Wednesday, October 10, 2007

Obituari: Penyair 'Pahlawan Tak Dikenal' telah Tiada

SEPULUH tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

.......

INILAH sepenggal sajak 'Pahlawan Tak Dikenal' karya penyair Toto Sudarto Bachtiar. Dunia kepenyairan Indonesia kembali kehilangan salah seorang tokohnya. Selasa (9/10) pagi sekitar pukul 07.00 WIB Toto Sudarto, salah seorang tonggak sastra tahun 1950-an, meninggal dunia di Cisaga, Banjar, Jawa Barat, dalam usia 78 tahun.

Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929 itu meninggalkan istri Zainar, seorang putri Dilla dan dua orang cucu. Almarhum sebelum meninggal mengeluh sakit kepala ketika menunggu travel yang akan membawanya ke Bandung sekitar pukul 05.50 WIB.

"Bapak tidak punya penyakit berat. Seperti kebiasaan beliau setiap bulan Ramadan, dia ke Banjar untuk mencari ayam kampung yang akan dimasak untuk Lebaran," tutur Didin Kusdiana, 45, menantu Toto.

Kerabat Toto yang juga seniman Mohamad Sunjaya mengungkapkan, Toto pernah menderita gangguan jantung beberapa tahun lalu. Namun, sudah lama dia tidak mengeluhkan penyakitnya itu.

"Bahkan, dia masih sangat aktif bermain dan melatih tenis lapangan. Setiap ketemu saya, dia selalu menyatakan kondisinya baik dan sehat," tutur Sunjaya.

Setelah dibawa dari Banjar, jenazah Toto disemayamkan di rumah duka di Jl Situ Batu 6, Kota Bandung. Sore harinya, jasadnya dikebumikan di Pemakaman Umum Gumuruh, Buah Batu.

Toto dikenal sebagai seniman yang santun, low profile, dan memiliki pengetahuan luas tentang sastra dan filsafat. Sunjaya menilainya sebagai penyair besar yang termasuk dalam angkatan 45 akhir.

Karya fenomenal Toto adalah kumpulan puisi Suara (1956) yang memenangi Hadiah Sastra BMKN, dan Etsa (1958). Beberapa sajak karyanya antara lain Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, Pahlawan Tak Dikenal, dan Tentang Kemerdekaan.

Pria yang mahir beberapa bahasa asing ini juga produktif menerjemahkan beberapa karya seniman luar negeri, di antaranya Pelacur (1954) karya Jean Paul Sartre, Sulaiman yang Agung (1958) karya Harold Lamb, Bunglon (1965) karya Anton Chekov, Bayangan Memudar (1975) karya Breton de Nijs, yang diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa, Pertempuran Penghabisan (1976) karya Ernest Hemingway, juga Sanyasi (1979) karya Rabindranath Tagore. (SG/EM/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 10 Oktober 2007

No comments: