Dengan cepat Anda menyimpulkan, bahasa mereka sama dengan bahasa kalangan penyiar radio dan televisi di Jakarta.

Hukum D-M

Para tokoh dan pakar linguistik kita sudah lama mengkritik perilaku berbahasa buruk tersebut, baik melalui media massa cetak dan elektronik maupun melalui forum-forum ilmah dan buku-buku. Ada dua tokoh, meskipun bukan doktor lingusitik, yang sangat sering mengungkapkan kegeraman atas perilaku buruk berbahasa ini, yakni Prof Dr Sudjoko (almarhum) dan Yopie Tambayong alias Remy Sylado.

Sampai detik ini, pemerintah, para tokoh dan ahli linguistik belum pernah mengubah hukum Diterangkan-Menerangkan (D-M) menjadi hukum Menerangkan-Diterangkan (M-D). Tapi, lihatlah nama berbagai stasiun televisi dan radio di Tanah Air, baik yang berlingkup nasional maupun daerah. Mereka memberi nama stasiun televisi dengan menggunakan hukum M-D. Penggunaan hukum M-D yang lazim diterapkan dalam bahasa Inggris ini juga dengan mudah kita saksikan dalam nama-nama dunia usaha.

Kesimpulan kita, semakin lama semakin banyak orang yang berbahasa Indonesia dengan seenaknya, tidak mengindahkan norma atau aturan berbahasa yang berlaku resmi. Kalau benar isi pepatah lama, "Bahasa menunjukkan bangsa", maka untuk mengetahui dan mengurai "wajah" negara dan bangsa kita kini tak usah mendatangkan ahli dari Amerika Serikat atau Australia.

Perilaku kita dalam berbahasa persatuan menunjukkan "wajah" bangsa kita. Salah satu ciri buruk yang sangat menonjol pastilah suka bertindak seenaknya sendiri. Tentu saja halaman koran ini terlalu sempit bila kita memaparkan semua bukti ketidak-mauan untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan yang dirumuskan dengan sangat baik dan dengan jiwa besar pada 1928. Apalagi kalau kita menguraikan berbagai kesalahan lainnya, seperti penjungkirbalikan logika bahasa (kerancuan berpikir), salah diksi, salah struktur, salah ejaan, salah tanda baca, dan lain-lain.

Usaha Bersama

Untuk mengobati "penyakit" berbahasa yang sudah parah diperlukan usaha bersama semua pemangku kepentingan bahasa Indonesia untuk kembali menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa atau orang Indonesia. Warga negara yang sangat bangga sebagai orang Indonesia tentunya (seharusnya) juga mencintai bahasa nasionalnya sendiri. Kita, putra-putri Indonesia abad 21, yang benar-benar mencintai bahasa Indonesia pastilah menjungjung tinggi bahasa persatuan kita. Untuk mendukung usaha serius ini, pemerintah dan DPR perlu segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Kebahasaan yang dibuat tahun lalu.

Banyak bangsa lain, seperti Filipina dan India, merasa iri dan sangat terkagum-kagum terhadap bangsa kita karena memiliki bahasa persatuan, bahasa negara, bahasa nasional. Ini merupakan salah satu jati diri asli bangsa kita.

Dalam rangka Hari Sumpah Pemuda ini marilah kita mulai tumbuhkan kembali kesadaran dalam diri masing-masing untuk berbahasa Indonesia dengan baik, benar, dan indah. Ketika berbahasa asing, berbahasa asinglah dengan baik! Ketika berbahasa daerah, berbahasa daerahlah dengan baik! Ketika berbahasa nasional, berbahasa nasionallah dengan baik pula!

* S Sahala Tua Saragih, pengamat masalah bahasa nasional, wartawan, dan dosen Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad, Jatinangor, Jawa Barat

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 25 Oktober 2007

No comments: