Jalan hidup Doris Lessing terbentang berliku antara Kermanshah dan Stockholm, dari Persia sampai Swedia.
Perempuan panjang umur ini dilahirkan 22 Oktober 1919 di Kermanshah, Persia (kini disebut Iran), sebagai Doris May Tayler. Nama belakang Lessing berasal dari nama keluarga suami keduanya yang hingga kini terus disandangnya.
Saat Doris lahir, ayahnya yang kelahiran Inggris dan kehilangan sebelah kaki dalam Perang Dunia I, Alfred Cook Tayler, bekerja di Bank Negara Persia. Ibunya, Emily McVeagh, adalah mantan juru rawat.
Saat Doris berumur lima tahun, keluarganya pindah ke Lomagundi, Rhodesia (kini Zimbabwe), Afrika, demi mencari penghidupan yang lebih baik. Di sana Doris tumbuh bersama adik lelakinya, Harry. Masa kecilnya dilalui dengan sepi. Tetangga terdekat mereka tinggal beberapa kilometer jauhnya dan belum ada jalan yang bagus di antara tanah pertanian mereka.
Doris minggat dari rumah saat berumur 15 tahun dan tak pernah menamatkan SMA-nya. Dia belajar secara otodidak dengan banyak membaca.
Ketika baru menginjak usia 18 tahun, Doris menikahi Frank Wisdom. Mereka dianugerahi dua anak. Namun, empat tahun kemudian mereka bercerai.
Pada 1945 Doris mengawini Gottfried Lessing, sesama aktivis Left Book Club, sebuah organisasi komunis. Perkawinan mereka melahirkan anak lelaki bernama Peter. Perkawinan keduanya itu bertahan empat tahun. Doris lalu memboyong Peter ke Inggris pada 1949 setelah bercerai dari Gottfried dan hingga kini dia menetap di London.
Sejak 1950-an Doris membiayai hidupnya dan anaknya dengan menulis. Merasa kecewa dengan gerakan komunis di negaranya, seperti halnya Jos? Saramago --pengarang Portugal peraih Hadiah Nobel Sastra 1996-- dia kemudian keluar dari partai komunis. Namun, pandangan politisnya yang radikal jelas tergambar dalam karya-karyanya.
Doris kemudian malah tertarik pada sufisme. Pada 1979 dia mendirikan lembaga dana sufi dengan menyumbang seratus ribu dolar dari tabungannya.
Pengabdiannya yang panjang dalam dunia sastra membuahkan puluhan karya dari beragam genre, termasuk puisi, lakon drama, kisah misteri, sains-fiksi, dan cerita anak. Ibarat buah kelapa yang makin tua makin bersantan, Doris terus produktif berkarya. Saat ini dia tengah menulis sebuah novel berjudul Alfred and Emily (diambil dari nama ayah dan ibunya) yang digarapnya sejak November tahun lalu. Novel itu diilhami masa lalu dan kisah cinta kedua orang tuanya dengan berlatar zaman sebelum Perang Dunia I.
Buku-buku Doris telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Oleh para pengamat sastra, karya-karyanya dianggap berpengaruh luas terhadap para penulis dari generasi setelahnya, seperti Toni Morrison (pemenang Nobel Sastra 1994 dari Amerika Serikat), Margaret Atwood (pemenang Booker Prize 2000 asal Kanada), dan Joyce Carol Oates (pengarang terkemuka AS).
Berbagai penghargaan resmi pun telah didapat Doris, termasuk Somerset Maugham Award (1954), Shakespeare Prize (1982), hadiah sastra dari pemerintah Austria (1982), dan WH Smith Award (1985).
Sebelum Oktober ini, Erica Jong, penulis ternama yang menghebohkan AS karena keterbukaannya dalam menuliskan seksualitas perempuan dalam novel laris Fear of Flying (1973), mengomentari Doris seperti ini dalam sebuah esainya, "Saya sangat mengagumi Doris Lessing yang telah menulis berpuluh-puluh buku, tapi tak pernah mendapat Hadiah Nobel, mungkin hanya karena dia seorang perempuan. Dia tumbuh di Rhodesia, kini Zimbabwe, dan telah menulis autobiografi, novel sains-fiksi, novel kontemporer, dan cerita pendek. Dan dia menulis dengan indah tentang persoalan rasial di Afrika. Dia adalah seorang tokoh dunia yang luar biasa."
Dalam sebuah wawancara dengan Harvey Blume yang dimuat harian The Boston Globe Agustus 2007 silam, tak lama setelah penerbitan novel terakhirnya, The Cleft, Doris ditanya mengapa hingga saat itu dia tak kunjung mendapat Hadiah Nobel.
Doris menjawab, "Ada satu cerita… Suatu kali dalam sebuah pesta makan malam di Swedia ketika penerbit novel saya dalam edisi bahasa Swedia masih hidup, seorang lelaki mungil berambut kelabu yang merupakan anggota Akademi Swedia duduk di samping saya dan berkata, 'Anda tak akan pernah mendapat Hadiah Nobel karena kami tak menyukai Anda.' Saya terkejut dan tak menyahut. Saya bahkan tidak tahu mengapa mereka tak menyukai saya…"
Kini sepotong kisah kelabu itu berganti kenyataan manis. Doris diumumkan sebagai peraih Hadiah Nobel Sastra tahun ini dan berhak atas medali emas bergambar wajah Alfred Nobel beserta uang sebesar 10 juta krona atau sekitar Rp 14,5 miliar yang akan diserahkan dalam upacara resmi di Stockholm, Swedia, 10 Desember 2007.
Kemenangan Doris disambut hangat oleh banyak pihak. Dia dinilai amat layak mendapatkannya setelah puluhan tahun teguh berkarya. (Anton Kurnia)
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment