Jakarta, Kompas - Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks. Dalam melihat permasalahan tersebut dan mencari solusinya dibutuhkan pendekatan transdisiplin ilmu. Untuk itu, ilmu tidak perlu terkotak-kotak dan tidak boleh berjalan dengan "kacamata kuda".
Demikian benang merah seminar nasional bertajuk "Transdisciplinarity dalam Dunia Pendidikan; Meretas Cermin Keindonesiaan melalui ’Transdisciplinarity’ Ilmu Pengetahuan" di Universitas Negeri Jakarta, Senin (29/10). Pakar pendidikan Conny R Semiawan tampil sebagai pembicara kunci dalam forum yang dihadiri sejumlah pakar kedokteran, filsafat, seni, budayawan, sosiolog, dan pakar politik.
Seperti dikemukakan Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, ahli filsafat dari Universitas Indonesia, transdisipliner sangat dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan tentang keindonesiaan dan memecahkan masalah bangsa. Dia sendiri berpendapat, permasalahan genting yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini antara lain demokratisasi yang kacau, kemandirian yang belum terwujud, karakter bangsa, sumber daya alam yang tidak dikelola dengan bijak sehingga menimbulkan kerusakan alam, serta ketidakpedulian yang sifatnya struktural dan mendalam.
"Permasalahan-permasalahan ini bukan permasalahan satu ilmu saja," kata Toeti Heraty.
Dia mencontohkan, kemiskinan yang menjadi masalah selama ini sebetulnya sangat kompleks. Kemiskinan mendorong masyarakat irasional. Demi keberlanjutan hidup, mereka melakukan apa saja. Masyarakat miskin jadi apatis, mudah bergejolak, dan ujungnya ialah kekerasan.
Hal senada diungkapkan sosiolog Imam B Prasodjo. Menurut dia, dalam melihat permasalahan di masyarakat sekarang ini ada kecenderungan terjadi pengotak- ngotakan ilmu dan masing-masing disiplin berjalan sendiri. "Kita harus mau melongok ke luar agar tahu betapa dunia sangat luas dan beragam. Kita jarang berdialog untuk membangun manusia yang utuh," ujarnya.
Terkait dengan itu semua, Conny Semiawan mengatakan, pengembangan metode pendekatan transdisipliner ilmu pengetahuan dalam kegiatan belajar- mengajar dan pendidikan memicu terciptanya pemikiran yang kreatif dan kritis. Dengan begitu, pendekatan ini memberikan solusi terhadap permasalahan kegiatan belajar-mengajar dan sistem pendidikan Indonesia yang tidak memberikan kesempatan berkembangnya kreativitas murid.
"Pola berpikir pragmatis merupakan penyebab tidak berkembangnya pendidikan di Indonesia. Proses belajar-mengajar kita monoton hanya bersandar pada kurikulum. Pendidik tak memberikan kesempatan siswa mengembangkan pikirannya dengan kreatif," kata Conny. (A15/INE)
Sumber: Kompas, Selasa, 30 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment