* Claudine Salmon, Orang Pertama Penerima Nabil Award
Jakarta, Kompas - Agar cita-cita Indonesia yang bersatu benar-benar tercapai, upaya saling sapa antarkomunitas perlu terus digalang. Apalagi proses menjadi Indonesia belum rampung dan itu dialami oleh semua unsur pembentuk bangsa.
Demikian terungkap dalam pidato sambutan Ahmad Syafii Maarif—yang dibacakan cendekiawan Muslim Yudi Latief—dalam penyerahan Nabil Award kepada Claudine Salmon (69), Kamis (25/10) malam. Syafii yang menjadi ketua dewan juri dalam pemberian penghargaan tersebut berhalangan hadir.
Nabil Award merupakan penghargaan yang diberikan kepada para tokoh yang berjasa dalam mendukung kehidupan pluralis. Jasa Claudine antara lain dalam berbagai kajian dan penelitiannya terkait peran orang Tionghoa di Indonesia dalam kesusastraan.
Dalam sambutan tersebut diungkapkan bahwa orang Tionghoa merupakan salah satu unsur pembentuk Indonesia, seperti halnya unsur-unsur lain. Karya- karya Claudine membuktikan peran serta Tionghoa dalam pembangunan bangsa dan pembentukan Indonesia modern. Orang Tionghoa antara lain berperan besar dalam penyebaran bahasa Melayu dan percepatan penyebaran Islam di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, semua pihak antargolongan dan suku harus saling mengerti dan berbagi sehingga tercipta Indonesia yang elok dan ramah bagi semua.
Penghargaan berupa piagam, pin emas Nabil Award, plakat kristal, dan hadiah uang Rp 50 juta diberikan secara bergantian oleh anggota dewan juri, yakni pendiri harian Kompas Jakob Oetama, Siti Musdah Mulia, Franz Magnis-Suseno, dan Adrian B Lapian. Anggota juri lainnya, yakni Dorodjatun Kuntjoro- Jakti, juga berhalangan hadir.
Dalam kesempatan itu, Claudine berterima kasih atas penghargaan tersebut. Dia juga mempersembahkan penghargaan tersebut kepada orang-orang yang membantu penelitian dan kajiannya di Indonesia bertahun-tahun lampau. Sebagian dari mereka kini telah meninggal dunia.
Orang pertama
Claudine Salmon (69) adalah penerima Nabil Award pertama dari Yayasan Nabil di Jakarta. Keputusan dewan juri itu didasari beberapa pertimbangan. Walau bukan yang pertama, Claudine Salmon adalah orang pertama yang membuktikan secara ilmiah bahwa kesusastraan yang dijuluki "Melayu-China" sebenarnya bagian tak terpisahkan dari perkembangan kesusastraan Indonesia.
Ia berhasil mengidentifikasi 3.005 karya dari 806 penulis, memberi ringkasan isi ceritanya dan menampilkan biodata para penulisnya, sehingga buku itu tidak sekadar katalog, tetapi juga merupakan ensiklopedia kesusastraan Melayu-Tionghoa.
Dewan juri juga melihat adanya satu paham yang mengilhami seluruh karyanya, yaitu keikutsertaan yang aktif dan integrasi orang Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Dalam 301 karya yang terbagi dalam sembilan kategori, secara tersurat Claudine menyatakan, orang Tionghoa di Indonesia adalah elemen yang tidak terpisahkan dari apa yang disebut bangsa Indonesia.
Claudine Salmon dilahirkan di Desa Bruyeres, Perancis Timur, tahun 1938. Ia menyelesaikan studi bahasa China di Ecole Nationale des Langues Orientales (Sekolah Nasional Bahasa-bahasa dan Kebudayaan Timur) tahun 1962. Gelar sarjana hukum diraih dari Faculte de Droit, Universitas Sorbonne, Paris (1963), sarjana humaniora dari universitas yang sama (1964), serta master dari Ecole Pratique Hautes Etudes tahun 1969.
Tahun 1970 ia meraih gelar doktor melalui disertasi tentang sejarah akulturasi suku minoritas di Provinsi Guizhou, Tiongkok Barat Daya, pada abad ke-18, yang diterbitkan sebagai buku dua tahun kemudian. Ia menguasai secara aktif bahasa Perancis, Indonesia, Inggris, dan Mandarin serta secara pasif bahasa Belanda, Jepang, Jerman, Portugis, Hokkian, serta Vietnam.
Claudine menikah dengan ilmuwan Denys Lombard (1938- 1998), ahli terkemuka Asia dan Indonesia. Perkenalannya dengan Indonesia berawal tahun 1967 ketika mengikuti suaminya bertugas sebagai kepala perwakilan Ecole Francais d’Extreme Orient (EFEO), lembaga penelitian nasional Perancis mengenai Timur Jauh (Asia). Saat itu masyarakat Tionghoa Indonesia sedang mengalami berbagai pembatasan, pascatragedi 1965.
Adapun Yayasan Nabil didirikan Eddie Lembong tahun 2006. Tujuan utamanya berpartisipasi aktif dalam nation-building, antara lain dengan memajukan dan meningkatkan hubungan antaretnik dan menyelesaikan secara tuntas apa yang disebut sebagai "masalah Tionghoa di Indonesia", masalah nasional warisan sejarah kolonial. (MH/NMP/ine)
Sumber: Kompas, Jumat, 26 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment