-- Myra Sidharta*
Ketika mendapat kabar bahwa Marianne pun telah menghadap Sang Pencipta-nya, saya tentu sangat terkejut. Dia adalah yang termuda dari semua teman yang meninggalkan saya dalam dua bulan terakhir ini. Kebanyakan di antara mereka adalah berusia 90 tahun lebih, yang satu lagi berusia 82 tahun dan ada juga yang 74 tahun. Marianne "baru" berusia 64 tahun, masih belia kalau dibandingkan dengan usia saya. Meskipun selisih usia kami 16 tahun, kami bisa menjadi sahabat baik karena persahabatan memang tidak mengenal usia.
Dia dikenal sebagai Marianne atau Yetty, tetapi "apalah arti sebuah nama", kata Shakespeare. Dan, hal itu juga berlaku bagi Marianne. Dengan nama apa pun, Marianne adalah seorang penulis yang memikat. Penggunaan bahasanya secara indah adalah salah satu kunci keberhasilannya. Lagi pula, Marianne fasih dalam 10 bahasa, termasuk bahasa-bahasa Skandinavia.
Memang dia berasal dari keluarga intelektual. Ayahnya, Elvianus, berpendidikan guru dan pernah turut dalam tim penyempurnaan ejaan Bahasa Indonesia. Ia bekerja sebagai pegawai tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Agama. Ia juga turut mendirikan Universitas Kristen Indonesia. Beberapa kakaknya adalah wartawan yang terkenal, terutama Aristides, yang pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Sinar Harapan.
Sebagai anak bungsu, Marianne mendapat perhatian khusus dari ayahnya karena sebagai bekas guru, Elvianus mengerti bahwa putrinya sangat berbakat, terutama dalam mengungkapkan pikiran-pikirannya. Ia menganjurkan Marianne untuk menulis tentang apa saja yang dia baru alami atau selesai dibaca.
Sejak tahun 1951, ketika baru berusia delapan tahun, Marianne sudah dikenal sebagai penulis. Dia mengisi halaman rubrik anak-anak pada majalah Nieuwsgier, sebuah majalah berbahasa Belanda. Selain itu, tulisannya dapat ditemukan di pelbagai majalah, seperti Mutiara, Ragi Buana, Femina, dan harian Sinar Harapan.
Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas (SMA), Marianne masuk sekolah tinggi teologi (STT) dan sambil mengikuti kuliah, dia menulis beberapa karya fiksi yang sangat berbobot.
Cerpennya yang berjudul Supiyah mendapat hadiah hiburan dalam sayembara Kincir Emas yang diselenggarakan Radio Nederland dan dimuat dalam antologi cerpen Dari Jodoh sampai Supiyah.
Sebelumnya, novelnya berjudul Raumanen memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan secara bersambung dimuat dalam majalah Femina. Pada tahun 1978 ia dianugerahi penghargaan Yayasan Buku Utama untuk novelnya yang sama dan pada tahun 1982 dia memperoleh kehormatan sebagai perempuan pertama yang menerima South East Asia Writer’s Award.
Setelah itu, Marianne tidak banyak menulis karya fiksi lagi. Dia telah lulus sebagai sarjana teologi dan lebih berfokus sebagai pengajar di STT dan menulis tentang posisi perempuan.
Setelah melanjutkan studi di Institut Oecumenique Bossey, Swiss, untuk mengambil Licenciaat Theologia, dia kembali dan memulai perjuangannya untuk mengangkat harkat perempuan. Dia mulai dengan kata perempuan, yang menurut dia mempunyai arti yang sangat mendalam karena berasal dari kata mpu, yang berarti mempunyai ilmu. Kata ini jauh lebih baik daripada kata wanita, yang berarti yang wangi, yang dipuja.
Tulisan yang dihasilkan selama perjuangan ini adalah Compassionate and Free (Tersentuh dan Bebas) yang sering dinamakan Theology of the Womb (teologi peranakan atau kandungan) karena menggambarkan kehidupan baru yang berjuang untuk kemerdekaannya: Seperti seorang ibu yang merasa adanya komitmen untuk mengasuh dan mengembangkan benih kehidupan yang tumbuh di dalam tubuhnya, maka orang-orang yang beragama Kristen harus memiliki komitmen untuk memunculkan dunia baru, di mana terang menang dari kegelapan, cinta menang dari kebencian, dan kebebasan menundukkan penindasan.
Tulisannya yang diterbitkan pada tahun 1979 ini diterjemahkan dalam banyak bahasa, tetapi sayang sekali, baru sekarang ini selesai diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan sedianya akan diluncurkan pada awal November nanti.
Buku ini membawa dia ke banyak negara di dunia, di mana dia diminta untuk mengajar sebagai dosen tamu atau memberi ceramah, seperti di Birmingham, Inggris; Kampen di Negeri Belanda; Kyoto di Jepang; dan Harvard di Amerika Serikat. Namanya terkenal juga di Afrika karena perhatiannya untuk nasib kaum perempuan di Dunia Ketiga.
Kegiatan Marianne di bidang agama sangat banyak. Dia adalah salah seorang pendiri Ecumenical Association of Third World Theologians (EATWOT), kelompok Hati dan Forum Demokrasi. Ia juga pernah duduk pada Dewan Internasional dalam World Conference of Religion for Peace (WRCP), badan yang mengurus perdamaian dunia lewat agama. Dia juga pernah duduk sebagai anggota Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.
Di bidang sastra, Marianne menerjemahkan beberapa karya yang berhubungan dengan perempuan. Di samping itu, dia juga berjuang agar Pramoedya Ananta Toer mendapat penghargaan selayaknya. Ketika Pram dianugerahi Magsaysay di Manila dan dilarang menerimanya karena masih dalam status tahanan kota dan tahanan negara, Marianne-lah yang mewakilinya. Marianne juga pernah ke Swedia untuk bertemu dengan anggota PEN Club dan melobi hadiah Nobel untuk kesusastraan untuk Pram, tetapi tidak berhasil.
Pada awal milenium baru ini saya dengar bahwa Marianne telah pindah ke Pamulang. Untuk alat komunikasi, dia mempunyai telepon seluler, tetapi biasanya tidak dinyalakan. Yang ingin berhubungan dapat tinggalkan >small 2small 0<, yang ia akan akan dibalas setelah ponselnya dinyalakan. Ia jarang ke Jakarta dan sibuk mengurus kucing-kucing yang berkeliaran di jalanan. Dia membawanya pulang dan memberikan makanan. Akhirnya ada 30 ekor kucing di rumahnya.
Baru pada bulan April ketika di Erasmus Huis, Jakarta, ada malam Aceh dan peluncuran buku, kami sempat bertemu lagi. Dengan sangat antusias dia menceritakan bahwa dia sekarang ke mana-mana naik bus transjakarta. Dari rumah dia naik bus ke Blok M dan dari sana dia dapat pergi ke mana saja. Dia memuji bus tersebut sebagai transportasi yang sangat ekonomis dan efisien. Kami berjanji untuk bertemu lagi dan makan siang bersama. Namun, niat itu tidak pernah terwujud karena pada bulan Juni, Marianne terserang stroke dan pindah ke rumah kakaknya, Pericles, yang tinggal di Bogor. Di sanalah dia menikmati hari-hari terakhirnya yang bahagia. Marianne telah pergi, tetapi karya-karyanya, baik yang fiksi, nonfiksi, maupun terjemahan akan selalu bersama kita dan tersedia untuk generasi mendatang.
* Myra Sidharta, Ahli Sastra Tionghoa
Sumber: Kompas, Minggu, 28 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment