-- Anton Kurnia*
Di negeri kita, bulan Oktober dinyatakan sebagai bulan bahasa dan sastra.
Nun di tanah Inggris, bulan ini ditandai pengumuman pemenang hadiah sastra paling terkemuka di negeri itu dan segenap bekas wilayah jajahannya, Booker Prize (sekarang namanya menjadi Man Booker Prize setelah berganti sponsor), yang tahun ini diraih pengarang Irlandia, Anne Enright, lewat novelnya The Gathering. Sementara itu, di Swedia sana bulan Oktober adalah saat pengumuman para pemenang Hadiah Nobel, termasuk di bidang sastra.
Tahun ini banyak orang meramalkan Philip Roth (novelis ternama Amerika keturunan Yahudi) bakal terpilih sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra. Setidaknya sudah tiga tahun terakhir namanya santer disebut. Tahun lalu ia kalah dari pengarang Turki, Orhan Pamuk, yang di sini kita kenal melalui dua novelnya, Namaku Merah Kirmizi (terjemahan Atta Verin; Serambi, 2006) dan White Castle (terjemahan Fahmy Yamani; Serambi, 2007). Tahun sebelumnya, hadiah itu jatuh ke tangan Harold Pinter, dramawan Inggris.
Media massa internasional sempat menyebut pula beberapa nama calon unggulan yang beredar, di antaranya Adonis alias Ali Ahmad Said (penyair eksil Suriah yang sejumlah sajak dan bukunya telah diterjemahkan di sini), Ko Un (penyair Korea Selatan yang di negeri kita karyanya hanya sayup-sayup sampai), Milan Kundera (novelis eksil Ceko yang novelnya telah banyak diterjemahkan di sini), Carlos Fuentes (novelis Meksiko yang salah satu novelnya diterbitkan sebuah penerbit di Bandung), Assia Djebar (novelis dan sutradara asal Aljazair), Joyce Carol Oates (novelis Amerika Serikat), dan Tomas Transtr?mer (penyair Swedia).
Ada sebuah usul mengejutkan agar tahun ini penyanyi balada yang dipuja banyak orang, Bob Dylan (terlahir sebagai Robert Allen Zimmerman), mendapat penghargaan bergengsi ini. Sebagian kalangan mendukungnya dengan pertimbangan lirik-lirik lagu Dylan (yang nama panggungnya diambil dari nama penyair legendaris Wales, Dylan Thomas) memang puitis dan berpengaruh luas walaupun ia bukan penyair.
Jangan lupa, seorang Winston Churchill yang mantan perdana menteri Inggris dan jago pidato, tetapi jelas bukan sastrawan, pernah ketiban Hadiah Nobel Sastra pada 1953. Sebaliknya, pengarang terkemuka Elie Wiesel yang seumur-umur tak pernah diganjar Hadiah Nobel Sastra, justru dinyatakan sebagai pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pada 1986.
Orang boleh saja menduga-duga, tetapi keputusan sepenuhnya berada di tangan panitia. Pada 11 Oktober lalu, Akademi Swedia sebagai panitia penganugerahan Hadiah Nobel Sastra mengumumkan bahwa pemenang tahun ini adalah Doris Lessing (88), pengarang Inggris kelahiran Iran yang dibesarkan di Rhodesia (kini Zimbabwe).
Keputusan ini tidak terlalu mengejutkan walaupun nama Doris nyaris tak disebut media massa sebagai calon pemenang Nobel.
Siang itu Horace Engdahl, sekretaris tetap Akademi Swedia, seperti biasa mencoba menelepon sang pemenang 15 menit sebelum pengumuman, tetapi Doris tak dapat dihubungi lewat telefon. "Dia tidak ada, mungkin sedang berjalan-jalan dengan kucingnya. Tampaknya dia sudah tak lagi mengira akan mendapatkan penghargaan itu. Saya ingin berbicara dengannya, misalnya mengenai sejarah kolonialisme dan banyak hal lain lagi," ujar Horace kepada wartawan seperti dikutip oleh Deutsche Welle.
Dalam kesempatan itu, Horace juga menyinggung sejumlah karya Doris yang memaparkan pandangannya mengenai hubungan antara kaum perempuan dan lelaki dan membuatnya dianggap layak mendapat Hadiah Nobel. "Baginya pengalaman perempuan dan laki-laki sama pentingnya. Dia menemukan bentuk penggambaran yang membuat lelaki dan perempuan sama menariknya dan enak dibaca. Selain itu, dia sangat berarti bagi gerakan perempuan."
Doris baru mengetahui dia meraih hadiah bergengsi itu dari para wartawan yang berkumpul di depan rumahnya. Doris mengaku tak terlalu terkejut. Sudah sejak berpuluh tahun sebelumnya dia mendengar selentingan dirinya dicalonkan sebagai pemenang Nobel.
Sejarah kolonialisme Inggris dan hubungan penuh ketegangan antara kaum perempuan dan lelaki adalah tema utama dalam karya-karya Doris. Namun, meski karya-karyanya dianggap menggaungkan pengalaman kaum perempuan, Doris memiliki pandangan kritis terhadap gerakan feminisme.
Dalam sebuah wawancara empat tahun silam, dia menyatakan pendapat kontroversial, "Jika ada perubahan terhadap kondisi kaum perempuan, maka ini terjadi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan melalui gerakan feminisme. Yang mengubah kehidupan perempuan adalah mesin cuci, mesin pengisap debu dan pil KB, bukan slogan. Kalian tak akan mencapai apa pun bila hanya turun ke jalan dan meneriakkan slogan. Tujuan dapat dicapai jika kalian membentuk sebuah komite, menulis di berbagai koran, atau memilih anggota parlemen. Ini sangat sulit, jalan yang panjang dan lambat."
Doris membuktikan sendiri ucapannya itu. Dia menjadi perempuan kesebelas yang pernah menerima Hadiah Nobel Sastra, sekaligus pemenang tertua yang masih hidup, setelah terus menerus berkarya dan menuliskan gagasan-gagasannya selama lebih dari separuh abad.
Doris menulis tentang dunia batin kaum perempuan dan menolak gagasan bahwa mereka sebaiknya meninggalkan kehidupan pribadi demi perkawinan dan mengurus anak. Karena menyuarakan kemarahan kaum perempuan secara terbuka, dia pernah diserang sebagai "perempuan yang tidak feminin." Sebagai tanggapan, dia menulis, "Jelas sekali bahwa apa yang sungguh dipikirkan, dirasakan, dan dialami oleh banyak perempuan ternyata dipandang sebagai kejutan besar."
Dalam karya-karyanya, Doris juga bersuara keras menentang kolonialisme kulit putih, ketidakadilan rasial, dan penindasan terhadap kaum pribumi di Afrika. Akibat pandangan-pandangannya yang keras, penguasa Rhodesia dan Afrika Selatan menyatakannya sebagai persona non grata pada 1956.
Jejak panjang
Doris memang memiliki jejak yang panjang dalam sastra dunia. Novel pertamanya, The Grass is Singing, terbit pada 1950. Novel yang ditulisnya semasa tinggal di Afrika itu mengisahkan hubungan seorang istri petani kulit putih miskin, Mary Turner, dengan pembantunya yang berkulit hitam, Moses, yang akhirnya membunuh Mary. Novel itu bertemakan hubungan cinta dan benci di tengah konflik rasial yang mencerminkan pengalamannya saat tinggal di Rhodesia.
Oleh para kritisi sastra, novel The Golden Notebook (1962) kerap dianggap sebagai adikarya Doris. Novel pertama yang ditulisnya sejak bermukim di London itu mengisahkan curahan hati seorang perempuan sepi yang merindukan kebebasan, Anna Wulf, dalam lima buku catatan. Di dalamnya Anna yang dalam beberapa hal merupakan alter ego Doris mengungkapkan banyak hal yang terpendam dalam batinnya mengenai politik, rasialisme, dan seks.
Setelah menulis novel yang kelak terpilih sebagai satu dari seratus buku sastra terbaik sepanjang masa oleh harian Guardian itu, pada dasawarsa 1970 dan 1980-an Doris mulai tertarik mengeksplorasi sisi mistis tokoh perempuan dalam novel-novelnya semacam Briefing for Descent into Hell (1971), Memoirs of A Survivor (1974), dan Canopus in Argos: Archives (1979-1983).
Novel-novel Doris yang lain di antaranya lima serangkai novel Children of Violence (1951-1959), The Summer Before Dark (1973), The Fifth Child (1988), Mara and Dan (1999), dan The Sweetest Dream (2001). Dia juga menerbitkan dua novel dengan nama samaran Jane Somers, yakni The Diary of a Good Neighbour (1983) dan If the Old Could... (1984).
Selain novel, Doris menerbitkan sejumlah kumpulan cerpen dan karya nonfiksi, termasuk buku-buku tentang kucing, binatang kesayangannya sejak kecil. Beberapa kumpulan cerpennya adalah The Habit of Loving (1957), The Story of a Non-Marrying Man (1972), The Real Thing (1992), dan The Grandmothers (2003). Autobiografinya, Under My Skin, terbit pada 1995 dan mendapat penghargaan James Tait Black untuk buku biografi terbaik.
Hadiah Nobel Sastra dan kita
Sejak Hadiah Nobel Sastra diraih pertama kali oleh sastrawan Prancis Sully Prudhomme pada 1901 hingga saat ini, sastrawan berbahasa Indonesia yang pernah menjadi kandidat kuat pemenang hadiah paling terkemuka dalam sastra dunia itu hanyalah Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), sastrawan besar kita yang pernah dipenjarakan di Pulau Buru tanpa pengadilan oleh rezim Orde Baru selama belasan tahun (1965-1979).
Hadiah Nobel Sastra memang bukan segalanya. Banyak sastrawan terkemuka dan berpengaruh yang sepanjang hayatnya tak pernah meraih hadiah bergengsi itu, sebutlah misalnya James Joyce atau Franz Kafka. Sebaliknya, ada pula pemenang hadiah tersebut yang namanya perlahan-lahan lenyap dari ingatan. Namun, bagaimanapun Hadiah Nobel Sastra adalah sebuah tonggak pencapaian yang suka tidak suka mesti diakui wibawanya dalam peta sastra dunia.
Di balik keberhasilan individu para peraih Hadiah Nobel Sastra terbentang tradisi sastra sebuah bangsa yang berakar dan tumbuh sejak berabad-abad silam. Tradisi itu dalam wujud sederhana adalah kebiasaan membaca dan menerbitkan karya sastra, serta mewariskan pustaka sebagai pusaka yang terus dimaknai dan kemudian mewujud dalam karya-karya besar. Mereka menyumbangkan karya besar bagi umat manusia, bukan sekadar merayakan perdebatan hampa dan kebanggaan kosong.
Lalu, bagaimana dengan kita? Berapa banyak perpustakaan yang kita miliki sebagai sarana persemaian kepala dan hati anak-anak bangsa? Berapa buku sastra yang kita terbitkan dalam setahun? Berapa buku yang sempat kita baca di tengah riuh politik dan impitan ekonomi sehari-hari?
Khalayak pembaca sastra kita perlu mendapatkan lebih banyak pengalaman membaca karya-karya utama dalam peta sastra kontemporer, misalnya melalui karya terjemahan, baik melalui penerbitan buku atau publikasi di media massa. Saya kira "hal-hal kecil" semacam itu dapat bermanfaat secara luas bagi perkembangan sastra dan kebudayaan kita. Upaya seperti itu sekaligus menjadi jendela bagi terciptanya dialog antarbudaya tanpa perlu terhalang oleh sekat perbedaan bahasa.
Sementara itu, bagi kita yang lebih suka bertengkar daripada berkarya, Doris yang terus bersetia menulis dengan segala prosesnya hingga usia lanjut adalah sebuah cermin untuk mengingatkan kita. Kita sering lupa, keberhasilan adalah buah kerja keras, bukan semata-mata berkat nasib baik.***
* Anton Kurnia, Penulis buku Ensiklopedia Sastra Dunia (2006), Chief Acquisition Editor Penerbit Serambi, Jakarta. Buku terbarunya yang sedang disiapkan adalah kumpulan cerpen Cinta Semanis Racun
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment